Dilan 1990 dan Kekerasan Budaya

Film Dilan 1990 produksi Max Pictures [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Tak pernah ada keinginan untuk menonton film Dilan 1990. Namun, setelah didesak berkali-kali dan untuk menuntaskan rasa penasaran atas “kehebohan” film tersebut, pada Februari lalu saya berkesempatan menontonnya. Sebuah film produksi Max Pictures dan disutradarai Fajar Bustomi. Rasa penasaran terhadap film tersebut tentu saja karena jumlah penontonnya menembus lima juta orang.

Jadi, bukan karena sutradaranya yang telah menggarap beberapa film Slank Nggak Ada Matinya (2013), Get Married (2015), Jagoan Instan (2016) dan lain sebagainya. Film tersebut memang ramai dibicarakan dan menyebar masif di media sosial. Itu sebabnya, tidak heran begitu banyak meme film tersebut sehingga, jujur terkadang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal. Dasar pembuatan film ini adalah novel yang ditulis oleh Pidi Baiq.

Film ini mengambil alur maju dan mundur atau alur campuran. Pasalnya, di awal film, penonton disuguhkan seorang wanita bernama Milea Adnan (Vanesha Prescilla) sedang berada di sebuah gedung di salah satu bilangan Jakarta. Ia sambil mengingat masa lalunya duduk terpaku di depan komputer jinjing (laptop). Tidak lama kemudian, kata per kata ia ketikkan di layar komputernya tentang kehidupan remajanya di Bandung pada periode 1990-an.

Segera film itu berubah dan kembali ke era 1990-an di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Bandung, Jawa Barat. Ketika Milea – yang baru pindah dari Jakarta ke Bandung – sedang berjalan menuju halaman depan sekolah, ia disapa seorang pria bernama Dilan (Iqbaal Ramadhan). Dilan ini kemudian pada akhirnya menjadi pacar “idaman” Milea. Akan tetapi, bukan ini soalnya. Juga bukan karena film tersebut disukai jutaan orang termasuk Presiden Joko Widodo itu. Bukan sama sekali. Masalahnya, sebagian penonton yang merupakan generasi milenial kehilangan konteks atas film tersebut.

Itu sebabnya, teramat sayang untuk mengabaikan beberapa adegan yang merupakan catatan penting atas film tersebut. Terutama berkaitan dengan beberapa dialog yang kehilangan konteks kekinian. Karena itu pula, ketika dialog tersebut diucapkan para pemainnya, akan terasa bagaimana penonton terlihat bingung dan terdiam. Hening. Barangkali mereka tidak mengerti apa konteks di balik dialog tersebut. Berbeda ketika Dilan mengucapkan kalimat yang agak romantis kepada Milea: studio bioskop langsung riuh.

Lantas apa yang penting dan teramat sayang dilewatkan dari dialog film tersebut? Kendati beberapa tulisan sudah mengulasnya, semisal Dilan 1990 adalah Film Horor yang dimuat di Tirto dan Proklamasi itu Berat, Dilan. Kamu Tak Akan Kuat dimuat di media daring Narazine, maka perlu kiranya mengulasnya bagaimana kekerasan budaya dapat terjadi melalui sebuah karya sastra dan film. Persis seperti yang ditunjukkan Wijaya Herlambang (2013) lewat film Pengkhianatan G30S/PKI.

Meminjam istilah Johan Galtung, Wijaya menjelaskan konsep bagaimana produk-produk budaya seperti ideologi, bahasa, agama, seni dan pengetahuan dapat digunakan untuk melegitimasi praktik kekerasan baik dilakukan secara langsung (fisik) maupun struktural (sistem sosial). Dengan demikian, menurut Wijaya, Galtung berpandangan bahwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara fisik. Ia memperluas arti kekerasan dengan mengikutsertakan kekerasan tak langsung dan legitimasi atas kedua jenis kekerasan: baik yang langsung maupun tak langsung.

