Koran Sulindo – Tak ada yang dilanggar jika ada keluarga kepala daerah incumbent mencalonkan diri saat pilkada. Kalau setiap orang yang berhubungan keluarga dilarang mencalonkan diri, maka hal itu tidak adil.
“Itu pandangan MK ketika itu,” kata Prof. Dr. Mahfud saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional ‘Dinasti Politik dalam Pilkada dan Potensi Korupsi di Daerah’, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Sabtu (20/5).
Diakui Mahfud, fenomena dinasti politik menjadi problem. Karena dinasti politik bisa mengakibatkan terjadinya langkah-langkah upaya korupsi. Memang, lanjutnya, pemerintah melalui pasal 7 huruf r UU No 8 tahun 2015 ingin membatasi paslon yang memiliki ikatan keluarga dengan incumbent. Lantaran selama ini paslon terpilih yang memiliki kekerabatan incumbent rentan lakukan korupsi. Namun hal ini telah dibatalkan MK, karena pasal ‘dinasti politik’ tersebut dinilai inskonstitusional, bertentangan denganPasal 28 ayat (2) UUD 1945.
Karenanya, untuk meminimalisir atau menghilangkan potensi korupsi akibat dinasti politik, Mahfud menyarankan agar instrumen hukum pilkada diperketat. “Yang harus kita lakukan, yakni instrumen hukum pilkada harus lebih ketat,” ujarnya.
Sementara itu pakar hukum UII Prof. Dr. Ni’matul Huda berpendapat dinasti politik yang kolutif dan koruptif telah melanggar azas good governance, yakni akuntanbilitas publik, kepastian hukum dan transparansi publik. Akibatnya, uiarnya, tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan otonomi daerah jelas terabaikan.
Ditegaskan Huda, dinasti politik bisa menjadi masalah sosiologis dalam realita masyarakat. Yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan itu tidak mampu membawa perubahan sosial-ekonomi masyarakat banyak. “Kekuasaan hanya menjadi tameng bagi keluarganya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya,” ujar Huda lagi.
Sedangkan Dr. W Riawan Tjandra dari Universitas Atmajaya Yogya menyatakan dinasti politik muncul karena adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. “Pembagian tugas ini mampu memunculkan korupsi yang terstruktur, sistematis dan massif,” katanya.
Meski potensi korupsi dinasti politik ada, menurut Mahfud, masa depan Indonesia masih cerah. Ini bisa dilihat dari sejumlah kasus pelanggaran pilkada yang ditangani MK. Hal ini berbeda jika dibanding pada masa Orde Baru di mana pelanggaran pilkada hampir tak pernah diusut. [YUK]