Koran Sulindo – Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Air mengeluhkan sulitnya mendapatkan naskah akademik Rancangan Undang Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA). Ini kemudian memunculkan kecurigaan bahwa RUU itu sebagai bentuk kesepakatan utang terhadap Bank Dunia.
Dengan demikian, RUU tersebut kelak akan lebih cenderung menerima kepentingan pasar. Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Muhammad Reza mengatakan, Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) beralasan naskah akademik RUU tersebut telah diserahkan ke Komisi V DPR. Nyatanya naskah akademik RUU tersebut tetap sulit untuk diakses.
Pembuatan naskah akademik memakan waktu selama dua tahun. Dan selama itu pula selalu bersifat tertutup, kata Reza. Padahal RUU itu akan menggantikan UU tentang SDA Tahun 2004 yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena mendorong komersialisasi dan privatisasi air.
Soal ini, Amrta Institute mencatat selama 2016 asing menguasi sektor sumber daya air di Indonesia. Apalagi Indonesia disebut pasar yang besar untuk penjualan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Bisnis ini berkembang lantaran minimnya layanan air perpipaan siap minum dan semakin tingginya polusi air.
Asosiasi Pengusaha Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspasdin) mencatat pertumbuhan konsumsi AMDK secara nasional mencapai lebih dari 11 persen. Di Jawa Tengah di daerah padat penduduk, misalnya, pertumbuhan konsumsi AMDK bahkan bisa mencapai 30 persen.
Asing Dominasi Air
Untuk bisnis AMDK, asing lebih mayoritas. AMDK yang diproduksi asing menguasai pasar seperti Aqua-Danone dengan pangsa pasar mencapai 42 persen. Pemegang saham mayoritas Aqua-Danone, yaitu sebesar 74 persen, adalah perusahaan asal Prancis.
Kemudian, merek Nestle Pure Life dengan pangsa pasar sebesar 10 persen. Pure Life diproduksi oleh perusahaan Nestle Indonesia, anak perusahaan awal Swiss, Nestle SA. Lalu ada Ades dengan pangsa pasar enam persen. Salah satu investor Ades yang terkemuka adalah perusahaan Amerika The Coca Cola Company.
Di luar bisnis AMDK, swasta asing juga menanamkan modalnya dalam Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Dalam bisnis itu, swasta asing masuk melalui skema Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air, lembaga di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat 46 KPS di sektor SPAM.
Bentuk kerja samanya beragam, mulai dari konsesi untuk pengelolaan instalasi pengolahan air hingga konsesi penuh. Di Jakarta, KPS dalam bentuk konsesi penuh dikelola dua operator swasta yang sahamnya mayoritas dimiliki perusahaan asing. Catatan Amrta Institute setidaknya ada 10 perusahaan asing yang terlibat yang berasal dari Prancis, Singapura, Korea Selatan, Belanda, Inggris, dan Malaysia.
Kenyataan inilah yang membuat aktivis yang menyoroti masalah air itu khawatir. Terlebih putusan MK menyebutkan air merupakan bagian dari hak asasi manusia. Air oleh karena itu mesti dikelola oleh negara dan tidak dimonopoli swasta.
Celakanya, kata Reza, sejak UU itu dibatalkan, belum pernah ada pembahasan dengan publik mengenai pembuatan RUU SDA itu. Tanpa melibatkan masyarakat, maka diduga praktik pengelolaan air tidak akan banyak berubah dari sebelumnya. [KRG]