Dini Hari Menjelang Indonesia Merdeka

SETELAH DICULIK sejumlah pemuda radikal ke Rengasdeklok, Karawang, Jawa Barat, Bung Karno beserta keluarga dan beberapa orang lain dibawa kembali ke Jakarta. Kurang-lebih pukul 02.00 WIB dini hari, 17 Agustus 1945, Bung Karno dan sejumlah tokoh berkumpul di Laksamana Tadashi Maeda, di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 Menteng, Jakarta Pusat—yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, Bung Hatta mengungkapkan, yang hadir dalam perumusan naskah Proklamasi adalah Soekarno, Hatta, Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik. “Kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks Proklamasi yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang disebut Piagam Jakarta,” tutur Bung Hatta.

Rumah Laksamana Maeda

Memang, seperti juga diungkapk Subardjo dalam Lahirnya Republik Indonesia, teks Proklamasi telah dirumuskan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. “Rumusan ini adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan mengenai Kata Pembukaan atau Bab Pengantar dari Undang-Undang Dasar kita oleh sembilan anggota Komite di mana Soekarno sendiri adalah ketuanya.”

Bung Karno bertanya kepada Subardjo: “Masih ingatkah, Saudara, teks dari bab Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?”

Subardjo menjawab, “Ya, saya ingat, tetapi tidak lengkap seluruhnya.”

“Tidak mengapa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukannya seluruh teksnya,” tutur Bung Karno.

Ia pun mempersilakan Bung Hatta untuk menyusun teks ringkas karena bahasanya dianggap yang terbaik. “Sesudah itu, kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah,” ujar Bung Karno.

“Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya,” kata Bung Hatta.

Bung Karno pun akhirnya menuliskan konsep teks itu. Setelah disetujui, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik konsep tersebut sebelum  diajukan kepada para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan lainnya yang menunggu di ruangan tengah rumah Maeda.

“Ti, Ti, tik, tik!” kata Bung Karno kepada Sayuti Melik, sebagaimana tertera dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi.

Teks Proklamasi tulisan tangan Bung Karno.

Namun, menurut Sayuti Melik, naskah Proklamasi tidak langsung bisa diketik karena di rumah Maeda tidak tersedia mesin ketik. Lalu, Satzuki Mishima, pembantu Maeda, mengendarai jip pergi ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin ketik. Satzuki bertemu Mayor Kandelar, perwira Angkatan Laut Jerman, yang lalu meminjamkan mesin ketik itu.

Ketika mengetik naskah Proklamasi, Sayuti Melik ditemani B.M. Diah, di ruang bawah tangga dekat dapur. Ada beberapa bagian yang ia sunting sambil mengetik, yakni kata “tempoh” diganti “tempo”; frasa “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan nama “Soekarno-Hatta”; serta “Djakarta, 17-8-05” diganti “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”. Angka tahun ’05 adalah singkatan dari 2605, tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945.

Diungkapkan Sayuti, dirinya berani mengubah bagian-bagian itu karena dia pernah sekolah guru. “Jadi, kalau soal ejaan bahasa Indonesia, saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,”  tutur Sayuti Melik.

Namun, setelah selesai mengetik, Sayuti meninggalkan begitu saja konsep teks Proklamasi yang ditulis oleh Bung Karno. Untung ada B.M. Diah. “Saya melihat teks asli itu tergolek di meja. Karena rasa gembira, teks asli itu terlupakan. Kertas itu kemudian saya ambil, saya lipat baik-baik, dan kemudian saya masukkan ke dalam kantung. Empat puluh tujuh tahun lamanya saya simpan teks asli itu dan selalu saya bawa ke mana saja saya berkeliling dunia,” kata B.M. Diah dalam biografinya, B.M. Diah Wartawan Serba Bisa, karya Toeti Kakiailatu. Baru tahun tahun 1993, konsep Proklamasi tulisan tangan Bung Karno itu diserahkan B.M. Diah kepada Presiden Soeharto.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya naskah Proklamasi otentik ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Rencananya, naskah Proklamasi itu akan dibacakan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka). “Rakyat di dan sekitar kota Jakarta telah diserukan untuk berbondong-bondong ke Lapangan Ikada pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Demikianlah yang telah dipersiapkan dan adalah wajar bahwa kita semua datang ke sana dan membacakan Proklamasi itu,” kata Sukarni.

Namun, Bung Karno menolak. “Lebih baik di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden?” kata Bung Karno.

