Koran Sulindo – Sepanjang tahun 2020, untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 2,07%. Ini merupakan kontraksi pertama yang dialami Indonesia sesudah krisis moneter pada tahun 1998 yang pada waktu itu tumbuh negatif 13%.
Indonesia memang tidak sendirian. Karena banyak negara yang juga mengalami kontraksi ekonomi akibat pademi. Misalnya, Amerika Serikat mengalami kontraksi 3,5%, Singapura -5,8%, dan Uni Eropa -6,4%. Tiongkok yang merupakan negara pertama yang terjangkit Covid-19, justru mengalami pertumbuhan positif sebesar 2,3%.
Di tengah pertumbuhan negatif ekonomi Indonesia pada tahun 2020 lalu, masih ada sejumlah sektor yang tumbuh positif. Salah satunya sektor pertanian yang tumbuh 1,75%. Kontribusi atau share sektor ini pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia adalah 13,7%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan meski sektor pertanian tumbuh positif sebesar 1,75% pada 2020 lalu, tetapi pertumbuhan ini lebih lambat bila dibandingkan pertumbuhan sektor pertanian pada 2019 lalu yaitu sebesar 3,64%.
“Tetapi bagaimana pun tetap harus kita syukuri. Tidak terbayangkan kalau sektor pertanian ini mengalami kontraksi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi yang sangat dalam karena besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi,” ujar Suhariyanto dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.
Bila ditilik lebih dalam, sebetulnya tidak semua subsektor di sektor pertanian ini tumbuh positif. Masih ada dua subsektor yang mengalami kontraksi yaitu peternakan dan kehutanan & penebangan kayu. Sementara subsektor pertanian lainnya tumbuh positif seperti tanaman pangan tumbuh 3,54%, tanaman hortikultura tumbuh 4,17%, tanaman perkebunan tumbuh 1,33%, jasa pertanian dan perburuan tumbuh 1,6%, dan perikanan tumbuh 0,73%.
Suhariyanto mengatakan kontraksi pada subsektor peternakan terjadi karena permintaan yang melemah akibat pandemi Covid-19. “Kita tahu banyak restoran dan hotel yang tutup karena pandemi. Kemudian pendapatan masyarakat juga mengalami penurunan yang cukup tajam sehingga permintaan terhadap produk-produk peternakan itu juga menjadi melemah,” ujar Suhariyanto.
Selama pandemi, ekspor pertanian juga tumbuh positif. Seperti diketahu, total ekspor selama tahun 2020 itu mengalami kontraksi 2,61%. Tetapi sektor pertanian masih mengalami pertumbuhan sebesar 14,03%.
“Dengan memperhatikan ketahanan sektor pertanian saat krisis moneter tahun 1998 dan juga saat pandemi yang selalu menjadi sektor penyelamat, saya pikir kita semua harus memberi perhatian yang lebih kepada sektor pertanian di masa depan,” ujar Suhariyanto.
Tidak Sejahtera
Hanya saja dibalik kontribusi sektor pertanian yang positif, mayoritas petani belum sejahtera. Karena itu, menurut Suhariyanto, kebijakan ke depan sebaiknya tidak hanya konsentrasi kepada output atau kepada prouksi, tetapi selayaknya juga mampu mengangkat kesejahteraan para pelakunya yaitu para petani Indonesia.
Untuk itu, perlu diidentifikasi sejumlah persoalan akut di sektor ini yang membelit para petani. Pertama, di tengah pandemi ini sektor pertanian betul tumbuh, tetapi bebannya menjadi semakin berat. Seperti diketaui, karena adanya pandemi jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 2,67 juta orang. Menurut Suhariyanto, akibat kehilangan pekerjaan di kota, banyak tenaga kerja yang kembali ke desa. Akibatnya, tenaga kerja di sektor pertanian pun bertambah dari 27,53% pada Agustus 2019 menjadi 29,75% pada Agustus 2020. “Jadi, ketika share PDB sektor pertanian hanya 13,7%, sementara harus menanggung 29,87% tenaga kerja, bisa dibayangkan beban sektor pertanian menjadi berat,” ujar Suhariyanto.
Di sisi lain Sumber Daya Manusia (SDM) sektor pertanian juga memprihatinkan baik dari sisi pendidikan maupun usia. Dari sisi pendidikan, sebanyak 65,23% berpendidikan SD ke bawah. Kemudian yang berpendidikan SMP sebanyak 17,77% dan SMA/SMK sebanyak 15,18%. Petani yang berpendidikan diploma ke atas haya 1,82%. Kemudian dari segi usia, mayoritas petani kita berusia tua. Petani yang berusia kurang dari 30 tahun hanya 17,29%.
“Ini perlu menjadi perhatian bahwa saat ini sektor pertanian didominasi oleh mereka yang kurang berpendidikan dan mereka yang sudah lanjut usia sehingga ke depan kita perlu mencari cara bagaimana generasi muda itu bisa masuk ke sektor pertanian,” ujar Suhariyanto.
Persolan kedua yang selalu dihadapi petani adalah harga yang selalu jatuh di saat panen. Harga padi misalnya. Biasnya panennya Maret atau April. Harga selalu jatuh di saat panen sehingga petani selalu dirugikan. Demikian juga komoditas yang lain seperti bawang merah, telur dan sebagainya.
Tantangan ketiga adalah nilai tukar petani. Nilai tukar petani menununjukkan nilai tukar daya beli produk pertanian terhadap harga yang dibayar petani. Suhariyanto mengatakan meningkatnya output atau produksi dari pertanian, ternyata tidak dengan sendirinya membuat pendapatan petani itu juga meningkat.
Di tahun 2020, secara umum nilai tukar petani memang naik dibandingkan tahun 2019. tetapi kenaikannya hanya tipis yaitu 0,74%. Kenaikan ini disumbangkan oleh nilai tukar petani di sektor perkebunan yang terjadi karena meningkatkannya harga komoditas sawit.
Tantangan keempat adalah upah riil buruh tani. Suhariyanto mengatakan upah nominal buruh tani dari waktu ke waktu itu naiknya tipis sekali atau bisa dikatakan flat sehingga tergerus oleh inflasi. Akibatnya, daya beli para buruh tani itu sangat rendah sekali. Dus, yang terjadi kemudian buruh tani menjadi tidak menarik, banyak yang pindah ke buruh bangunan.
Tantangan kelima adalah kemiskinan. Selama pandemi ini, penduduk miskin naik 2,76 juta. Meskipun kenaikan tingkat kemiskinan di kota kenaikannya lebih tinggi selama pandemi, tetapi dari segi komposisi, mayoritas kemiskinan masih berada di desa dimana banyak penduduknya adalah petani. “Kalau kita lihat sumber utama dari rumah tangga miskin di Indoensia adalah petani,” ujar Suhariyanto. [Julian A]