Koran Sulindo – Serangan bom di Manchester, Inggris, lalu aksi tembak-menembak tentara Filipina dan Maute di Kota Marawi, Mindanao serta bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta baru-baru ini disebut bagian dari aksi terorisme global. Dan pelakunya hanya merujuk pada satu kelompok: ISIS! Setidaknya begitulah yang disampaikan Kepolisian RI (Polri) dan setelah kantor berita Amaq memuat pernyataan resmi kelompok tersebut.
Peristiwa bom bunuh diri Kampung Melayu itu lalu menewaskan tiga orang anggota polisi dan menyebabkan belasan orang terluka. Peristiwa dan jawaban Polri itu lantas mengingatkan kita pada kejadian yang sama di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Spekulasi mengenai pelaku segera menyebar secara masif: ISIS. Berbeda dengan Kampung Melayu, pada saat peristiwa bom Sarinah, ISIS tidak memberikan keterangan resmi lewat Amaq.
Kepala Polri Tito Karnavian menolak segala tuduhan bahwa serangan bom bunuh diri Kampung Melayu itu sebagai sebuah rekayasa. Ia menganggap orang-orang yang meragukan kelompok teroris eksis di berbagai belahan dunia tidak mengerti dan memahami perkembangan budaya terorisme. Jadi, tidak hanya di Indonesia, kata Tito.
“Sehebat apapun tidak akan mampu merekayasa kasus seperti itu. Polisi bukan aktor, pelaku bom bunuh diri bukan aktor, tidak mungkin mereka mau direkayasa untuk bunuh diri,” kata Tito dalam sebuah wawancara pada akhir Mei 2017.
Kecurigaan masyarakat atas berbagai peristiwa teror di Indonesia apalagi jika dikaitkan dengan organisasi teroris global bukan tanpa sebab. Terlebih jejak Amerika Serikat (AS) dalam pembentukan organisasi-organisasi teroris global adalah fakta yang sulit dibantah. Soal ISIS, misalnya, Garikai Chengu, peneliti dari Universitas Harvard, AS dalam tulisannya America Created Al-Qaeda and the ISIS Terror Group di globalresearch.ca pada 2014 menyebutkan, seperti Al Qaeda, ISIS merupakan buatan imperialis AS. Organisasi ini dirancang untuk menaklukkan negara-negara Timur Tengah yang kaya minyak dan untuk mengimbangi pengaruh Iran di kawasan tersebut.
Adalah fakta AS memiliki sejarah panjang bersekutu dengan kelompok teroris. Fakta ini hanya mengejutkan orang-orang yang mengabaikan sejarah dan masyarakat yang hanya menonton berita dari media arus utama. Kali pertama Badan Intelijen Pusat (CIA) AS bersekutu dengan kelompok ekstremis terjadi pada era Perang Dingin.
Dalam era itu AS menyederhanakan pembagian blok-blok dunia yaitu satu sisi nasionalisme Uni Soviet bersama dengan negara-negara Dunia Ketiga, sementara sisi lain AS bersekutu dengan negara-negara Barat dan kelompok Islam militan untuk melawan pengaruh Uni Soviet. Itulah yang terjadi di Mesir pada 1970-an, CIA menggunakan Ikhwanul Muslimin untuk melawan pengaruh Soviet dan penyebaran Marxisme.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia dan Pakistan ketika AS secara terbuka mendukung Masyumi untuk melawan pengaruh Bung Karno; dan mendukung kelompok Jamaat-e-Islami untuk menggulingkan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan. Terakhir adalah dukungan AS terhadap Al Qaeda dengan Osama Bin Laden sebagai pimpinannya.
Bekas Menteri Luar Negeri Inggris, kata Chengu, menyatakan Al Qaeda tak perlu diragukan lagi sebagai produk dari badan-badan intelijen Barat dan CIA. Bahkan Al Qaeda secara harfiah dapat diartikan sebagai bank data dari ribuan kelompok militan Islam yang dilatih CIA dan didanai oleh Arab Saudi. Organisasi ini dibentuk untuk mengalahkan Soviet di Afghanistan.
