Koran Sulindo – Pemerintah menyatakan mengantisipasi kemungkinan terjadinya resesi dalam 1 tahun ke depan dengan mendorong Foreign Direct Investment (FDI) dan investasi dari dalam negeri.
“Karena situasi neraca pembayaran kita terutama neraca perdagangan dan transaksi berjalannya situasinya negatif, dan kalau itu negatif maka yang paling penting agar bisa didorong adalah Foreign Direct Investment supaya kalau Foreign Direct Investment valuta asingnya akan ada,” kata Menko Perekonomian, Darmin Nasution, usai mengikuti Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019), seperti dikutip setkab.go.id.
Harapannya, selain akan ada peningkatan produksi di dalam negeri, valas juga akan masuk ke Indonesia sehingga neraca transaksi berjalan yang negatif itu bisa diimbangi. Juga membuat ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung kepada modal jangka pendek tetapi lebih ke FDI yang lebih stabil.
Persoalannya adalah bagaimana supaya investasi itu bisa meningkat lebih cepat?
“Pemerintah akan benar-benar fonus dalam waktu jangka pendek ini, 1-2 bulan ini memangkas lagi berbagai perizinan. Izin yang penting dipertahankan yang tidak penting akan dihilangkan. Ya tentu yang penting kan pasti ada, misalnya izin usaha pasti perlu, tapi kalau kemudian izin-izin lain yang tidak terlalu penting katakanlah ada usulan bagaimana kalau impor barang modal atau mesin-mesin untuk investasi apa harus pakai rekomendasi lagi atau izin, yang begitu tidak perlu. Jadi itu dia fokus dari diskusi semuanya,” katanya.
Persoalan-persoalan yang menyangkut perizinan yang didesentralisasikan setelah undang-undang otonomi daerah dulu, akan dikajiulang.
Menurut Darmin, pemangkasan perizinan tersebut tidak hanya menyasar aturan izin berdasarkan peraturan menteri atau Perpres semata, tapi juga undang-undang.
Pemangkasanp perizinan ini harus selesai dalam 1 bulan ke depan.
“Menseskab juga melakukan identifikasi dan membuat list semuanya yang nanti kita coba lihat bersama-sama dengan menko-menko yang lain apakah itu cuma tingkatannya PP atau Perpres atau bahkan cuma peraturan menteri. Kalau itu lebih gampang, tapi kalau ada yang perlu perubahan undang-undang itu juga kita akan tempuh. Tentu harus melalui omnibus law kalau menyangkut undang-undang,” kata Darmin.
Darmin mengatakan masalah utamanya, mengutip pengantar Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas sebelumnya, dalam setahun terakhir ini banyak relokasi industri dari Cina tapi tak ada yang berpindah ke Indonesia. Sebagian besar mengalihkan investasinya ke Vietnam, diikuti Kamboja dan Thailand.
“Semua ini kemudian menunjukkan bahwa memang ada yang tidak berjalan dengan baik di kita. Bahkan di dalam beberapa hal bukan izin, kadang-kadang cuma rekomendasi teknis, tidak ada izinnya tapi perlu ada rekomendasinya dan itu lama,” katanya.
Persoalan Indonesia adalah, kesulitan berinvestasi di sini bukan karena izin, tapi rekomendasi yang bisa 2 bulan baru keluar. Sedangkan dalam global value chain persoalan seperti itu harus selesai 2-3 hari.
“Kalau dulu waktu 16 paket itu sering kita tidak ubah izinnya, syaratnya kita sederhanakan dari 5 menjadi 2 misalnya. Kalau ke depan pertanyaannya tidak hanya itu, perlu atau tidak, kalau tidak perlu hilangkan saja izinnya jangan ditingkat persyaratannya saja,” kata Darmin.
Layani, Jangan Minta Dilayani
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan jalan paling cepat mengantisipasi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kemungkinan resesi memang FDI.
“Kuncinya hanya ada di situ, nggak ada yang lain, nggak ada yang lain. Kuncinya hanya ada di situ,” kata Jokowi, saat menyampaikan pengantar pada Rapat Terbatas (Ratas) tentang Antisipasi Perkembangan Perekonomian Dunia, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019), seperti dikutip setkab.go.id.
Presiden meminta seluruh kementerian yang berkaitan dengan ekonomi menginventarisir regulasi-regulasi yang menghambat dan membuat Indonesia lamban itu. Jokowi menunjuk contoh, dari 33 perusahaan yang dua bulan lalu keluar dari Tiongkok, 23 memilih di Vietnam, 10 lainnya perginya ke Malaysia, Thailand dan Kamboja.
“Dari 33 tadi, sekali lagi 33 perusahaan yang di Tiongkok yang keluar, saya ulang, 23 ke Vietnam 10 ke Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digarisbawahi,” katanya.
