Dewa Ruci, Manuskrip Jawa yang Tersesat di Belanda

Koran Sulindo – Adalah JCF von Muhlen sekretaris pribadi Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina menyumbangkan sebuah hadiah indah kepada putri mereka, Juliana di tahun 1927.

Hadiah indah itu berupa sebuah manuskrip kuno dari Jawa yang menceritakan tentang kisah Dewa Ruci yang kini disimpan di Royal Collection di Den Haag.

Tentu saja, Dewa Ruci itu tak sengaja dibuat untuk Juliana. Manuskrip itu dibuat untuk putra mahkota Adipati Anom Hamangkunegara III, anak HB VII yang tiba-tiba meninggal mendadak tahun 21 Februari 1913.

Tak jelas bagaimana ceritanya naskah tenang Dewa Ruci ini bisa berada di tangan von Mühlen yang kemudian memberikannya kepada Putri Juliana.

Dewa Ruci adalah salah satu contoh naskah Jawa yang dilengkapi berbagai gambar penuh variasi dari mulai gambar hitam putih hingga gambar-gambar rumit yang dengan warna-warna beragam.

Terikat dengan sampul kulit cokelat dengan warna emas, naskah ditulis dalam bentuk macapat menggunakan bahasa Jawa tengahan yang memang lazim digunakan keraton-keraton di Jawa Tengah.

Selain teks yang menceritakan kisah perjalanan Bima menemui gurunya, Dewa Ruci, gambar-gambar ilustrasi justru menjadi bagian terpenting dalam naskah tersebut.

Itu terlihat jelas bagaimana di beberapa halaman hanya berisi sebaris teks atau bahkan tak ada teks sama sekali selain gambar.

Dari 81 halaman yang sepenuhnya diilustrasikan di manuskrip, hanya 24 halaman yang berisi teks tanpa ilustrasi. Selain itu, ada dua halaman yang ditulis dengan indah di awal buku, di mana dedikasi kepada pangeran ditulis dan cerita itu diperkenalkan.

Tentu saja seperti kisah lainnya, Dewa Ruci bercerita tentang kisah Bima saat mencari guru sejatinya. Bima rela menempuh bahaya mencari air kehidupan karen diperintah gurunya, Durna yang sebenarnya justru ingin menyingkirkannya.

Bima menjelajah sampai jauh dan terus menjauh hingga akhirnya terjun ke dalam samudera dan bertemu dengan ‘bayang-bayang’ dirinya dalam bentuk Dewa Ruci.

Dewa Ruci inilah yang mengajarkan arti kehidupan termasuk filosofi, moral dan etika kepada Bima.

Sama seperti manuskrip-manuskrip lain yang dibuat di masa itu, naskah itu juga ditutup dengan dua halaman yang ditulis dengan cermat dan indah seperti pada dua halaman awal.

Lagipula, sudah lazim di masa itu penulis manuskrip Jawa membuat variasi pola, warna dan format yang benar-benar menakjubkan.

Setelah halaman pembuka, naskah dilanjutkan dengan cerita yang mengeksploitasi Bima dengan penggambaran visual tokoh-tokohnya gampang dikenal karena sama persis dengan karakter wayang.

Selain itu banyak ilustrasi dalam naskah ini menggambarkan adegan dari pertunjukan wayang terutama adegan pertemuan di istana kerajaan, seperti adegan ketika Bima dan saudara-saudaranya berada di istana Raja Duryadana di Astina.

Pada adegan lain, ilustrator menambahkan lebih banyak drama termasuk ketia Bima berenang dalam gaya bebas menuju naga yang harus dikalahkan dalam pencariannya itu. Gerakan-gerakannya lebih alami dibanding ‘gerakan’ wayang wayang mana pun.

Yang paling disayangkan, sampai sejauh ini tak pernah diketahui siapa ilustrator naskah itu atau bagaimana membuatnya. Apakah penyalin naskah dan ilustrator berkolaborasi sepanjang proses pembuatannya?

Pertanyaan-pertanyaa itu membutuhkan jawaban melalui sebuah penelitian serius.[TGU]