Menteri luar negeri pertama RI, Achmad Soebardjo.
Menteri luar negeri pertama RI, Achmad Soebardjo.

Koran Sulindo – Bukannya gembira ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri, Ahmad Soebardjo justru langsung pusing tujuh keliling.

Dengan umur Republik yang baru menginjak hari kedua, tentu saja mustahil semua sudah tersedia dan serba lengkap.

Soebardjo memulai penugasannya tersebut benar-benar dari nol. Tanpa tanpa pegawai, kantor sekaligus alat-alatnya.

Sementara dituntut bekerja cepat, ia segera bertindak.

Hal pertama yang dilakukannya adalah merekrut pegawai dengan memasang sebuah iklan di harian Asia Raya. “Siapa yang ingin menjadi pegawai Departemen Luar Negeri?”, begitu isi iklannya, singkat, padat dan jelas.

Iklan pendek itu ternyata manjur karena beberapa kemudian ia sudah bisa memulai pekerjaannya. Dari jumlah sepuluh orang yang melamar, lima didapuk jadi sekretaris sedangkan lima lainnya mengurusi administrasi.

Tanpa kantor, Ahmad Soebardjo akhirnya merombak rumahnya di Cikini Raya No 82 menjadi tempat kerja sehari-hari.

Dibanding Soebarjdo, beberapa menteri lain yang ditunjuk Soekarno lebih beruntung.

Mereka bahkan bisa langsung memulai kerja secara normal meski belum banyak yang perlu diurus. Mereka hanya harus memastikan semua pegawai-pegawai itu bersumpah setia pada Pemerintah Republik.

Tentu saja tak semua mau disumpah, mereka yang menolak umumnya tak yakin republik yang baru berumur dua hari itu bakal tetap berdiri.

Sebagian besar mereka memilih wait and see, sembari diam-diam berharap juragan lamanya yakni Hindia Belanda datang memulihkan ketertiban. Beberapa bahkan memilih berhenti dan keluar dari pekerjaannya.

Bagi Soebardjo, hari-hari setelah proklamasi berlalu sangat cepat. Republik harus menghadapi kedatangan tentara sekutu yang berniat melucuti tawanan Jepang.

Dilema karena setelah kemerdekaan, Sekutu tentu tidak boleh berhubungan langsung dengan Angkatan Perang Jepang tanpa persetujuan atau setidaknya pengetahuan pemerintah republik.

Departemen Luar Negeri mengetahui kedatangan Tentara Sekutu pada tanggal 29 September 1945. Di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison mereka mendarat di Tanjung Priok pukul 10.00 pagi. Dari radio Singapura, Inggris mengumumkan hanya akan membentuk administrasi militer di Jakarta, Surabaya, Medan dan Padang.

Christison mengatakan Tentara Sekutu tak berniat mencampuri urusan dalam negeri Republik Indonesia dan menganjurkan Belanda untuk secepatnya mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia.

Diplomasi model Inggris itu membuat Soebardjo seperti menghadapi fait accompli.

“Saya menganjurkan rekan-rekan menteri agar tetap waspada dan jangan mengambil tindakan apapun atas permintaan Inggris apabila mereka telah menyelenggarakan administrasi militer di Jakarta,” tulis Soebardjo dalam bukunya.

Intel Inggris

Tak berniat memusuhi Inggris, Presiden Soekarno segera membuat pengumuman tanggal 30 September agar rakyat Jakarta jangan menentang pendaratan itu.

Di sisi lain, Tentara Inggris justru menuai protes dari Sri Jawaharlal Nehru karena menggunakan serdadu-serdadu India untuk menduduki kota-kota di Indonesia.

Menjawab protes itu, Inggris menyebut tentara India telah diberi perintah agar tak mencampuri urusan dalam negeri.

Belakangan, Christison mengeluarkan maklumat yang pada intinya tak akan ‘mengusir’ Pemerintah Indonesia dan justru mengharapkan untuk melanjutkan pemerintahan di luar wilayah yang diduduki Tentara Inggris.

“Diharapkan pula kami akan menemui pemimpin-pemimpin Indoenesia untuk menerangkan maksud kedatangan kami,” kata jenderal itu.

Soebardjo menganggap pernyataan Panglima Sekutu sebagai pengakuan de fakto keberadaan Republik Indonesia oleh Tentara Inggris. Tak mungkin pernyataan seperti itu diumumkan tanpa sepengetahuan Pemerintah Inggris.

Soebardjo yakin sikap Inggris itu berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialaminya.

Tak lama setelah mendarat di Tanjung Priok dan menduduki Jakarta, Soebardjo didatangi seorang intel Inggris yang mengaku sebagai opsir yang diperbantukan kepada Tuan Denning, penasihat Christison.

Baca juga  Ahmad Subardjo: Bertaruh Nyawa agar Proklamasi Kemerdekaan Terlaksana

Kepada Soebardjo opsir yang memiliki pengalaman perang di Serawak dan bisa berbahasa Melayu itu meminta izin untuk pergi ke pedalaman Jawa.

“Berikanlah kepada saya suatu surat izin yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan seorang pembantu sebagai penunjuk jalan serta sebuah kendaraan,” kata opsir itu kepada Soebardjo.

Kepada si opsir, Soebardjo memperingatkan perjalanan ke pedalaman Jawa bisa sangat berbahaya karena suasana revolusi yang sangat kental. “Itu adalah risiko saya sendiri karena itulah pekerjaan saya,” kata si opsir itu ngotot.

Karena si opsir mendesak dan untuk menjaga hubungan baik dengan militer Inggris, Soebardjo akhir memenuhi permintaan itu.

Mendapat surat perjalanan yang ditandatangani Soekarno, sang opsi berangkat pagi-pagi sekali ditemani seorang pemuda yang merupakan pembantu Menteri Penerangan Amir Syarifuddin. Mereka menggunakan mobil dan berangkat dari rumah Soebardjo di Cikini Raya 82.

Seminggu berselang, diantar penunjuk jalannya opsir itu kembali dengan selamat. Kepada Soebardjo ia mengaku yakin bahwa pemerintahan republik benar-benar mendapat dukungan rakyat.

“Saya lihat dengan mata kepala sendiri bertapa rakyat di mana-mana, di desa-desa kecil, di pedalaman dihinggapi perasaan riang gembira dan penuh semangat bergelora. Saya juga melihat bendera merah putih berkibar di mana-mana,” kata opsir itu kepada Soebardjo.

Opsir itu juga mengaku dia menyusuri jalur selatan dari Bandung menuju Jawa Tengah, Jawa Timur hingga ke Surabaya dan kembali melalui jalur utara di Semarang, Cirebon dan Jakarta. “Saya tidak menemui kesukaran,rakyat yang berbondong-bondong mendatangi kami dengan ucapan Merdeka!”[TGU]