Dinamika Gerakan Darul Islam di Indonesia

Repro foto terakhir Kartosoewirjo bersama istrinya Dewi Siti Kalsum. (TEMPO/Dasril Roszandi)

Koran Sulindo – Sejarah Darul Islam di Indonesia adalah perjalanan panjang yang mengungkap dinamika politik, agama, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat pasca-kemerdekaan.

Gerakan yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwirjo di Jawa Barat pada akhir 1940-an ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia, tetapi juga menyebar ke berbagai wilayah lain seperti Aceh dan Sulawesi Selatan, yang memiliki pemimpin dan konteks perjuangan yang khas.

Artikel ini membahas bagaimana semangat mendirikan negara Islam di bawah Darul Islam merebak dari Jawa Barat hingga Aceh dan Sulawesi Selatan, serta dampak dan warisan yang masih terasa dalam lanskap politik Indonesia hingga hari ini.

Melansir laman kemdikbud, Darul Islam (DI) secara harfiah berarti “negara Islam” atau “wilayah Islam”. Sejak lama, istilah ini merujuk pada daerah di bawah kekuasaan Islam, berbeda dengan wilayah musuh (darul harb).

Di Indonesia, Darul Islam mengacu pada gerakan pemberontakan untuk mendirikan negara Islam yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905–1962). Perlawanan ini didukung oleh pemimpin-pemimpin daerah seperti Daud Beureueh (1896–1987) di Aceh dan Kahar Muzakkar (1921–1965) di Sulawesi Selatan.

Ketiga tokoh ini bersatu dalam gerakan Darul Islam dan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), dengan tujuan yang sama: menentang pemerintah pusat dan mengupayakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

Latar Belakang Perlawanan Darul Islam

Menurut catatan van Dijk (1981), perlawanan ini juga melibatkan tokoh-tokoh lain, seperti Amir Fatah di Jawa Tengah dan Ibn Hadjar di Kalimantan Selatan.

Formichi (2012) menjelaskan bahwa selain ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat dan masalah ekonomi, faktor ideologi Islam atau Islamisme memainkan peran utama dalam memicu gerakan ini. Meski demikian, gerakan ini seringkali dikaitkan dengan konsep Ratu Adil atau pembebasan dari kesengsaraan sosial.

Peran Kartosuwirjo dalam Gerakan Darul Islam

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Kartosuwirjo menjadi anggota Masyumi, partai Islam terbesar saat itu, bahkan menduduki jabatan Komisaris Masyumi Jawa Barat dan Sekretaris I Masyumi. Namun, ia memiliki misi sendiri untuk membentuk negara Islam, yang mengakibatkan dirinya menolak tawaran menjadi Menteri Muda Pertahanan.

Pada 14 Agustus 1947, setelah Agresi Militer Belanda pertama, Kartosuwirjo secara resmi menyatakan perang terhadap Belanda. Ketika para pemimpin Indonesia berupaya mencapai perdamaian melalui Perjanjian Renville, Kartosuwirjo menentangnya, membekukan Partai Masyumi Jawa Barat, dan memobilisasi sekitar 4.000 anggota Hizbullah dan Sabilillah.

Kartosuwirjo menganggap diplomasi dengan Belanda sebagai jebakan. Ketika ibu kota Yogyakarta jatuh dan banyak pemimpin ditawan dalam Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, ia menganggap ini sebagai bukti pengkhianatan Belanda.

Memanfaatkan kekosongan kekuasaan, Kartosuwirjo mendeklarasikan wilayah Jawa Barat sebagai basisnya dan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), yang ditempatkan di pegunungan sekitar Priangan Timur.

Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)

Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Desa Cisampang, Cisayong, Tasikmalaya. Isi proklamasi tersebut adalah sebagai berikut:

“Bismillahirrahmanirrahim. Asyhadu alla illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Kami Umat Islam Bangsa Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu ialah: Hukum Islam,” diakhiri dengan takbir dan tanda tangan Kartosuwirjo.

Dengan berdirinya NII, Kartosuwirjo mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari kekuasaan NII. Struktur pemerintahannya juga lengkap, dengan jabatan-jabatan seperti
wakil imam yang diisi oleh Karman, terdapat juga menteri dalam negeri dan penerangan yang posisinya dijabat Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad.

Terakhir, ada beberapa posisi menteri lagi, seperti Menteri Keuangan (Udin Kartasasmita), Menteri Pertahanan (Raden Oni), dan Menteri Kehakiman (Ghazali Thusi).

Reaksi Pemerintah Terhadap Gerakan Darul Islam

Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menganggap tindakan Kartosuwirjo sebagai pemberontakan dan mencoba berdialog melalui Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan). Namun, Kartosuwirjo menolak semua upaya diplomasi kecuali jika pemerintah mengakui keberadaan NII.

Setelah usaha damai gagal, TNI melancarkan Operasi Merdeka, operasi militer yang bertujuan menekan NII. Operasi ini masih bersifat insidentil, lokal, dan rutin tanpa rencana yang sistematis. Namun, gerakan DI/TII tetap bertahan selama belasan tahun dengan strategi gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia.

NII bahkan memanfaatkan rakyat sekitar untuk logistik, sehingga warga mulai menyebut mereka sebagai “gerombolan”. Pemerintah kemudian membentuk Badan Musyawarah Alim Ulama guna memantau pergerakan DI/TII.

