Solidaritas JBMI menuntut keadilan untuk Adelina Lisao, buruh migran asal NTT [Foto: Dokumentasi JBMI]

Koran Sulindo – Putusan pengadilan itu sungguh mengejutkan. Laksana petir di siang bolong. Sebuah keputusan yang menyesakkan dada. Memicu kemarahan. Pengadilan Tinggi Malaysia membebaskan S. Ambika yang didakwa membunuh Adelina Lisao atau Adelina Sau, buruh migran Indonesia.

Lalu, di mana keadilan untuk Adelina? Semua putusan terhadap Ambika bermula dari jaksa yang mendadak membatalkan dakwaan. Tak ada penjelasan mengapa jaksa membatalkannya. Tidak hanya kita, putusan itu juga memicu kemarahan orang-orang Malaysia terutama kalangan organisasi hak asasi manusia dan seorang anggota parlemen.

Kisah Adelina ini sempat membetot perhatian publik pada Februari tahun lalu. Ia perempuan berusia 21 tahun asal Desa Abi, Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Bekerja di Malaysia sejak 2016. Dan selama bekerja di sana, ia acap mendapat siksaan dari majikannya yakni Ambika itu dan diperlakukan bak binatang sehingga harus mendapat perawatan.

Bukti siksaan yang dialami Adelina tampak luka bakar pada tangan dan kakinya. Tak hanya disiksa, menurut Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), Adelina juga dipaksa tidur di teras rumah bersama anjing selama sebulan terakhir. Tak kuasa menahan siksaan itu, Adelina akhirnya mengalami kegagalan sejumlah organ akibat anemia.

Ia dibawa ke rumah sakit pada 10 Februari. Adelina tak bertahan. Sehari kemudian dinyatakan tewas. Berdasarkan penelusuran Kabar Bumi, Adelina merupakan korban keenam yang meninggal dari NTT pada Februari 2018. Juga menjadi bukti betapa buruh migran asal Indonesia sama sekali tanpa perlindungan. Nota kesepahaman (MoU) pemerintah Indonesia dan Malaysia mengenai perlindungan buruh migran tampaknya sekadar seremonial belaka. Sama sekali tak pernah dijalankan.

Mendengar putusan pengadilan itu, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) mengecamnya. Dalam keterangan resminya pada Rabu (24/4), Koordinator JMBI, Sringatin mengatakan, putusan pengadilan itu menjadi bukti pembenaran pemerintah Malaysia akan praktik eksploitasi, kekerasan dan perbudakan modern terhadap buruh migran terutama pekerja rumah tangga.

Adelina, demikian Sringatin, merupakan korban perdagangan manusia. Bahkan selama bekerja di Malaysia, di samping disiksa, Adelina sama sekali tidak dibayar. Karena itu, putusan pengadilan itu tentu saja mencerminkan ketidakadilan bagi Adelina dan umumnya pekerja rumah tangga yang bekerja di Malaysia. Pembebasan Ambika menegaskan buruh migran hanyalah budak bagi kepentingan bisnis, majikan dan pemerintah Malaysia.

Sejurus dengan itu, menurut Kabar Bumi, rendahnya diplomasi terhadap negara penempatan dan hukuman terhadap pelaku kekerasan, menyebabkan kasus penyiksaan buruh migran kita terus berulang. Negara karena itu perlu bersikap tegas menuntut keadilan bagi Adelina. Mendesak agar pelakunya mendapat hukuman seberat-beratnya.

Dikatakan Sringatin, seperti buruh migran lainnya, Adelina juga korban pemiskinan, sulitnya lapangan kerja dan harga kebutuhan yang terus melambung di dalam negeri. Buruknya sistem penyebaran informasi dan perekrutan serta praktik korupsi menyebabkan perempuan-perempuan muda seperti Adelina rentan terjebak ke sindikat perdagangan manusia bahkan narkoba.

