Koran Sulindo – Pemungutan suara yang digelar dalam sidang darurat Majelis Umum PBB menunjukkan 128 negara menentang langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Kamis (21/12).
Hanya sembilan negara yang menyatakan dukungan atas pengakuan AS tersebut yakni Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall. Sedangkan Australia, Filipina, Rumania, Rwanda, Kanada termasuk dalam 21 negara lainnya tidak memberikan suara, dan 35 lainnya tidak berpihak.
Sehari sebelum sidang digelar, Presiden AS Donald Trump mengancam bakal ‘mengawasi’ siapa saja yang menentangnya dan berjanji bakal menerapkan sanksi ekonomi kepada anggota PBB yang berseberangan dengannya.
“Mereka mengambil ratusan juta dolar bahkan miliaran dolar dan kemudian mereka memberikan suara menentang kita,” kata Trump di Gedung Putih. “Well, mari kita lihat itu. Biarkan mereka memilih melawan kita. Kita akan menghemat banyak. Kami tidak peduli.”
Menentang ancaman Trump, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak agar anggota PBB tidak terpengaruh oleh ancaman Trump, “Saya menyeruskan seluruh dunia untuk tidak pernah menjual kehendak demokratis mereka dengan imbalan uang kecil.”
“Bagaimana mereka menyebut Amerika? Tempat lahirnya demokrasi. Tempat lahir demokrasi berusaha menemukan kemauan dunia yang bisa dibeli dengan dolar. Tuan Trump Anda tidak bisa membeli kehendak demokratis Turki. Keputusan kami sudah jelas,” kata Erdogan.
Mayoritas negara anggota PBB pada sidang darurat tersebut menuntut semua negara mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem. Hasil pemungutan suara itu menyetujui resolusi yang menyatakan “penyesalan mendalam” atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.
Resolusi Majelis Umum PBB itu juga menegaskan kembali bahwa status final kota Yerusalem hanya bisa dituntaskan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel seperti disepakati dalam sejumlah resolusi PBB sebelumnya.
“Amerika Serikat akan mengingat hari ini,” kata Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley pada Sidang Umum tersebut. “Amerika akan menempatkan kedutaan di Yerusalem, dan tidak ada suara di PBB yang bisa membuat perbedaan dalam hal itu.”
“Tapi suara ini akan membuat perbedaan bagaimana orang Amerika memandang PBB dan bagaimana kita memandang negara-negara yang tidak menghormati kita di PBB,” kata Haley menambahkan. “Ketika kami memberikan kontribusi yang besar kepada PBB, kami memiliki harapan yang sah bahwa niat baik kami diakui dan dihormati.”
Sidang darurat itu digelar atas permintaan Palestina, setelah AS menggunakan hak veto untuk menentang rancangan resolusi serupa di Dewan Keamanan PBB. Dari 15 anggota DK PBB, hanya AS yang menentang rancangan resolusi tersebut. (Baca: AS Veto Resolusi DK PBB soal Yerusalem)
Bagaimanapun resolusi sidang darurat Majelis Umum tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Resolusi juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional berbeda dengan resolusi DK PBB. Namun, meski resolusi DK PBB PBB tahun 1980 terkait larangan menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut juga tidak pernah ditegakkan. [TGU]