Sulindomedia – Awal bulan ini, Hari Pers Nasional dirayakan meriah, penuh euforia, walau didahului dengan teguran halus Presiden Joko Widodo. Para pemilik media massa, para redaktur, dan wartawan semestinya menerima “teguran” presiden itu sebagai sentilan kerja media massa yang terkesan akhir-akhir ini kurang peduli pada gerakan kebersamaan membangun bangsa.
Presiden pertama RI, Soekarno, jauh-jauh hari telah mengingatkan, membangun bangsa itu perlu kebersamaan, perlu gotong royong, seluruh bangsa. Karena, membangun bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab masyarakat seluruhnya. Dengan demikian perlu adanya penggalangan semangat kebersamaan itu.
Adalah Uljanow yang lebih dikenal sebagai Wladimir Iljitsj Lenin, ahli propaganda dan agitasi, yang memulai memanfaatkan media sebagai alat revolusi. Tahun 1912, ia mendirikan surat kabar Pravda sebagai alat pembentukan opini melawan kekuasaan Tsar Rusia. Hanya lima tahun sesudah itu terjadi Revolusi Bolsjewik dan jatuhlah Tsar Rusia untuk selamanya.
Boleh dibilang, para pemimpin dulu menggunakan media untuk menyatakan pikiran-pikiran mereka. Sebagian besar mereka bahkan mendirikan majalah untuk menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Di masa Hindia Belanda, Tirtoadisurjo mendirikan Medan Prijaji. Menyusul HOS Tjokroaminoto dengan Oetoesan Hindia dan Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Tjahaja Timoer. Kemudian bersama-sama Douwess Dekker alias Setiabudi, Tjipto mendirikan mendirikan De Expres sebagai alat perjuangan.
Selanjutnya, Dokter Soetomo mendirikan surat kabar harian Soeara Oemoem agar Boedi Oetomo lebih akrab dengan masyarakat. Soekarno di Bandung mendirikan majalah Fikiran Ra’jat, Hatta juga mendirikan Daulat Rakyat.
Pemimpin lain seperti Sam Ratoelangi, Hadji Agoes Salim, M Natsir, dan Sutan Sjahrir terkenal sebagai penulis-penulis andal. Alimin adalah wartawan, penulis, politisi, dan budayawan. Tan Malaka tulisannya begitu brilian, dikenal di dalam dan di luar negeri, dan dipelajari sampai sekarang. Dengan begitu, mereka mendapat pengakuan publik setelah pikiran-pikiran mereka diuji dalam diskusi-diskusi publik.
Mereka tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Sebelum mereka tampil di depan publik, pikiran-pikiran mereka sudah dikenal masyarakat melalui media-media mereka. Karena itu, para pemimpin yang kemudian menjadi pendiri negeri ini,founding fathers, adalah orang-orang berkarakter yang cita-cita dan pikirannya dipuja bagi para pengikut mereka sampai sekarang.
Tulisan-tulisan mereka membakar semangat rakyat serta memberi harapan akan tibanya suatu masa ketika harapan itu menjadi kenyataan.
Berbeda sekali dengan bulletin Oedaja milik Noto Soeroto yang mengangkat Cornellis Frans sebagai pemimpin redaksi. Konsep perjuangan kemerdekaan mereka berbeda dengan konsep perjuangan kemerdekaan Soekarno dan teman-temannya. Soekarno dan teman-temannya ingin menghendaki Merdeka Sekarang, kalau perlu dengan revolusi.
Akan halnya Noto Soeroto memilih jalan perjuangan evolusi, menganjurkan merdeka dengan persiapan yang matang oleh pihak Belanda, termasuk pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjalankan roda pemerintahan. Bagi mereka, kemerdekaan dengan revolusi akan mewariskan pertentangan demi pertentangan yang tak habis-habisnya. Media ini membuat bangsa ini pasif, bahkan pesimistis, karena hanya bersifat pasrah dan menanti nasib apa yang akan diberikan penjajah. []
Peter A Rohi, Wartawan Senior