Suluh Indonesia – Perayaan adat panas pela di Amahusu, Kota Ambon, Maluku, Indonesia, berlangsung semarak. Ratusan warga dari empat ‘negeri’ –Amahusu, Hatalai, Tial dan Laha– berkumpul melaksanakan upacara panas pela. Tujuan mereka satu, memperbaharui perjanjian hubungan di antara mereka dan memperkuat tali persaudaraan.

Namun, mereka kaget ketika tiba-tiba timbul kontroversi di tengah masyarakat akibat penampilan suatu gambar yang dianggap melecehkan pihak tertentu. Perdebatan di media sosial menambah panas suasana. Syukurlah, para pemuka ‘negeri’ (desa adat) segera turun tangan. Pihak panitia dan pemerintah bermusyawarah hingga dicapai kata sepakat untuk meminta maaf atas kesalahan tersebut.

Mereka tak ingin konflik etnis pada 1999-2002 yang melibatkan para pemeluk agama kembali terjadi di Maluku. Pertikaian berdarah yang bermotif politik ini begitu kerasnya. Ia baru bisa dipadamkan tiga tahun kemudian setelah pihak-pihak peseteru sepakat meneken perjanjian Malino dengan mengacu pada tradisi pela gandong yang sejak dulu disucikan para leluhur.

Pela gandong merupakan penggabungan dua kata yakni “pela” (ikatan persatuan) dan “gandong” (saudara). Dengan demikian Pela Gandong berarti saling mengikat diri sebagai saudara. Dari sini orang Maluku kemudian membentuk falsafah hidup harmonis seperti orang basudara, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng di pata dua, ain ne ain, kalwedo, kidabela, dan sitakaka walike.

Dieter Bartles, antropolog Amerika yang tinggal di Maluku selama 40 tahun untuk meneliti pela, mendefinisikan pela sebagai model persahabatan, sistem persaudaraan atau persekutuan yang dikembangkan di antara seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Untuk itu, para leluhur telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban tertentu yang disetujui bersama.

Para leluhur Maluku telah menetapkan sejumlah ketentuan dasar umum pela, yang mengatur hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh anak negeri. Di antaranya, negeri-negeri yang memiliki ikatan pela berkewajiban saling membantu negeri yang lain pada masa genting, misalnya ketika terjadi bencana alam, peperangan, atau kecelakaan laut.

Diminta atau tidak, negeri yang berpela wajib memberi bantuan kepada negeri lain yang hendak melaksanakan proyek untuk kepentingan umum seperti pembangunan rumah ibadah, parigi, baileu, pasar, atau sekolah. Bantuan makanan juga wajib diberikan secara sukarela kepada tamu yang datang dari negeri lain dan tamu ini tak boleh dilarang membawa penghasilan yang didapatnya dari negeri yang didatanginya.

Selain itu, semua penduduk negeri-negeri yang saling berpela dianggap sedarah sehingga mereka tak boleh saling mengawini. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dihukum keras. Dahulu kala, pelanggar pantangan kawin itu akan ditangkap dan disuruh berjalan mengelilingi seluru negeri dengan hanya berpakaian daun kelapa seraya dicaci-maki sebagai pembuat aib.

Begitu kuatnya ikatan pela, sehingga Bartles menilai pela sebagai kesepakatan perjanjian yang dilakukan tanpa kepentingan lain kecuali persaudaraan. Seolah tak ada yang lebih penting ketimbang persaudaraan yang telah diikat. Di Maluku, saudara pela diposisikan begitu tinggi dan terhormat melebihi hubungan saudara kandung yang bersifat biologis.

Padahal, pela bisa saja tercipta tanpa rencana. Misalnya, pela antara Passo dan Batumerah, dua negeri yang didominasi warga Muslim dan Kristen. Hubungan mereka terjalin karena peristiwa kecelakaan di laut. Saat itu, kora-kora asal Passo yang hampir tenggelam diselamatkan oleh orang Batumerah yang datang membantu. Lantas, mereka menjalin sumpah menjadi saudara pela.

Sebetulnya, pela gandong sendiri merupakan satu dari tiga jenis pela yang dikenal masyarakat Maluku. Kedua jenis lainnya adalah pela karas dan pela tampa siri. Pela karas (keras) adalah sumpah yang diikrarkan oleh warga dari dua negeri atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa sangat penting seperti perang dengan segala akibatnya.

Sementara pela gandong atau bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di negeri atau pulau yang berbeda. Baik pela karas maupun pela gandong ditetapkan dengan sumpah yang sangat mengikat. Sumpah ini disertai kepercayaan bahwa kutukan akan menimpa setiap pelanggar perjanjian kedua pela.

Sistem pela selama ini telah membuat hubungan kaum muslimin dan kristen mesra. Mereka senantiasa bergotong-royong dan saling membantu dalam membangun gedung gereja, mesjid, dan sekolah. Satu saudara pela menyumbang tenaga kerja dan bahan bangunan, sementara saudara lainnya membantu uang atau makanan, sehingga banyak bangunan di Maluku dapat mereka dirikan tanpa bantuan pemerintah.

Tampak, leluhur Maluku terbukti begitu cerdas membangun persaudaraan atas nama perbedaan. Berbekal budaya pela gandong, Maluku kini mengusung konsep persaudaraan atas nama toleransi. Mereka menjadikan pela gandong sebagai ikon perdamaian, sehingga pulau rempah itu dikenal sebagai miniatur keberagaman sekaligus model laboratorium pedamaian di Indonesia. [AT]

Baca juga

Negara Indonesia Timur, RIS, dan NKRI

ULUK SALAM Sebagai Tradisi

Gagasan Melayu Melaka, Indonesia Raya dan Melayu Raya