Menurut Putra sang Fajar, lapangan Ikada adalah lapangan umum dan suatu rapat umum tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa militer mungkin akan menimbulkan salah paham dan suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer, yang akan membubarkan rapat umum tersebut mungkin terjadi. “Karena itu, saya minta semua Saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56, sekitar pukul 10.00 pagi,” ujar Bung Karno.

Terjadilah perubahan rencana dan dalam waktu singkat pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 itu beberapa orang pejuang segera bergerak kembali untuk mengabarkan perubahan rencana tersebut. Upacara penting dipindahkan ke rumah Soekarno, Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56.Sempat terjadi kerepotan di rumah Bung Karno. Beberapa orang sibuk memasang mikrofon dan versterker (amplifier), yang baru disewa dari perusahaan jasa penyewaan sound system ‘Radio Satrija’, di Jalan Salemba Tengah Nomor 24. Tiang bendera pun dibuat dari sebatang bambu, yang ditancapkan di muka kamar depan rumah Soekarno beberapa menit sebelum upacara dimulai. Setelah siap, upacara pun dimulai, tanpa adanya protokol terlebih dahulu.

Rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Sang Saka Merah-Putih pun dinaikkan setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi didamping Bung Hatta. Setelah itu, Bung Karno berpidato singkat.

Trimurti awalnya diminta menjadi petugas penaikan bendera. Tapi, dia menolak dan mengusulkan agar penaikan itu dilakukan oleh seorang prajurit. Serta-merta, Latif Hendraningrat yang masih memakai seragam lengkap Pembela Tanah Air maju ke depan sampai dekat tiang bendera. Lalu datanglah dua orang membawa Sang Saka Merah-Putih, yang diletakkan di atas nampan dan kemudian dinaikkan.

Tanpa aba-aba, yang hadir dalam upacara tersebut langsung menyanyikan lagu “Indonesia Raya” bersama-sama. Berkibarlah Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya di masa Indonesia merdeka.

Ada kejadian lucu setelah upacara sangat penting itu selesai. Tiba-tiba datang kurang-lebih seratus orang anggota Barisan Pelopor, yang dipimpin S Brata. Rupanya mereka tidak tahu adanya perubahan rencana lokasi upacara dari Lapangan Ikada ke rumah Bung Karno, sehingga datang terlambat.

Para anggota Barisan Pelopor itu pun meminta Bung Karno mengulangi upacara dan membacakan kembali Proklamasi Kemerdekaan. Bung Karno yang telah masuk kamar lalu ke luar kembali dan menyatakan lewat mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang.

Memang, setelah upacara itu, Bung Karno langsung masuk kamar. Ia kelelahan setelah dari Rengasdengklok dan kemudian begadang merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan. Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer, subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. “Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata,” ungkap Roso seperti yang ia tulis dalam blog-nya, http://rosodaras.wordpress.com.

Ibu Fatmawati tampak cemas melihat kondisi suaminya. Tapi, “Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat,” tutur Roso. Dan, Bung Karno melakukan itu dalam keadaan menggigil karena demam malaria. Setelah itu barulah ia tidur dan dibangunkan sekitar satu jam menjelang upacara Proklamasi, kurang-lebih pukul 09.00 pagi.

Seperti diungkap Bung Karno dalam Sukarno: an Autobiography as told to Cindy Adams, Ibu Fatmawati membiarkan Bung Karno tetap bekerja dalam keadaan mengigil akibat demam malaria karena cukup mengerti gejolak hati suaminya. Sementara itu, Ibu Fatmawati sendiri bukan berarti segar-bugar. Ia juga sebenarnya lelah, karena mengikuti seluruh dinamika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Ibu Fatmawatilah yang membuat Sang Saka Merah-Putih, dengan jahitan tangan, untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945.

Sang Saka Merah-Putih adalah bendera pusaka, yang tak ternilai harganya. Karena itu, sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu dilarang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah Proklamasi berjaga 24 jam siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkan Sang Saka Merah-Putih.

Bahkan, ketika Tentara Sekutu datang, Sang Saka Merah-Putih terus dijaga keberadaannya. Apalagi, Tentara Sekutu juga rupanya berminat untuk memusnahkan Sang Saka Merah-Putih yang dibuat oleh Ibu Fatmawati. Para pejuang kemerdekaan benar-benar melindungi Sang Saka Merah-Putih.

Dokter pribadi Bung Karno sendiri, Dokter Soeharto, juga tidak mengetahui keberadaannya sampai tahun 1949. “Soeharto sendiri tidak tahu, di mana Sang Merah-Putih antara kurun 1945-April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949, ia kedatangan tamu misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat Duta Besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan telah dilepas jahitannya dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda mahapenting bagi tonggak berdirinya republik,” ungkap Roso Daras.