Kekerasan Budaya
Semua jenis represi dan eksploitasi yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya dikategorikan sebagai kekerasan struktural. Kekerasan jenis ini adalah kekerasan yang tidak mencelakai atau membunuh melalui senjata atau bom, melainkan melalui struktur sosial yang menyebabkan kemiskinan, ketimpangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial dan politik. Sementara kekerasan langsung umumnya terjadi ketika kaum tertindas mencoba membebaskan diri dari tekanan sistem dan kemudian berhadapan dengan kekerasan tandingan dari lawan mereka (aparatus negara) yang menginginkan penindasan itu terhadap terjaga.

Lebih lanjut, menurut Wijaya, Galtung berpendapat, legitimasi atas kekerasan langsung dan tak langsung yang umumnya dilakukan melalui produk-produk kebudayaan, juga merupakan bentuk kekerasan. “Legitimasi merupakan kata kunci dalam model teoretis Galtung untuk menjelaskan bagaimana kekerasan budaya dapat beroperasi,” tulis Wijaya. Penggunaan kata “legitimasi” dalam hubungannya dengan praktik kekerasan negara berarti kekerasan sesungguhnya dapat dibenarkan melalui produk-produk kebudayaan yang fungsi utamanya adalah mengubah nilai-nilai ideologi dan moral agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan sebagai kejadian normal atau alamiah.

Yang perlu diingat, kata Wijaya, kekerasan budaya sebagai bentuk kekerasan ketiga dari model yang diajukan Galtung adalah bentuk yang paling sulit dikenali dan diukur, sekalipun kekerasan jenis ini memegang peran penting dalam masyarakat. Pasalnya, kekerasan budaya adalah “sesuatu yang permanen”. Dengan kata lain, dampaknya bersifat menipu sebab mengubah cara pandang kita atas suatu kekerasan dan berdampak dalam waktu yang panjang. Berdasarkan keterangan itu, maka tidak heran masyarakat kita masih fobia terhadap komunisme karena selama Orde Baru hingga kini kita masih disuguhkan produk-produk kebudayaan yang anti-komunis, terutama lewat film Pengkhianatan G30S/PKI.

Juga film karya Joshua Oppenheimer yang berjudul Jagal atau The Act of Killing. Seperti film Dilan 1990, karya Joshua itu juga mendapat tanggapan yang sangat postif dari masyarakat Indonesia. Akan tetapi, karena produk budaya bisa menipu, banyak orang melupakan pertanyaan kritis terhadap film tersebut: mengapa Joshua sama sekali menghilangkan peran tentara dan CIA dalam pembantaian kaum komunis dan rakyat pada 1965/66 terutama yang di Medan? Bahkan, karena film itu pula membangkitkan kemarahan mereka yang anti-komunis. Pada akhirnya film tersebut ikut melanggengkan anti-komunisme yang parah di Indonesia.

Film Joshua Oppenheimer [Foto: Istimewa]
Dilan 1990
Lantas bagaimana film Dilan 1990 dalam konteks kekerasan budaya tersebut? Berangkat dari beberapa dialog dalam film tersebut, boleh dibilang produk ini menjadi bagian dari melegitimasi kekerasan. Semisal, dialog Dilan kepada Milea: “Jangan bilang padaku ada yang menyakitimu, nanti besoknya orang itu akan hilang.” Seperti yang sudah disebutkan Wijaya karena kekerasan budaya sulit dikenali, dialog semacam ini seakan-akan tidak bermakna. Itu sebabnya, penonton terdiam ketika mendengar dialog semacam ini.

Akan tetapi, bagi mereka yang hidup di masa pemerintahan fasis militer Soeharto, tentu saja kalimat seperti itu membuat kita bergidik. Betapa tidak. Penghilangan orang-orang secara paksa terutama yang menentang kekuasaan Soeharto pada masa itu, umum terjadi. Dan seringkali pula dilakukan oleh tentara. Dalam film itu, kita ketahui ayah Dilan adalah seorang tentara. Dengan demikian, terkesan film tersebut membenarkan penghilangan paksa terhadap orang-orang yang menentang “keluarga tentara”.