Menurut Chengu, hubungan AS dengan Al Qaeda kerap pasang surut atau digambarkan seperti hubungan sepasang kekasih, benci tapi rindu. Itu semua tergantung dari tindakan Al Qaeda apakah mengganggu kepentingan AS atau tidak. Terakhir hubungan AS dan Al Qaeda benar-benar berakhir setelah kelompok teroris menyerang menara kembar WTC New York pada 11 September 2001.
Setelah serangan itu, Presiden George W Bush bereaksi dengan menyatakan, AS menyatakan perang terhadap teroris. Berdasarkan semua analisis, AS menuding Osama dan Al Qaeda bertanggung jawab atas serangan 11 September karena hanya organisasi ini yang memiliki dana cukup serta nekat menyerang lembaga intelijen AS, termasuk Kedutaan Besar AS di Afrika Timur.
Perang Melawan Teroris
Pernyataan perang melawan teroris ini lantas disambut NATO yang merupakan sekutu utama AS di Eropa. Pemerintah AS menyediakan anggaran US$ 40 miliar dan mempersiapkan 50 ribu tentara untuk menyerang Taliban di Afghanistan karena dianggap sebagai basis Al Qaeda. Lalu pada 2011, AS mengklaim berhasil menewaskan Osama dalam sebuah operasi khusus di Kota Abbottabad di kawasan barat laut Pakistan.
Bush yang nampaknya gandrung dengan kekerasan itu, meneruskan perangnya ke Irak pada 2003. Bersama dengan sekutu utamanya yaitu Inggris yang kala itu dipimpin Perdana Menteri Tony Blair, Bush mencari-cari alasan untuk mengagresi Irak. Untuk melancarkan perangnya, Bush lalu menuduh Saddam Hussein terkait dengan jaringan Osama dan Al Qaeda serta menyimpan senjata pemusnah massal atau senjata kimia. Dalih ini kemudian dipakai Bush dan Blair untuk menginvasi Irak sehingga menewaskan jutaan warga sipil dan jutaan orang menjadi pengungsi. Setelah berhasil menaklukkan Irak dan mendudukkan pemerintahan boneka, AS bersama sekutunya membiarkan Irak dilanda perang saudara serta perang antar-suku dan agama.
Setelah Al Qaeda, ISIS merupakan senjata baru bagi imperialis AS untuk kembali mewujudkan perang di Timur Tengah. Kali ini tujuan utamanya adalah Suriah dan Iran. Kedua negara dikenal sangat anti-terhadap imperialis AS. Seperti Chengu, Ketua Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS) Jose Maria Sison juga berpendapat serupa terkait ISIS. Sejak awal organisasi ini diciptakan, dilatih, dipersenjatai dan dipasok oleh AS, Inggris, Israel, Arab Saudi dan Turki. Tujuannya untuk menggoyang dan melemahkan pemerintah Suriah dan Iran yang menentang imperialisme AS dan zionis Israel di Timur Tengah.
Sebuah tulisan berjudul Why CIA Created the Abu Sayyaf in the Philippines yang dimuat geopolitics.co pada 2016 menemukan fakta keterkaitan kelompok Abu Sayyaf, kelompok militan di Mindanao dengan lembaga intelijen AS yaitu CIA. Kelompok yang berdiri pada 1991 ini awalnya bagian dari Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang kemudian menyempal di bawah pimpinan Abdurajik Abubakar Janjalani. Selanjutnya diteruskan oleh Khadafi Janjalani. Kegiatan kelompok ini kerap mendapat kecaman dari MNLF dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) karena acap melakukan kegiatan terror, pengeboman dan penculikan.
Tulisan itu menyatakan Janjalani pemimpin Abu Sayyaf berhubungan dekat dengan pengusaha Arab Saudi yang bernama Mohammed Jamal Khalifa yang disebut sebagai saudara ipar Osama bin Laden. Berdasarkan hasil penyelidikan Biro Investigasi Federal (FBI), orang ini terkait dengan berbagai kegiatan terorisme di berbagai negara. Bahkan FBI pernah menahannya karena mencurigainya merencanakan pengeboman selusin pesawat AS yang bertolak dari Filipina.
