Koran Sulindo – Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla disebut semakin mengekang kebebasan berkumpul warga negara. Buktinya baru-baru ini alih-aih menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti tragedi 1965, aparat keamanan justru membubarkan diskusi publik terkait dengan penyelesaian kasus 65.
International People’s Tribunal (IPT) 1965 karena itu mengecam pembubaran diskusi pada 1 Agustus lalu yang merupakan bentuk tindak lanjut atas hasil panel hakim IPT terkait tragedi 65. Lembaga ini menilai pemerintahan semakin bergerak menuju cara-cara Orde Baru membungkam masyarakat.
Berdasarkan laman resmi IPT 1965, pembubaran acara itu bermula dari kehadiran pejabat intel Kepolisian Resort Jakarta Timur Sianturi, Koramil, Lurah serta aparat intelijen ke lokasi acara di Klender, Jaktim. Dengan menekan pengelola lokasi, aparat meminta agar acara itu dibubarkan karena tidak memiliki izin. Padahal acara diskusi itu hanya melibatkan 20 hingga 25 orang.
Beberapa peserta yang tiba lebih awal di lokasi ditanyain aparat tentang kegiatan da surat undangan. Peserta merasa tertekan karena pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pejabat intel Polres Jaktim lalu menegaskan bahwa untuk mengadakan acara di wilayah tersebut harus memiliki izin.
Aparat mengaku mendapat laporan dari masyarakat tentang rencana kegiatan tersebut walau tak menyebutkan siapa yang melapor. Sianturi beralasan para peserta diskusi tidak perlu tahu siapa pelapornya.
Oleh karena itu, IPT 1965 menyimpulkan tindakan aparat keamanan yang terdiri atas kepolisian, TNI dan intelijen itu sebagai bentuk intimidasi. Panitia lalu memutuskan untuk pindah tempat karena merasa kasihan terhadap pengelola lokasi yang ditekan oleh aparat. Acara pun dipindahkan ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
“Kami memandang kebebasan berkumpul dan berdiskusi yang merupakan hak asasi setiap orang dan hak konstitusional warga negara telah dirampas secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan,” tulis IPT 1965 dalam lama resminya pada Rabu (2/8).
Pelarangan kegiatan diskusi dan lain sebagai bukanlah kali pertama terjadi. IPT 1965 mencatat telah terjadi 61 kasus pelarangan dan pembubaran paksa sejak 2015 hingga Mei 2017. Sekitar 80 persen di antaranya pelarangan atau pemaksaan pembatalan acara. Isu yang dihembuskan adalah bangkitnya “hantu” komunisme.
Pelarangan paksa atau pembatalan suatu pertemuan oleh aparat kepolisian disebut IPT 1965 sebagai bentuk perampasan dan serangan serius terhadap hak untuk berkumpul dan berpendapat. Lebih dari itu paksaan untuk pembubaran di beberapa kampus juga merupakan penghinaan terhadap kebebasan mimbar akademik. [KRG]