Koran Sulindo – Partai Demokrat menyatakan proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tak bisa dihentikan presiden, karena merupakan amanah UU No 24 Tahun 2013 tentang Adminitrasi Kependudukan. Jika menghentikan proyek ini, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dipidana.
“Setiap kebijakan yang bersumber dan menjadi amanah UU wajib dilaksanakan. Apabila Presiden tidak melaksanakan kewajiban UU berarti Presiden melanggar UU dan bisa diminta pertanggungjawabannya secara kelembagaan. Landasan kebijakan e-KTP loud & clear,” kata Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Agus Hermanto, di Jakarta, Jumat (26/1/2018), melalui rilis media.
Sebelumnya, nama Ketua Umum Partai Demokrat itu disebut dalam persidangan kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dengan terdakwa Setya Novanto, di pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018). Dalam kesaksian Mirwan Amir di sidang itu, SBY disebut tetap melanjutkan proyek itu meski sudah diberi masukan untuk menghentikannya.
Menurut Agus, fakta adanya penyimpangan dan pelanggaran atau korupsi di dalam kasus ini, sepenuhnya menjadi ranah hukum yang harus diusut tuntas.
“Tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, harus transaparan, akuntabel dan Profesional. Hindarkan politisasi kepentingan,” kata Agus.
Tak Memiliki Dampak Hukum
Sementara itu Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, mengatakan pernyataan Mirwan tersebut tidak memiliki dampak hukum terhadap SBY.
“Karena SBY tidak terlibat dalam kasus tersebut,” kata Ferdinand, di Jakarta, Kamis (25/1/2018), melaluik rilis media.
Menurut Ferdinand, saat Mirwan menyampaikan usul penghentian proyek itu pada SBY, belum ada masalah korupsi yang mengganggu proyek tersebut, sehingga tidak mungkin bisa dihentikan tanpa alasan yang jelas karena akan berakibat hukum atas kontrak yang sudah ditandatangani.
“Pemerintah bisa dituntut balik oleh pihak kontraktor dan akan merugikan pemerintah,” katanya.
Harus Jelaskan ke Publik
Sebelumnya, salah seorang penasehat hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, mengatakan SBY harus menjelaskan soal proyek e-KTP itu karena berlangsung pada masa pemerintahannya.
“Kalau memang ini programnya pemerintah, menurut hemat kami pemerintah ketika itu bicara tentang kasus ini,” kata Maqdir, usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Menurut Maqdir, proyek itu tidak pernah dijelaskan secara rinci oleh pemerintah. Padahal, proyek itu bergulir 2013, di masa SBY masih menjabat sebagai Presiden RI.
“Selama ini Kemendagri tidak pernah secara formal menyapaikan sikap terkait persoalan ini, begitu juga pemerintah RI, padahal ini proyek pemerintah,” katanya.
SBY tak harus diminta keterangannya dalam persidangan atau penyidikan di KPK, namun hanya perlu menjelaskan secara gamblang proyek e-KTP kepada publik.
“Bahkan tadi saya kira, tadi bersama-sama bahwa pernah ada satu rapat dengan wakil presiden dan kemudian dibentuk tim, berdasarkan Kepres,” kata Maqdir.
Proyek e-KTP adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 64 ayat (3) pada beleid itu mewajibkan pemerintah untuk membuat sistem KTP yang memuat kode keamanan dan perekam elektronik data kependudukan.
Presiden SBY melakukan perubahan sebanyak empat kali terhadap Peraturan Presiden sepanjang proyek ini berjalan (Perpres 26 /2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional). Terakhir, SBY meneken revisi Perpres ini pada 2013. [DAS]