Muthahar malam itu menitipkan Sang Saka Merah-Putih kepada Soeharto. Mendapat amanat penting, Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat dan kain putih jauh di tempat lain. Itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan penggeledahan oleh NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Tentara Sekutu yang ditugaskan mengontrol wilayah bekas jajahan Belanda yang pernah dikuasai Jepang—dan kemudian bernama Indonesia.

Sang Saka Merah Putih terakhir dikibarkan pada Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1968. Selanjutnya disimpan dan hanya dikeluarkan setiap tanggal 17 Agustus namun tetap dalam kotak penyimpanannya. Yang digunakan pada upacara resmi kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1969 sampai sekarang adalah duplikatnya.Rumah bersejarah itu kini sudah tidak ada. Yang ada di sana sejak puluhan tahun lampau hanya sebuah tugu, Tugu Proklamasi, sebagai penanda di tempat itu diproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Adalah perintah Bung Karno sendiri yang membuat “rumah keramat” itu sejak tahun 1960 tak ada lagi. Ceritanya, pada tahun itu, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta Henk Ngantung untuk merenovasi rumah tersebut. Namun, renovasi itu ternyata tidak terwujudkan.

Agar dapat dikenali dibangunlah sebuah tugu. Pencangkulan tanah pertama untuk pembangunan tugu itu dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada 1 Januari 1961. Tugu ini oleh masyarakat disebut Tugu Petir karena ada lambang petir di atasnya, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara. Di tugu itu ditaruhlah informasi seperti ini: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Lalu, dekat tugu tersebut dibangunlah sebuah gedung, yang diberi nama Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta, yang lebih dikenal sebagai Gedung Pola. Gedung ini semacam gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Di dalam Gedung Pola inilah dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana, semasa Bung Karno menjadi presiden.

Tugu Proklamasi atau dikenal sebagai Tugu Petir di Kompleks Gedung Proklamasi, Jalan Proklamasi (dulu Jalan Peganggsaan Timur 56).

Di area ini juga ada Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, yang diresmikan jauh sebelumnya, yakni 17 Agustus 1946. Di atas keterangan itu, yang dipahat di atas batu marmer, tertera juga informasi “Atas Oesaha Wanita Djakarta”. Dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat yang disunting Titiek W.S., Dra. Yos Masdani Tumbuan sang pembuat tugu mengatakan, ia diminta untuk membuat tugu tersebut oleh Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah. Namun, tak ada dana untuk itu dan Yos Masdani Tumbuan (seorang mahasiswi yang aktif di Ikatan Wanita Djakarta) diminta mencari dana bersama kawan-kawannya.

Ketika tugu itu jadi, Walikota Jakarta Suwirjo melarang tugu tersebut diresmikan pada 17 Agustus 1946. Karena, ada larangan dari Tentara Sekutu. Untunglah, pada 16 Agustus 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir datang ke Jakarta dari Yogyakarta.

Ketika diberitahu soal tugu peringatan itu, Sjahrir menyatakan peresmian tugu itu adalah gagasan bagus dan dengan senang hati ia akan meresmikannya. Dan, diresmikanlah tugu peringatan tersebut sesuai dengan waktu yang direncanakan, 17 Agustus 1946, tanpa ada keributan apa-apa dari Tentara Sekutu.

Tapi, entah kenapa, ada saja pihak yang tidak sudi adanya tugu peringatan itu. Mereka menganggap tugu tersebut harus dimusnahkan. Dan, menjelang empat tahun berdirinya, 15 Agustus 1960, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia lenyap dari tempatnya.

Sejumlah perempuan pun—antara lain Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi—menemui Gubernur Jakarta Soemarno di Balaikota. Dalam pertemuan itu, sang gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Oleh kaum perempuan yang hadir ketika itu disarankan agar tiga lempengan marmer tersebut diserahkan kepada Yos Madani. “Cornell University sempat menawar marmer-marmer itu dengan harga tinggi, tapi saya menolak,” kata Yos Madani.

Waktu Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta, tahun 1968, ada usul agar tugu tersebut dibangun kembali. Ali Sadikin menyambut baik usul tersebut. Tapi, pembangunannya terpaksa ditunda karena Yos Madani sedang melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Dan, akhirnya, tugu itu pun berdiri kembali di lokasi semula, yang diresmikan oleh Menteri Penerangan Budiardjo pada 17 Agustus 1972. Bung Hatta hadir dalam peresmian tersebut. [PUR]

* tulisan ini pertama dimuat Agustus 2016