Ilustrasi: Densus 88/EPA-Mast Irham

Koran Sulindo – Penyerangan yang terjadi beberapa bulan lalu di Indonesia mengingatkan kita bahwa ISIS menjadi suatu ancaman yang tangguh, dengan jangkauan pengaruh yang luas yang belum hilang meskipun kekhalifahan di Suriah dan Irak telah tumbang.

Penyerangan mematikan yang terjadi di Jawa dan Sumatra pada Mei lalu telah menewaskan 53 orang, termasuk 15 warga sipil, tujuh polisi, dan 31 pelaku penyerangan. Selebihnya, 50 orang terluka, dan banyak dari mereka mengalami luka yang serius.

Data tersebut menunjukkan jumlah korban tewas tertinggi dari serangan teroris di Indonesia, sejak Bom Bali 2002 yang menewaskan hingga 202 orang, termasuk 88 warga Australia.

Penyerangan tersebut tentunya mengejutkan bagi banyak orang, termasuk pasukan elit anti-terorisme yang dikenal juga dengan Detasemen 88 (atau Densus 88). Mereka terbentuk setelah terjadinya peristiwa Bom Bali pada Juni 2003, dan beroperasi penuh dua tahun kemudian. Detasemen 88 telah membuktikan dirinya sebagai salah satu unit anti-terorisme terbaik di dunia, melampaui segala harapan meski pada awalnya tidak menjanjikan.

Keberhasilan Detasemen 88 adalah hasil kerja intelijen yang sangat baik, meski tidak ada lembaga mana pun yang memiliki intelijen sempurna. Dan dalam era ISIS, Detasemen 88 juga harus mengawasi lebih banyak orang yang dicurigai menjadi bagian kelompok ekstremis, yang membuat pekerjaan mereka lebih menantang.

Teknik Pelatihan Terdepan

Selama tiga dekade rezim Suharto, Kepolisian Negara Indonesia (Polri) dianggap sebagai sepupu “miskin” dari Angkatan Bersenjata Indonesia (yang berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia). Setelah Suharto mengundurkan diri pada 1998, Polri menjadi independen dari militer, tapi tetap kurang pendanaan, kurang alat perlengkapan, dan kurang pelatihan, sehingga mereka menjadi tidak disiplin dan korup.

Setelah peristiwa penyerangan mengejutkan di Bali, yang dilakukan oleh kelompok teroris yang terkait dengan Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah, Australia dan Amerika Serikat menggelontorkan dana ratusan juta dolar untuk meningkatkan kapasitas Densus 88, reformasi lembaga kepolisian, dan juga pelatihan-pelatihan di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya ini, sebuah prakarsa bilateral yang melibatkan Kepolisian Federal Australia (AFP) dan Polri menghasilkan pembentukan pusat pelatihan anti-terorisme untuk polisi dan pejabat pemerintah dari seluruh Asia Tenggara–The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Inisiatif ini dilakukan secara bersamaan dengan pengembangan Detasemen 88.

Hampir 15 tahun kemudian, JCLEC telah berkembang menjadi salah satu lembaga yang menyediakan fasilitas pelatihan anti-terorisme terkuat di dunia, mereka memberikan pelatihan kepada lebih dari 20.000 pegawai dari 70 negara. Dan Detasemen 88 belakangan ini telah tumbuh dengan lebih dari 1.300 petugas, dengan tujuan untuk meningkatkan kehadirannya di 16 provinsi dari total 34 provinsi yang ada di Indonesia.

Masyarakat sekarang mengenal standar operasi taktis pasukan berseragam hitam Detasemen 88, yang diperlengkapi dengan senjata anti-terorisme yang dipasok oleh Amerika seperti, M4A1 carbine, senapan AR-10, senapan mesin ringan MP5, pistol Glock 17, dan senapan Remington. Pasukan penembak jitu yang terlatih secara khusus dan tim pasukan penerobos juga termasuk dalam Detasemen 88.

Yang kurang dikenal oleh masyarakat adalah ahli teknis dari Detasemen 88, seperti spesialis bahan peledak dan ahli forensik pascaledakan. Pelatihan dan bantuan untuk hal ini banyak datang dari program Bantuan Anti-Terorisme dan Keamanan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, juga program serupa dari Australia, termasuk keterlibatan mendalam yang awalnya dari AFP.

Pasukan Detasemen 88 pada saat ini dilatih di fasilitas khusus yang berada di pinggiran selatan Jakarta yang dikelola oleh mantan pelatih pasukan khusus AS dan Australia, bersama dengan para ahli CIA, FBI, Pasukan Pengaman Presiden AS, dan AFP.

