Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK). (FOTO : ANTARA/M Risyal Hidayat)

Koran Sulindo – Ombudsman RI dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaannya (LAHP) menyimpulkan, telah terjadi penyimpangan prosedur dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

Menurut pihak Ombudsman, maladministrasi itu terjadi mulai dari pembentukan dasar hukum, pelaksanaan TWK, hingga penetapan hasilnya.

Menanggapi kesimpulan tersebut, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung melayangkan surat keberatan ke Ombudsman.

KPK menyampaikan keberatan berdasarkan landasan hukum Pasal 25 ayat 6 b. “Karenanya kami kemudian akan menyampaikan surat keberatan ini sesegera mungkin ke Ombudsman RI,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Kamis (5/8).

Pihaknya merespons LAHP itu berlandaskan Peraturan Ombudsman RI nomor 48 tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan Ombudsman RI nomor 26 tahun 2017 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian laporan.

“Berdasarkan Pasal 25 ayat 6 b diatur bahwa dalam hal terdapat keberatan dari terlapor atau pelapor terhadap LAHP, maka keberatan disampaikan kepada Ketua Ombudsman RI,” kata Gufron.

Ghufron pun menegaskan kebijakan lembaganya tidak bisa diintervensi lembaga mana pun, termasuk Ombudsman.

“Kami tidak ada di bawah institusi lembaga apa pun di Republik ini sehingga mekanisme memberikan rekomendasi kepada atasan KPK, ya, langit-langit,” katanya.

KPK, sebagaimana dinyatakan dalan Undang-Undang KPK, dalam melaksanakan tugasnya tidak tunduk pada institusi apa pun, tidak terinvensi ke insitusi apa pun.

Ghufron menjelaskan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 3 mengatakan bahwa KPK memang berada dalam rumpun eksekutif, tapi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak tunduk ke lembaga apa pun.

“KPK itu independen. Ini kami tegaskan,” jelas Gufron.

KPK, katanya, merasa keberatan, sehingga berdasarkan Pasal 25 Ayat 6b Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan Ombudsman RI nomor 26 tahun 2017 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian laporan, pihak KPK berhak melayangkan keberatan itu.

Terkait dengan solusi dari perbedaan pandangan KPK dan Ombudsman dalam pelaksanaan alih tugas pegawai KPK sebagai ASN tersebut, Ghufron pun menyerahkannya ke Ombudsman.

“Apa yang dilakukan Ombusman kami hormati untuk melakukan fungsinya dan kami juga melakukan hak kami menyatakan keberatan ke Ombudsman,” tuturnya. “Soal bagaimana tindak lanjut keberatan ini, silakan tanya ketentuannya ke Ombudsman, karena rezim pelaporan dan pemeriksaan ada di Ombudsman. Silakan tanya ke Ombudsman solusinya seperti apa,” beber Gufron.

Ada sebanyak 13 butir keberatan KPK terhadap temuan malaadministrasi yang disampaikan Ombudsman RI pada 21 Juli 2021.

“Mengingat tindakan korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan, dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI,” kata Ghufron.

Terdapat beberapa tindakan korektif yang diminta Ombudsman RI dilakukan oleh pimpinan dan Sekjen KPK. Pertama, memberikan penjelasan kepada pegawai KPK soal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk dokumen yang sah.

Kedua, terhadap 75 pegawai yang dinyatakan TMS diberikan kesempatan untuk memperbaiki hasil tes melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Ketiga, hasil TWK menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta-merta menjadi dasar pemberhentian 75 orang pegawai.

Keempat, dikarenakan adanya malaadministrasi dalam penyusunan Peraturan KPK No. 01 Tahun 2021, proses pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK, maka terhadap 75 pegawai agar dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.

Pihak Ombudsman juga memberikan empat saran perbaikan kepada Presiden RI Jokowi bila langkah-langkah korektif untuk KPK dan badan kepegawaian negara tidak diindahkan.

Pertama, Presiden selaku pemegang kekuatan tertinggi kebijakan dan manajemen ASN perlu mengambil-alih kewenangan yang didelegasikan kepada pejabat pembina kepagawaian KPK terkait pengalihan status 75 pegawai KPK menjadi ASN.

Kedua, Presiden perlu melakukan pembinaan terhadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri PAN-RB bagi perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi pada asas tata kelola pemerintahan yang baik.

Ketiga, Presiden memonitor tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman kepada BKN untuk menyusun peta jalan manajemen kepegawaian, khususnya mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terkait dengan pengalihan status pegawai menjadi ASN.

Keempat, Presiden perlu memastikan pelaksanaan TWK dalam proses manajemen ASN dilaksanakan dengan standar yang berlaku.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron (tengah) didampingi Pelaksana tugas Kepala Biro Sumber Daya Manusia Yonathan Demme (kiri) dan Plt Juru Bicara Ali Fikri (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). (FOTO : ANTARA/M RISYAL HIDAYAT)

Pendapat Ombudsman Bertentangan dengan Hukum

Pihak KPK juga mengritik pendapat Ombudsman RI soal tidak kompetennya Badan Kepegawaian Negara dalam melaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan. KPK menyebutnya bertentangan dengan hukum.

“Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti,” ucap Gufron.

Lebih lanjut, Ghufron pun mempertanyakan jika BKN dianggap tidak kompeten lantas lembaganya akan meminta kepada siapa lagi terkait pelaksanaan TWK tersebut.

“Pertanyaannya kalau BKN dianggap tidak kompeten kemudian ditolak oleh Ombudsman RI, kepada siapa lagi KPK akan meminta TWK ini. Ini kan tidak logis, lembaga atau ketatanegaraan sudah memberi wewenang kepada BKN kemudian oleh Ombudsman RI dinyatakan tidak kompeten, lantas kepada siapa kami akan meminta TWK kalau BKN menolak,” kata Ghufron.

Sebab, kata Gufron, dalam Undang-Undang RI nomor 5 tahun 2014 tentang ASN juga telah disebut kewenangan BKN dalam menyelenggarakan manajemen ASN. Kemudian, dalam peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN menyatakan BKN yang selanjutnya adalah lembaga pemerintah nonkementerian diberi kewenangan melakukan pembinaan, menyelenggarakan manajemen ASN.

“Kalau kemudian BKN dianggap tak kompeten berarti ‘kosong’ karena tidak ada lagi di Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk ini,” lanjut Ghufron. [Wis]