Minimnya pelayanan di luar negeri menyebabkan banyak korban sulit mendapatkan pertolongan ketika membutuhkan, termasuk ketika buruh migran sudah ditangkap dan dipenjara. Namun ironisnya ketika pemilu, buruh migran baik berdokumen atau tidak berdokumen digerakkan untuk mencoblos. Tapi, ke mana mereka ketika kasus Adelina ditutup dan buruh migran di luar negeri membutuhkan pertolongan?

Tidak hanya di Malaysia, umumnya buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga kerap diperlakukan seperti budak. Boleh dibilang buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga “tersembunyi” dari pantauan sehingga rentan mengalami berbagai risiko. Mereka sendiri dan seringkali tanpa memiliki uang. Mereka kerap merasa terjebak. Dan satu-satunya pilihan adalah melarikan diri walau kadang tanpa tujuan.

Maka, ketika kita mendengar kisah buruh migran yang mengalami kekerasan di Malaysia, kita merasa sudah mengetahui dan itu adalah satu-satunya. Sampai kita mendengar kisah tragis Adelina yang begitu menyedihkan. Sebuah tulisan berjudul How Many More Domestic Workers Must Die Before We Change? mengisahkan cerita pilu Adelina itu.

Adelina Lisao tidur di beranda rumah di Taman Kota Permai, Penang, Malaysia, ketika ditemukan Sabtu (10/2/2018). TKI asal Nusa Tenggara Timur itu ditemukan dengan berbagai luka di wajah dan kepala. Perempuan 21 tahun itu meninggal dunia sehari berselang (11/2/2018).(Steven Sim/The Malay Online)

 

Cerita Tetangga (Kronologis)
Adelina seperti ratusan ribu buruh migran lainnya mencoba peruntungan di Penang, Malaysia sebagai pekerja rumah tangga. Dari situ ia berharap mendapat penghasilan yang cukup agar mampu membantu keluarganya di NTT. Akan tetapi, ia tak menyangka akan bekerja di sebuah keluarga dengan majikan yang kasar. Berdasarkan berbagai laporan, kondisi kehidupan Adelina selama menjadi pekerja rumah tangga di Penang itu membuat banyak orang terkejut.

Berawal dari kecurigaan tetangga majikannya yang acap mendengar jeritan dan teriakan Adelina saban hari. Soal kekerasan ini, majikannya mengaku sering menamparnya. Karena teriakannya itu, para tetangga majikannya meminta bantuan anggota parlemen setempat yaitu Steven Sim Chee Kong. Setelah mendapat laporan itu, Steven Sim segera menelepon tim penyelamat agar datang ke Kompleks Taman Kota Permai Penang, alamat rumah majikan Adelina.

Steven Sim bersama tim penyelamat mendapati Adelina tidur beralaskan tikar di teras rumah majikannya bersama dengan anjing peliharaan. Tampak Adelina mengalami luka lebam di bagian kepala, wajah, kaki dan tangan. Untuk kasus ini, pihak kepolisian Malaysia sudah menahan majikan dan saudara laki-laki majikannya. Akan tetapi, pernyataan Kedutaan Besar RI dan Konjen RI Penang justru semakin membuat kita bersedih: Adelina disebut buruh migran tak berdokumen. Sebuah pernyataan yang memicu perdebatan.

Tentu saja pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai alasan pemerintah untuk tidak menangani kasus Adelina secara serius. Sebagai pemegang paspor, tentu saja Adelina merupakan warga negara yang sah. Itu sebabnya, kasus ini mesti dituntaskan sebagai komitmen negara melindungi warga negaranya di luar negeri.

Betapapun kisahnya begitu menyedihkan, akan tetapi peristiwa demikian bukanlah kali pertama terjadi. Dan mungkin pula bukan yang terakhir. Lalu, siapa yang tidak marah dengan situasi demikian? Harus menunggu berapa banyak lagi yang menjadi korban sehingga negara benar-benar serius memutus “mata rantai” kekerasan terhadap warganya? Akan tetapi, semuanya seperti sudah menjadi umum sehingga barangkali tidak akan pernah ada perubahan. Benarkah? [Kristian Ginting]