Di Balik Kenaikan Tarif Cukai Rokok Tahun 2021

Koran Sulindo – Pemerintah resmi menaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok sebesar 12,5% untuk tahun 2021. Harga jual rokok pun dipastikan akan naik. Karena itu, waspadai maraknya peredaran rokok ilegal yang justru merugikan negara karena tak membayar cukai.

Setelah lama dinantikan oleh para pelaku industri termasuk petani dan pekerja industri rokok, akhirnya pemerintah mengumumkan kebijakan baru terkait Cukai Hasil Tembakau untuk tahun 2021 pada 10 Desember lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan langsung pokok-pokok kebijakan tersebut mengatakan tidak mudah untuk memutuskan kebijakan ini. Ia menyebutnya ‘membutuhkan langkah formulasi yang cukup rumit.’

Perempuan kelahiran Bandar Lampung 26 Agustus 1962 itu mengatakan kebijakan Cukai Hasil Tembakau ini harus menyeimbangkan berbagai kepentingan yang saling bertentangan, yaitu antara aspek kesehatan, mengamankan lapangan kerja dan kepentingan petani tembakau. Apalagi dalam kondisi pandemi saat ini, sektor industri termasuk industri rokok mengalami tekanan.

Dari sisi kesehatan pemerintah ingin mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau atau rokok. Berbagai studi memang menunjukkan merokok memiliki dampak kesehatan. Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu untuk terus menjaga tenga kerja yaitu para buruh yang bekerja di pabrik rokok, para petani yang menghasilkan tembakau, dan tentu dari sisi industrinya sendiri.

Dari sisi kesehatan, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), prevalensi merokok khususnya di kalangan remaja atau anak berusia 10 tahun hingga 18 tahun ditargetkan turun ke 8,7% pada 2024. Sementara di sisi lain, kenaikan cukai rokok untuk tujuan pengendalian konsumsi rokok ini tentu akan berdampak secara langsung kepada para buruh dan petani. Sri Mulyani mengungkapkan jumlah buruh yang bekerja di pabrik rokok sebanyak 158.552 pekerja yang terutama terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.  Sementara jumlah petani tembakau mencapai 526.389 keluarga atau setidaknya ada sekitar 2,6 juta orang yang hidupnya tergantung pada tembakau.

Sri Mulyani mengatakan dengan berbagai pertimbangan tersebut, pemerintah pun memutuskan menaikan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2021 secara rata-rata sebesar 12,5%. Kenaikan untuk setiap jenis dan golongan berbeda-beda. Tarif untuk Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I akan dinaikan sebesar 18,4%; Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan IIA sebesar 16,5% dan Sigaret Putih Mesin (SPM) gologan IIB sebesar 18,1%. Sememtara, tarif untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I sebesar 16,9%; Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan IIA sebesar 13,8%; dan Sigaret Kretek Mesin(SKM) golongan IIB sebesar 15,4%. Sementara itu, untuk industri jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tarif cukainya tidak berubah atau naik 0%. “Sigaret Kretek Tangan adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan pemerintah tidak melakukan simplifikasi sistem tarif Cukai Hasil Tembakau ini.  Meski demikian, ia menambahkan melalui tarif yang baru ini, simplifikasi itu sebetulnya tergambar dalam bentuk perbedaan celah tarif yang makin diperkecil yaitu perbedaan antara sigaret kretek mesin atau SKM golongan IIA dengan sigaret kretek mesin golongan IIB. Selain itu, pemerintah juga memperkecil celah tarif antara sigaret putih mesin (SPM) golongan IIA dengan SPM golongan IIB.

“Jadi meskipun kami tidak melakukan simplifikasi secara drastis menggabungkan golongan, namun kami memberikan sinyal kepada industri bahwa celah tarif diantara golongan IIA dan IIB untuk SKM maupun SPM semakin dikecilkan atau didekatkan tarifnya,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan seiring dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau ini, harag jual eceran rokok pun dipastikan akan naik sesuai dengan kenaikan tarif dari masing-masing kelompok atau jenis industrinya.

Harapan
Dengan format kebijakan tersebut, Sri Mulyani mengatakan dari sisi kesehatan diharapkan akan mengendalikan konsumsi rokok terutama pada anak-anak dan perempuan. Prevalensi merokok secara umum diharapkan akan turun dari 33,8% menjadi 33,2% pada tahun 2021. Dan prevalensi merokok untuk anak-anak usia 10 hingga 18 tahun diupayakan diturunkan sesuai dengan target RPJM, saat ini pada angka 9,1% akan diturunkan di 8,7% pada 2024.

“Kenaikan hasil cukai tembakau ini akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal, atau affordability index-nya naik dari tadinya 12,2% menjadi antara 13,7% hingga 14% sehingga makin tidak dapat terbeli,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Dari sisi kepentingan pekerja dan petani, Sri Mulayani mengatakan desain kebijakan yang baru ini dipastikan tidak menganggu kepentingan para pekerja dan petani. Untuk melindungi kepentingan pekerja atau buruh, pemerintah tidak menaikan tarfi untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja. Sebagai gambaran, untuk memproduksi satu miliar batang rokok SKT dibutuhkan sekitar 2.700 karyawan karena dilinting satu per satu. Namun, untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) untuk jumlah rokok yang sama hanya dibutuhkan 21 orang karyawan.

Dari sisi perlindungan kepentingan petani, Sri Mulyani mejelaskan dilakukan dengan kenaikan yang lebih rendah pada Sigaret Kretek dibandingkan Sigaret Putuh, bahkan untuk Sigaret Kretek Tangan tidak dinaikan. Tarif yang lebih rendah pada Sigaret Kredit diharapkan akan memberikan kepastian pada penyerapan hasil tembakau para petani.  Dus, Sri Mulyani optimistis sebanyak 526.389 keluarga yang masih menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau tidak terdamapk oleh kenaiakn tarif Cukai Hasil Tembakau ini.

Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau ini tentu akan berdampak pada produksi dan distribusi rokok ilegal yaitu rokok yang tidak membayar kewajiban cukai kepada pemerintah. Sri Mulyani mengatakan harga rokok dan cukai yang semakin tinggi  memang memberikan insentif bagi masyarakat untuk memproduksi rokok ilegal. Semakin tinggi cukainya, insentif untuk melakukan tindakan ilegal pun makin tinggi.

Pemerintah sudah mengantisipasi masalah ini. Dari sisi preventif, pemerintah mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk pembentukan kawasan industri hasil tembakau. Tujuan utamanya adalah memberikan lokasi bagi usaha menengah kecil dan sekaligus juga untuk mengawasi peredaran rokok ilegal.

Selain upaya preventif, langkah-langkah penindakan pun, kata Sri Mulyani terus dilakukan melalui berbagai jenis operasi. “Saya sudah menginstruksikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk terus melakukan langkah-langkah menanagani produksi dan peredaran rokok ilegal ini,” ujarnya.

Maraknya rokok produksi dan peredaran rokok ilegal ini tercermin dari jumlah penindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang terus meingkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 hanya 3.716 kali, meningkat menjadi 5.200 pada 2018 dan menjadi 5.574 pada 2019. Tahun 2020 ini jumlah penindakan rokok ilegal mencapai 8.155 kali. [Julian A]