Kendati FBI mengantongi segudang bukti atas keterlibatan Khalifa dalam berbagai kegiatan terorisme, pengadilan AS mengabaikannya. Ia justru dideportasi berdasarkan perintah langsung dari Kementerian Luar Negeri AS pada 1995. Kepada jaksa agung AS, Kementerian Luar Negeri mendesak agar deportasi terhadap Khalifa segera dilanjutkan. Dengan kata lain, Kementerian Luar Negeri AS yang menghalangi agar penyelidikan terhadap kegiatan terorisme Khalifa dihentikan. Pada umumnya, orang-orang CIA bekerja dalam Kementerian Luar Negeri AS.
Masih dalam tulisan yang sama, kecurigaan serupa juga dilontarkan langsung oleh salah satu komandan MNLF. Abu Sayyaf disebut berada dalam perlindungan marinir Filipina. Mereka dipersenjatai secara modern, diberikan perlengkapan perang seperti amunisi dan sejumlah uang sekitar 15 ribu peso. Sebuah laporan investigasi gabungan antara Boston Globe dan harian Finlandia Hebingin Sanomat mengungkap keterkaitan CIA, militer Filipina dengan organisasi Abu Sayyaf. Wartawan Boston Globe Indira Lakshmanan, misalnya, menuliskan tentang kolusi antara militer Filipina, pejabat daerah, Abu Sayyaf dan pasukan militer AS.
Apa yang terjadi di Kota Marawi, Mindanao baru-baru ini juga disebut tidak terlepas dari CIA. Kegiatan Maute, kelompok militan tersebut juga diprakarsai CIA. Sebuah tulisan berjudul Analyst says Marawi siege a US proxy war vs. Duterte mengutip tulisan F. William Engdahl, dosen politik Universitas Princeton menggambarkan kejadian di Marawi sebagai perang proxy AS terhadap Presiden Rodrigo Duterte. Itu terutama karena kebijakan Duterte yang merapat ke Rusia dan Tiongkok. Apalagi kelompok Maute dan Abu Sayyaf disebut Engdahl berhubungan dengan ISIS buatan AS yang dibiayai oleh sekutunya Arab Saudi.
Sementara itu, Front Nasional Demokratik Filipina (NDFP) yang juga memiliki basis di Mindanao menerima kerja sama dengan pemerintah untuk menghadapi grup Maute dan Abu Sayyaf. Ini bagian dari kesepakatan untuk mencapai perdamaian perang rakyat puluhan tahun oleh Tentara Rakyat Baru (NPA) di bawah Partai Komunis Filipina dengan pemerintah. Keduanya sepakat melanjutkan gencatan senjata selama menghadapi Maute dan Abu Sayyaf.
Lalu bagaimana dengan keberadaan kelompok militan di Indonesia? Kendati sulit membuktikan keterkaitan CIA dengan kelompok militan di Indonesia, setidaknya melalui laporan WikiLeaks berjudul Indonesia: Book Bombs and a Challenged President menyebutkan bahwa pensiunan jenderal mendukung kegiatan Islam radikal di Indonesia. Situs pembocor ini pun menyebutkan salah satu nama mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang mendukung kegiatan kelompok Islam radikal.
Laporan lainnya yang dimuat situs ini berkaitan dengan penangkapan Umar Patek, dalang di balik bom Bali pada 2002. Penangkapan Umar Patek di Pakistan disebut sebagai tipuan dari CIA. Pasalnya, bagaimana mungkin Umar Patek dalam pelariannya selama 10 tahun bisa bepergian ke Pakistan tanpa pernah ketahuan sekali pun. Dan kegiatannya selama di Pakistan adalah merekrut orang-orang yang ingin bergabung dengan Al Qaeda yang berbasis di negara tersebut.
Akan tetapi, apapun yang telah menjadi fakta tersebut, tindakan teror tetaplah tidak dapat dibenarkan. Dan mengutip kata-kata Gus Dur, mantan Presiden RI, “Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.” [Kristian Ginting]