Selanjutnya, kita juga bisa mendengar dialog antara ibu Dilan dengan Milea dalam sebuah perjalanan pulang dari sekolah mereka. Begini dialog tersebut ketika Milea bertanya kepada ibu Dilan tentang jati dirinya. “Aslinya orang Aceh, menikah, kemudian dibawa ke Indonesia?” Tentu saja pernyataan ini membuat Milea terheran-heran, termasuk para penonton. Jika kita merujuk pada masa 1990-an, rezim Soeharto sedang aktif-aktifnya melabeli orang-orang yang menentang kekuasaannya.

Merujuk kepada Aceh ketika itu, rezim Soeharto melabeli rakyat Aceh yang menentangnya sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Istilah kepada rakyat Aceh ini terus berubah-ubah ketika pemerintah memberlakukan Operasi Jaring Merah sejak 1990 hingga 1998. Mulai dari GPK hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dan paling sering digunakan adalah GAM. Dalam pemeriksaan berbagai tokoh-tokoh Aceh ketika itu, rezim militer di bawah Soeharto lebih sering menggunakan istilah GAM. Lalu apa hubungannya dengan dialog film Dilan tersebut? Kesannya rakyat Aceh adalah “pemberontak” sehingga ibu Dilan menjadi orang “diselamatkan” oleh tentara dan memberi kesan pembenaran atas kekerasan terhadap rakyat Aceh karena menjadi orang-orang yang “tersesat”.

Dialog penting lainnya yang teramat sayang untuk diabaikan adalah jawaban ayah Milea ketika ditemui sedang membersihkan senapan laras panjangnya. Begini dialognya: “Sedang apa, Yah?” tanya Milea. “Buat nembak tikus-tikus di jalanan,” jawab ayahnya. Apa yang terbersit di pikiran kita ketika mendengar dialog tersebut? Bagi mereka yang telah dewasa pada periode awal hingga pertengahan 1980 segera pikiran mereka akan melayang pada istilah yang dikenal sebagai penembakan misterius (petrus). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) pernah menyelidiki pelanggaran berat HAM masa lalu terkait petrus dari 1982 hingga 1985 yang menimbulkan korban hingga 10 ribu orang.

Juga cerita tentang Dilan yang begitu berkuasa atas sekolahnya karena merupakan anak seorang tentara menjadi bagian penting dalam kerangka menganalisis betapa film tersebut termasuk dalam kategori kekerasan budaya. Film tersebut membenarkan kekerasan-kekerasan fisik selama periode Orde Baru. Bahkan karena menjadi anak seorang tentara, guru Dilan pun dibuat “ketakutan” sedemikian rupa.

Besarnya tanggapan masyarakat terhadap poduk budaya semacam film Dilan 1990 menjadi bukti atas hipotesis Julie de Lima, budayawan Filipina yang menyebutkan, ilmu sosial dari sudut pandang marxisme mengakui kebudayaan memainkan peran penting dalam masyarakat. Apalagi dalam menganalisis masyarakat yang berdasarkan hukum perkembangan masyarakat, kita mesti mempelajari basis ekonomi (bangunan bawah) dan politik serta kebudayaan (bangunan atas). Berdasarkan hal tersebut, kita akan mengerti, kelas yang menguasai bangunan bawah (ekonomi) dalam waktu jangka panjang, maka akan menghasilkan kerangka kekuasaan politiknya dan ajaran kebudayaan dominan.

Menurut Julie, kendati bangunan bawah menjadi suatu faktor yang penting, politik dan kebudayaan tak kalah penting untuk mengatasi kebuntuan serta bisa menjadi solusi untuk kemajuan secara umum. Seperti Julie, Wijaya Herlambang juga menegaskan bahwa produk kebudayaan yang meliputi seni, sastra, bahasa dan pengetahuan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan, memelihara dan mengubah nilai-nilai moral dalam masyarakat. Dan itu sebabnya ia menjadi ampuh: ada kekuatan besar dalam kebudayaan.

Akan tetapi, tentu saja tidak semua produk kebudayaan merupakan kekerasan budaya. Namun, aspek-aspek kebudayaan dapat digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural. Berdasarkan analisis tersebut, masihkah kita menganggap film Dilan sekadar produk kebudayaan yang menye-menye? [Kristian Ginting]