Dunia penegakan hukum mengenal beberapa jenis hukuman kepada para pelaku kriminal atau pelanggar pidana, dari hukuman ringan sampai hukuman mati. Sampai saat ini hukuman mati masih dilakukan oleh sejumlah negara. Terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati di setiap negara, antara lain rajam, pancung, gantung, tembak, kursi listrik, dan suntikan. Kemungkinan, hukuman mati pertama kali diterapkan di Babylonia ribuan tahun lalu.
Di Nusantara hukuman mati pertama kali terjadi pada pemerintahan kolonial Belanda. Yang cukup dikenal adalah kasus Sara Specx terkait skandal perzinahan dengan Pieter Cortenhoeff di Kasteel Batavia pada 1629. Sara adalah adalah anak angkat dari Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629). Pieter dipancung di halaman Stadhuis, sementara Sara diseret ke arah pintu gerbang Stadhuis untuk menyaksikan hukuman kekasihnya. Stadhuis atau Balai Kota sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta atau populer disebut Museum Fatahillah.
Pada masa kepemimpinan Daendels (1808-1811), pengaturan penentuan hukuman mati menjadi kewenangan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Pada saat itu hukuman mati dianggap sebagai strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Alasan rasial
Pada 1870 Belanda menghapus hukuman mati di negaranya. Namun di Nusantara mereka memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesier) 1 Januari 1873 dan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1 Januari 1918. Hal ini dilatarbelakangi alasan rasial bahwa orang-orang pribumi jajahan tidak bisa dipercaya, suka berbohong, memberikan keterangan palsu di pengadilan, dan bersifat buruk.
Pada masa awal kemerdekaan, hukuman mati tetap dipertahankan dengan menyesuaikan WvSI sebagai hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana militer, hukuman mati dianggap sebagai respon untuk memperkuat strategi pertahanan negara dari situasi dan upaya mempertahankan kemerdekaan dalam kurun waktu 1945-1949.
Pelaksanaan hukuman mati hingga masa demokrasi liberal tahun 1951, menurut yoursay.suara.com, merupakan salah satu strategi untuk membungkam pemberontakan penduduk yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada masa Orde Baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik dan mengamankan agenda pembangunan.
Sampai hari ini, Indonesia masih menjalankan hukuman mati. Banyak orang menilai hukuman mati tidak patut dijalankan karena merampas hak hidup manusia. Menurut pertimbangan mereka, seharusnya kematian ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh jadwal manusia. Pada 1980-an pernah ada gerakan yang disebut Hati (Hapus hukuman mati). Namun bagi pandangan lain, hukuman mati perlu jika berbagai tahap hukum sudah ditempuh terpidana dan permasalahan tidak bisa terselesaikan.
Hiburan rakyat
Di masa penjajahan Belanda, menonton orang dihukum mati menjadi hiburan rakyat. Hiburan yang tidak lazim kala itu. Hukuman mati dilaksanakan di halaman Stadhuis (Balai Kota) Batavia.
Setiap ada berita seorang pelanggar hukum yang dieksekusi, ribuan orang akan berbondong-bondong menyaksikan pelaksanaan hukuman mati. Hukuman mati paling sering diterapkan di Batavia dan dijatuhkan untuk pezina, pembunuh, hingga pembuat onar.
Menurut Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Hantu (2010), Kompeni sendiri yang biasanya mengundang warga Batavia untuk menonton eksekusi hukuman mati. Sehari sebelum eksekusi, pejabat pengadilan akan mendatangi kampung-kampung di sekitar Stadhuis. Eksekusi mati berupa hukuman gantung. Sejumlah tentara, infanteri, dan kavaleri membentuk pagar betis di sekitar mimbar penggantungan.
Di antara banyaknya orang yang dieksekusi mati, ada beberapa sosok yang paling dikenang oleh warga Batavia. Mereka adalah Sara Specx, Pieter Cortenhoeff, dan playboy Tionghoa, Oey Tambah Sia.
Selain digantung dan dipancung, banyak terhukum disiksa terlebih dulu. Mereka harus menaiki semacam kuda-kudaan dari kayu dengan punggung yang tajam. Alat penyiksa itu dipasang di bawah pohon-pohon asam di depan penjara militer Stadhuis. Para terhukum diperintahkan menunggang ‘kuda’ tersebut sampai berhari-hari. Kedua kaki mereka digantungi batu-batu berat. Inilah bentuk hukuman mati secara perlahan-lahan.
Kerajaan Majapahit
Di Nusantara pernah berdiri kerajaan Majapahit (1293-1527). Pada masa itu Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan itu kuat karena sudah memiliki produk hukum yang bersumber pada perundang-undangan Agama. Pada 1967 Prof. Dr. Slametmuljana merangkumnya dalam buku Perundang-undangan Madjapahit.
Dalam buku itu antara lain dikatakan pidana mati dilaksanakan terutama oleh orang yang diserahi tugas untuk menjalankan pidana mati atas nama raja yang berkuasa, apabila orang yang dikenakan pidana mati itu tertangkap hidup-hidup. Orang itu disebut singamenggala, berarti ‘yang disuruh memenggal’. Pidana mati dilaksanakan di pamanggahan.
Mereka yang dikenakan pidana mati, menurut pasal 20, adalah pendusta, penenung, dan pencuri. “Jika terbukti supaya dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Anak cucunya supaya diberitahukan kepada orang banyak, dan jangan dibiarkan hidup oleh raja yang berkuasa,” demikian menurut Perundang-undangan Madjapahit.
Pasal 59 lain lagi bunyinya, “Jika seorang pencuri yang telah terbukti melarikan diri, harus dikejar dan dibunuh oleh para penduduk desa, meski pada siang hari sekalipun”. Pidana mati dapat dilaksanakan langsung oleh orang yang dirugikan akibat perbuatan orang yang dikenakan pidana mati itu.
Lelaki yang melarikan gadis ke hutan bisa dibunuh oleh bapak si gadis (pasal 178). Sementara suami yang lama berhak membunuh kedua mempelai apabila perkawinan mengundang tetangga serta sanak saudara kedua mempelai (pasal 179). [DS]