Koran Sulindo – Masih ingat Harmoko, mantan menteri penerangan era Soeharto yang selalu mengawali kalimatnya dengan, “menurut petunjuk bapak presiden?”

Bertahun-tahun menghilang dari pemberitaan, kabar terakhir justru berita buruk. Salah satu rumahnya di Jalan Taman Patra XII No 12, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan dikabarkan disatroni maling.

“Ya benar ada informasi tersebut,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono dikonfirmasi wartawan, Min(14/1).

Argo menyebut sampai saat ini polisi masih melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus tersebut. “Petugas sedang ngecek ke sana,” katanya merujuk pada anggota kepolisian dari Polsek Setiabudi.

Kapolsek Setiabudi AKBP Irwa Zaini Adib seperti dikutip dari detik.com membenarkan pencurian tersebut. Maling mengondol sejumlah uang dan perhiasan. Diperkirakan rumah Harmoko itu digasak maling pada rentang waktu antara tanggal 4-13 Januari 2018.

Kejadian tersebut bermula ketika Harmoko dan keluarga baru tiba di rumah dari liburan ke Jepang sejak 4 Januari 2018 silam.

Mengutip keterangan polisi, ketika Harmoko membuka lemari uangnya sudah tak ada. Juga ketika istrinya membuka lemari, perhiasannya sudah raib. Polisi menyebut kondisi lemari terkunci dan tidak mengalami kerusakan.

Sebenarnya bukan baru kali ini rumah Harmoko ketiban apes. Sebelumnya, pada bulan Mei 1998 rumah yang pernah ditinggalinya di Solo dijarah dan dibakar massa. Rumah joglo yang terletak di seberang Atrium 21, Solo Baru ludes dibakar api. Termasuk seperangkat gamelan yang terbuat dari kuningan.

Nama Harmoko meroket di pangung politik Indonesia ketika pada tahun 1983 ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. Menjabat menteri selama 14 tahun, Harmoko berhasil menempatkan dirinya dalam lingkaran kecil kekuasaan Soeharto hingga pada tahun 1997 tiba-tiba dicopot Soeharto.

Penguasa Orde Baru itu ia ditempatkan pada pos baru dengan tugas khusus dan jabatan khusus sebagai Menteri Negara Urusan Khusus. Jabatan itu diembannya tak lebih dari empat bulan sebelum akhirnya menjadi Ketua DPR/MPR RI hingga tahun 1999.

Di era sebagai menteri penerangan, wajahnya setiap hari muncul di layar kaca. Publik yang sebal diam-diam memelintir namanya menjadi akronim, ‘hari-hari omong kosong, dan Harmoko tahu ia tahu punya julukan itu.

Ketika Soeharto ragu-ragu untuk menjabat masa kepresidenannya yang keenam, Harmoko menjadi salah satu orang yang getol mengusulkan ia kembali menjabat sebagai presiden periode 1998-2003. Harmoko meyakinkan Soeharto dengan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden. Ia menyebut tak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Banyak yang menyebut, karena penjelasan inilah Soeharto mau kembali dicalonkan.

Ketika gelombang reformasi mulai bergulir dan mencapai puncaknya Mei 1998, sebagai Ketua DPR/MPR Harmoko justru mengambil posisi berlawanan dengan Soeharto.

Ia yang berpuluh-puluh tahun menjadi tangan kanan Soeharto tiba-tiba berganti posisi menjadi orang yang mendorong agar Soeharto mundur pada 18 Mei 1998.

“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko kala itu.

Mengapa Harmoko tiba-tiba berani berbalik mendorong Soeharto turun? Tjipta Lesmana dalam buku Dari Sukarno Sampai SBY menyebut, Harmoko tak lebih dari sekadar penyampai pesan. Ia hanya bertugas menyampaikan apa telah menjadi keputusan Fraksi Golkar di DPR. Sebagai Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR/MPR, mau Harmoko memang harus mengumumkan keputusan itu.

‘Pak, ini aspirasi, Pak. Saya menganut ajaran Bapak, supaya DPR itu menyampaikan yang benar itu benar,” kata Harmoko dalam wawancaranya dengan Watchdoc terkait pernyataannya mendorong Soeharto mundur.

“Saya dituduh Brutus, dituduh mengkhianati, menohok dari belakang… Nggak ada itu!” kata Harmoko bertahun-tahun kemudian.(TGU)