Djago! Djago!: Suara Merdeka Kaum Melarat di Era Kolonial

Bagian Header Surat kabar Djago! Djago!. (Sumber: Dokumentasi Pribadi/Kemdikbud)

Pada era kolonial, ketika mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam keterbelakangan ekonomi dan sosial, media massa memiliki peran vital dalam menyuarakan aspirasi rakyat kecil. Surat kabar bukan sekadar penyampai informasi, melainkan juga menjadi corong perlawanan terhadap penindasan.

Salah satu media yang muncul dengan semangat perlawanan itu adalah Djago! Djago!. Surat kabar ini hadir di tengah gelombang pergerakan rakyat di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada awal abad ke-20. Dengan slogannya yang lantang, “Suara Merdeka Kaum Melarat,” Djago! Djago! menegaskan diri sebagai pelopor perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Di antara berbagai surat kabar bertema adat dan Islam yang memilih bersikap moderat, terdapat beberapa surat kabar yang mencengangkan dan membuat cemas banyak pihak. Surat kabar seperti Pemandangan Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat berani secara terang-terangan mengkritik pemerintahan Kolonial Belanda.

Keberpihakan mereka terhadap kaum tertindas membuat surat kabar-surat kabar ini menjadi simbol perlawanan yang tak gentar, bahkan di tengah ancaman penguasa kolonial. Namun, keberanian ini juga menimbulkan kecemasan di kalangan ulama dan penghulu adat, yang mencurigai haluan radikal mereka sebagai ancaman. Dari total dua puluh surat kabar berhaluan komunis yang tersebar di Hindia Belanda, ketiga surat kabar ini menjadi suara penting dalam memperjuangkan keadilan.

Awal Penerbitan dan Arti Nama Djago! Djago!

Dilansir dari berbagai sumber, Djago! Djago! pertama kali terbit pada 8 Oktober 1923 di Padangpanjang, Sumatra Barat. Surat kabar ini diterbitkan oleh kantor International Debating Club (IDC) dan dipimpin oleh Natar Zainuddin dengan Arif Fadhilah sebagai redakturnya. Nama Djago! Djago! berasal dari bahasa Minangkabau, di mana ‘djago’ berarti ‘bangun’.

Ketika kata ini diulang dengan tanda seru, maknanya menjadi himbauan tegas atau perintah: “Bangun! Bangun!”. Nama ini mencerminkan semangat untuk membangunkan kesadaran rakyat agar bangkit dari kebodohan, ketertinggalan, dan penindasan, termasuk dari cengkeraman penjajahan serta ketidakadilan sosial.

Sarekat Rakyat dan Peran Djago! Djago!

Djago! Djago! lahir dari rahim Sarekat Rakyat, organisasi yang didirikan oleh Natar Zainuddin, Datuak Batuah, dan Jamaluddin Tamin di Padangpanjang. Sarekat Rakyat sendiri berakar dari keresahan para saudagar terhadap kebijakan kolonial yang memihak pedagang asing.

Selain itu, mereka membentuk International Debating Club (IDC), sebuah studi klub yang banyak diikuti oleh siswa Thawalib Padang Panjang. Di IDC inilah, para anggotanya mengkaji Marxisme, menganalisis situasi ekonomi-politik, serta menghasilkan tulisan-tulisan yang menjadi dasar ideologi surat kabar Djago! Djago! dan Pemandangan Islam.

Datuak Batuah, salah satu tokoh penting di balik Djago! Djago!, menggunakan surat kabar ini sebagai platform untuk mengkritik penjajahan, melawan kapitalisme, dan menyerukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang zalim. Selain Djago! Djago!, ia juga menulis untuk surat kabar radikal lainnya, seperti Doenia Achirat. Di Doenia Achirat, ia secara terbuka menyerang penghulu adat yang dianggap kolaboratif dengan pemerintah kolonial dan melupakan rakyat kecil.

Salah satu edisi Djago! Djago! mengangkat analisis ketimpangan ekonomi akibat dominasi modal asing di Sumatra Barat. Dengan tajam, surat kabar ini menyoroti bagaimana kapitalisme menghancurkan ekonomi rakyat kecil. Dalam tulisannya, Natar Zainuddin dan koleganya memperingatkan pembaca untuk tidak tunduk pada kapitalisme yang mereka anggap sebagai akar dari kemiskinan. Surat kabar ini juga menyerukan pengusiran kolonial Belanda sebagai langkah awal menuju kebebasan.

Penangkapan dan Akhir Perjuangan

Keberanian Djago! Djago! dan surat kabar radikal lainnya tidak luput dari pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Rezim represif kolonial berupaya membungkam suara perlawanan yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan mereka. Puncaknya terjadi pada Minggu, 11 November 1923, setelah salat Zuhur, ketika Datuak Batuah ditangkap oleh aparat kepolisian Belanda tanpa surat perintah penangkapan. Bersamaan dengan itu, kantor Pemandangan Islam, rumahnya, serta lokasi-lokasi yang terkait dengan Djago! Djago! dan Doenia Achirat digeledah oleh otoritas kolonial.

Penangkapan ini tidak hanya menargetkan Datuak Batuah, tetapi juga redaktur-redaktur lain yang terkait dengan penerbitan surat kabar radikal tersebut, termasuk Natar Zainuddin. Pemerintah kolonial menganggap mereka sebagai tahanan politik berbahaya karena tulisan-tulisan mereka yang dianggap menghasut rakyat untuk memusuhi pemerintah, melawan kapitalisme, dan menolak penindasan kolonial.

Setelah ditahan selama setahun di Padangpanjang, Datuak Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke penjara Padang pada tahun 1924. Dari sana, mereka diasingkan ke Pulau Timor di bawah jeratan undang-undang penyiaran pers (persdelict), yang menuduh mereka telah menggunakan surat kabar untuk menyebarkan hasutan terhadap pemerintah kolonial.

Namun, upaya pembungkaman ini tidak berhenti di situ. Pada tahun 1927, Datuak Batuah dipindahkan lagi ke Boven Digoel, salah satu tempat pembuangan paling terkenal di Hindia Belanda untuk tahanan politik yang dianggap membahayakan rezim.

Selama masa pendudukan Jepang, ketika Belanda melarikan diri ke Australia, para tahanan, termasuk Datuak Batuah, ikut dibawa ke negara tersebut. Ia akhirnya tiba di Australia pada tahun 1943 dan menetap di sana hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada tahun 1946, ia akhirnya dipulangkan oleh pemerintah Australia ke Indonesia.

Meski masa hidupnya singkat, Djago! Djago! meninggalkan warisan penting dalam sejarah pers Indonesia. Surat kabar ini bukan hanya alat propaganda, tetapi juga medium pendidikan politik bagi rakyat kecil. Setelah pulang ke Indonesia pada 1946, Datuak Batuah melanjutkan perjuangannya melalui ceramah agama dan politik.

Suatu malam pada bulan Ramadan tahun 1949, sehabis melaksanakan tarawih, Ahmad Khatib gelar Datuak Batuah meninggal dunia di kampungnya, Koto Laweh. Sekembalinya dari pembuangan selama 24 tahun, ia lebih banyak mengaji serta memberi ceramah politik. Dua tahun sebelum meninggal dunia, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Pada akhirnya, Djago! Djago! bukan sekadar surat kabar, melainkan simbol semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan. Jejak perjuangan yang ditinggalkannya tetap menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan. [UN]