Setelah dilihat lebih detail lagi, menurut Presiden, kalau mau pindah ke Vietnam itu hanya butuh waktu 2 bulan rampung semuanya. Di Indonesia proses itu bisa bertahun-tahun.
“Penyebabnya hanya itu nggak ada yang lain,” katanya.
Pada 2017, menurut Jokowi, terdapat 73 perusahaan Jepang melakukan relokasi, dan pilihannya sebanyak 43 buah memindahkannya ke Vietnam, 11 ke Thailand dan Filipina, dan Indonesia menerima 10 perusahaan.
“Masalah itu ada di internal kita sendiri. Kunci kita keluar dari perlambatan pertumbuhan ekonomi global itu, ada di situ. Dan kemungkinan kita bisa memayungi kita dari kemungkinan resesi global yang semakin besar juga ada di situ,” katanya.
Presiden memerintah semua kementerian yang berkaitan dengan investasi, tidak hanya (Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) saja, tapi juga Kementerian Pertanian, Perindustrian dan BUMN, membuka pintu perusahaan-perusahaan yang sudah masuk tapi belum terrealisasi.
“Jadi tolong juga menteri-menteri ini memberikan pelayanan yang baik kepada investasi-investasi yang memang itu menjadi sebuah solusi dan jalan keluar dari tadi yang sudah saya sampaikan. Dampingi mereka sampai terealisasi, kita jangan kaya pejabat minta dilayani, kita melayani, dah,” kata Jokowi.
Masih Kredibel
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, mengakui dampak perang dagang saat ini sangat dahsyat bagi ekonomi dunia. Apalagi perang ini dilakukan oleh dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
“Perang dagang menimbulkan ketidakpastian yang tinggi sekali. Ke Indonesia pengaruhnya lewat perdagangan, karena AS dan China partner utama perdagangan Indonesia,” kata Destry di Jakarta, Rabu (4/9/2019), seperti dikutip cnbcindonesia.com.
Tapi tak hanya Indonesia, negara tetangga seperti Singapura dan Thailand juga terpengaruh oleh kondisi perang dagang. Singapura ekonominya sudah hampir terjangkit resesi. Terakhir muncul juga kabar krisis di Argentina, dan resesi di Turki.
Menurut Destry, kondisi ekonomi Indonesia masih kredibel dan bisa dikatakan lebih baik. Imbal hasil investasi di Indonesia masih bagus, sehingga masih menarik untuk investasi. Dari sisi makro ekonomi kita juga masih bagus, moneter dan fiskal kita luar biasa bagus dan kredibel. Namun ia mengatakan kebijakan struktural masih harus terus dibenahi, agar daya tahan ekonomi Indonesia makin kuat. Contohnya adalah memperkuat industri manufaktur di dalam negeri.
“Apa kita punya daya tahan? Saya lihatnya masih punya. Ekonomi domestik kita kuat,” kata Destry.
Menurut Destry, apa yang terjadi di Argentina dan Turki tidak akan mempengaruhi Indonesia atau negara lain, karena masalah ekonomi di Argentina dan Turki akibat masalah pada struktur ekonomi domestiknya.
Bank Dunia
Sebelumnya, pada Senin (2/9/2019) lalu, Presiden Jokowi menemui perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia di Istana Negara, Jakarta.
“Pak Jokowi hanya ingin mendengar analisis kami tentang kondisi ekonomi global. Presiden cuma nanya opini kita terkait kebijakan ekonomi global,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chavez, di Jakarta, Senin (2/9/2019), usai bertemu Presiden Jokowi, seperti dikutip cnnindonesia.com.
Dalam pertemuan tersebut, Bank Dunia membeberkan risiko resesi pada ekonomi global meningkat. Bank Dunia mengimbau pemerintah mewaspadai beberapa poin, termasuk situasi geopolitik saat ini, dan terus memonitor dan menyiapkan langkah mitigasi terjadinya resesi ekonomi global.
Dalam pertemuan tersebut, Bank Dunia merekomendasi pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit) melalui peningkatan investasi asing (FDI).
“Itu cara itu paling baik untuk mendorong ekonomi, dengan menambah modal juga memperbaiki aliran portofolio,” katanya.
Pemerintah Indonesia harus memperlihatkan kredibilitas kepada para investor asing, misalnya dengan aturan main dalam berinvestasi yang jelas, konsisten. stabil, serta memenuhi aspek kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
“Menurutku, Indonesia sebenarnya punya fundamental yang kuat, terutamanya dalam hal manajemen makro. Reformasi struktural terutamanya pada SDM (sumber daya manusia), infrastruktur, investasi, FDI, pemungutan pajak. Itu akan memberi kontribusi tinggi dalam hal mempertahankan kondisi keuangan,” kata Chavez. [Didit Sidarta]