Alasan dibentuknya adalah karena NII juga bertindak semena-mena hingga mulai timbul perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan masyarakat, akhirnya menimbulkan peristiwa fitnah.

Penumpasan NII di Jawa Barat

Pada 1957, operasi militer TNI mulai menunjukkan hasil dengan dukungan masyarakat. Lewat operasi militer bernama “Rencana Pokok 21”, TNI bekerjasama dengan masyarakat lokal menahan kelompok DI/TII di daerah-daerah tertentu untuk selanjutnya dihancurkan.

Operasi ini dimulai dari Banten lalu bergeser terus ke arah timur. Peran warga lokal di sini adalah diminta untuk mencegah anggota DI/TII masuk ke desa mereka. Selain itu, warga juga diminta untuk mengulur waktu sampai TNI berhasil memetakan pergerakan DI/TII di daerah-daerah wilayah operasi.

Taktik operasi terus berkembang hingga pada 4 Juni 1962, TNI berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo.

Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia. Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta.

Ia dieksekusi setelah sehari sebelumnya dikabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu keluarga. Tepat pukul 05.50 WIB, Kartosoewirjo dihukum mati dan menjadi penanda bagi akhir perlawanan DI/TII di Jawa Barat.

Perlawanan Darul Islam di Aceh

Gerakan Darul Islam juga berkembang di Aceh, dipimpin oleh Daud Beureueh. Pada awal Agustus 1949, bekas ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta II.

Ia ditugaskan di Aceh untuk memimpin perjuangan di Sumatra jika perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) gagal. Tanpa berkonsultasi dengan kabinet, ia menjadikan daerah Aceh sebagai provinsi, terlepas dari Provinsi Sumatra Utara. Teungku Daud Beureueh yang pada masa Perang Kemerdekaan memegang jabatan sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, diangkat sebagai gubernur.

Pada awal tahun 1951, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar dan RI kembali menjadi Negara Kesatuan, status daerah Aceh kembali di bawah Provinsi Sumatra Utara. Penurunan status dari provinsi ini membuat Daud Beureueh dan para pendukungnya, utamanya yang tergabung dalam Pusat Ulama Seluruh Aceh (PUSA), kecewa.

Pasalnya, peleburan provinsi itu mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik (1945-1950). Mereka juga khawatir akan kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh.

Selain itu, dengan penurunan status Aceh, keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka menjadi sulit diwujudkan. Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta.

Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.

Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer.

Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureueh tidak sulit memperoleh pengikut. Untuk mencari dukungan, ia mengobarkan sentimen kedaerahan dan sentimen keislaman. Kontak dengna Kartosuwirjo pun diadakan dengan saling mengirim utusan.

Pada 21 September 1953, Daud Beureueh memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Pemerintah menanggapi dengan mengirim pasukan dari Sumatra Utara dan Tengah. Operasi militer berhasil menguasai kembali kota-kota di Aceh, mendorong pasukan DI ke dalam hutan.

Pendekatan Damai di Aceh

Sebagaimana terjadi di Jawa Barat, di Aceh DI juga melancarkan taktik gerilya. Mereka melakukan sabotase terhadap alat-alat perhubungan dan meneror rakyat. Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu menerapkan pendekatan persuasif yang dikenal sebagai “Konsepsi Prinsipiil Bijaksana”.

Pada 5 dan 7 Juli 1957, pertemuan antara pihak TNI dan tokoh DI seperti Hasan Saleh, Hasan Ali, Gani Mutiara, Ustad Amin, dan Pawang Leman di Desa Lamteh diadakan, menghasilkan “Ikrar Lamteh” yang mendorong penghentian konflik.

Namun Ikrar Lamteh menimbulkan perpecahan di kalangan DI Aceh, melahirkan kelompok Hasan Saleh dan Daud Beureueh. Pada bulan Mei 1959, pemerintah mengirim misi yang dipimpin oleh Mr. Hardi untuk berunding dengan kelompok Hasan Saleh.

Hasil penting dalam perundingan itu ialah pemerintah akan memberikan status istimewa untuk daerah Aceh. Akan tetapi, Daud Beureueh menolak hasil perundingan tersebut dan tetap melanjutkan aksinya melawan pemerintah pusat.

Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Akhirnya, Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) digelar di Blangpadang, Aceh pada 18-22 Desember 1962 sebagai simbol rekonsiliasi.

Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan

Gerakan DI di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang bersekutu dengan Kartosuwirjo. Perlawanan berlangsung lebih lama dibanding di daerah lain. Kahar Muzakkar terus menggerilya sampai akhirnya gugur ditembak pada awal 1965.

Gerakan Darul Islam di Indonesia adalah perlawanan berdasar ideologi Islam yang kuat dan menjadi salah satu episode penting dalam sejarah Indonesia.

Setelah bertahun-tahun operasi militer dan negosiasi, pemerintah akhirnya berhasil meredakan gerakan DI di berbagai daerah. Meskipun telah berakhir secara resmi pada 1965, gerakan Darul Islam meninggalkan jejak yang signifikan dalam pembahasan hubungan antara Islam, politik, dan kekuasaan di Indonesia. [UN]