Mengambil Hati Masyarakat

Tidak hanya kekuatan hebat dan kapasitas taktis yang membuat Detasemen 88 berbeda dengan unit lainnya, tapi juga kerja intelijennya. Mereka tidak hanya mengandalkan para anggota yang mereka miliki untuk mengumpulkan data intelijen. Pengumpulan data juga dilakukan dengan bekerja sama dengan pemuka agama dan pemimpin masyarakat untuk mendapatkan informasi berharga tentang informasi keberadaan aktivitas kelompok militan. Upaya ini merupakan program yang dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri yang dijuluki dengan “sistem peringatan dini”.

Meskipun sering kali dicaci oleh kelompok teroris seperti ISIS dan Jemaah Islamiyah, para petugas Detasemen 88 telah terbukti efektif menggunakan teknik wawancara yang lembut untuk membangun hubungan yang baik dan mendapatkan kepercayaan dari banyak militan yang mereka tangkap.

Menggunakan teknik psikologi mutakhir dan didukung oleh para ahli dengan pengetahuan agama yang mendalam, Detasemen 88 sukses merangkul banyak anggota jaringan teroris. Ini dilakukan dengan bantuan dari orang tua dan anggota keluarga para militan tersebut. Pendekatan penuh nuansa semacam ini adalah kekuatan khas Detasemen 88 dan, bersamaan dengan berbagai elemen lain dari pengumpulan informasi intelijen, hal ini telah memungkinkan untuk mencegah berkembangnya jaringan terorisme.

Intelijen Detasemen 88 telah membawa lebih dari 1.200 penangkapan sejak pertama kali dibentuk pada 2003, dengan sebagian besar dari mereka dituntut di pengadilan. Sejak 2010, Densus 88 menggagalkan lebih dari 80 rencana serangan teroris.

Beberapa hari yang lalu, Aman Abdurrahman, pendiri kelompok ekstremis Jemaah Ansharut Daulah, yang berjanji untuk setia kepada Negara Islam (IS), dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati setelah memerintahkan untuk melakukan penyerangan di Indonesia pada 2016 dan 2017, walaupun dia sudah di penjara menjalani hukuman. Aman sebelumnya divonis 9 tahun penjara karena dia membiayai pelatihan kelompok teror di Aceh pada 2010.

Meski mereka tidak menyadari serangan yang terjadi pada Mei lalu, mereka secara cepat memperbaiki kecerobohan intelijen tersebut dan mengidentifikasi jaringan yang lebih besar di balik serangan tersebut. Dalam beberapa hari, para petugas Detasemen 88 menggerebek sejumlah tempat di Pulau Jawa dan Sumatra dan menangkap puluhan tersangka.

Meskipun kemampuan Densus 88 mengesankan, rekam jejak mereka tidak sempurna. Terlepas dari serangan terorisme yang gagal mereka cegah, terdapat kekhawatiran tentang sejauh mana pergulatan pahit antara polisi dan ekstremis menyebabkan mereka terlalu cepat untuk menggunakan kekuatan yang mematikan ketika terlibat konfrontasi.

Serangan terhadap penegak hukum, contohnya eksekusi lima polisi oleh narapidana di penjara dalam Markas Komando Brimob di Depok pertengahan Mei lalu, memberi tekanan besar pada tim respons taktis. Begitu juga dengan realitas yang suram bahwa banyak militan lebih memilih mati dalam pertempuran bersenjata atau bunuh diri dengan menggunakan peledak, atau meluncurkan serangan terhadap pos polisi dengan penjagaan rendah.

Meskipun demikian, tidak ada satupun dari hal ini dapat menjadi pembenaran adanya pelanggaran hak asasi manusia–sebuah masalah menahun di kepolisian. Dan dalam menghadapi lawan yang menggunakan propaganda sebagai amunisi, setiap pelanggaran oleh Detasemen 88 justu akan merusak kredibilitas pasukan ini dan otoritas moral dengan komunitas kunci.

Lebih Kooperatif dengan Australia

Pada tahun-tahun pembentukannya, Detasemen 88 mendapatkan banyak manfaat dari pelatihan, sumber daya, dan investasi yang mereka dapatkan dari Kepolisian Federal Australia (AFP) dan dari kepolisian negara-negara Barat lainnya.

Sekarang, arus pembelajaran terjadi dua arah dan AFP sangat menghargai apa yang dipelajari dari mitra Indonesia, baik dalam hal intelijen yang efektif dan dalam membangun respons taktis di bawah tekanan.

Dengan perkembangan ISIS sekarang yang telah mencapai ke seluruh dunia, kini merupakan waktu yang ideal untuk memfasilitasi hubungan kerja sama di antara Detasemen 88 dan unit kepolisian anti-terorisme (CT) baik unit CT yang AFP punya maupun unit CT yang berkaitan pasukan kepolisian negara bagian Australia, pokoknya di Queensland, New South Wales dan Victoria. [Greg Barton, Chair in Global Islamic Politics, Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation; Co-Director, Australian Intervention Support Hub, Deakin University Australia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.