Demokrasi

Ilustrasi soal demokrasi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Berbagai penangkapan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat belakangan ini memunculkan pertanyaan tentang demokrasi di Indonesia. Masyarakat seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan menyebutkan pemerintahan hari ini menunjukkan tanda-tanda otoritarianisme.

Setidaknya, menurut YLBHI, itu tergambar dari 28 kebijakan pemerintahan Jokowi Widodo sejak 2015 tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kebijakan yang mencerminkan otoritarianisme itu bermacam-macam – mulai dari kebijakan ekonomi negara, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebijakan dwi fungsi pertahanan keamanan serta kebijakan politik yang memperlemah partai politik.

Di samping kebijakan-kebijakan tersebut, tanda-tanda bangkitnya otoritarianisme itu juga bisa terlihat dari indeks demokrasi Indonesia yang terus menurun selama 3 tahun terakhir. Data The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia pada 2016 sempat menempati peringkat ke-48 dengan skor 6,97. Selanjutnya pada 2017, Indonesia menempati peringkat ke 68 dengan skor 6,39. Sementara 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-64 secara global dari 167 negara.

Dengan semua ini, kita tampaknya perlu mempelajari kembali apa sesungguhnya demokrasi itu? Masyarakat pada umumnya memaknai demokrasi dengan cara berbeda-beda. Sebagian memaknai demokrasi identik dengan keadilan sosial. Bagi sebagian lagi, demokrasi digambarkan seperti yang sedang berlangsung di Indonesia – melaksanakan pemilihan umum 5 tahunan sehingga acap disebut sebagai “pesta demokrasi”.

Pendek kata, demokrasi sekadar menjadi kegiatan pengumpulan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Selanjutnya, dipersempit lagi sekadar menjadi mayoritas dan minoritas. Dan masih banyak pengertian lainnya. Untuk mengetahui makna demokrasi, ada baiknya mencermati penuturan sejarawan profesor emiritus Ellen Meiksins Wood dari Universitas York, Toronto dalam wawancaranya dengan newsocialist.org.

Pendapatnya menjadi relevan karena Wood menulis buku yang berjudul Demokrasi Kontra Kapitalisme yang diterbitkan pada 1995. Bukunya itu menarik perhatian publik lantaran mempertentangkan demokrasi dan kapitalisme. Bagi sebagian orang sistem kapitalisme merupakan satu-satunya sistem pembawa “demokrasi sejati”. Benarkah?

Wood menyanggah anggapan yang keliru itu. Pertama-tama, kata Wood, haruslah diartikan apa itu yang disebut sebagai demokrasi sejati. Dalam bahasa Yunani kuno demos adalah rakyat, penduduk – dan tidak hanya dalam pengertian politik yang mengawang-awang, tetapi juga sebagai kategori sosial: orang-orang biasa atau bahkan orang-orang miskin. Sementara kratos berarti kekuatan, kekuasaan, pemerintahan.

Berdasarkan pengertian ini, demokrasi, kata Wood, tidak lebih tidak kurang berarti rakyat yang berkuasa, bahkan juga berarti kekuasaan dari orang biasa atau rakyat jelata. Lebih jauh lagi, sejarawan lain bahkan menyebutkan makna asli demokrasi bisa disamakan dengan apa yang disebut sebagai diktatur proletariat.

Pengertian demikian persis seperti yang dipikirkan Soekarno sejak 1926. Khusus demokrasi ini, Bung Besar membahasnya dari aspek sosio-demokrasi. Di situ ia mengatakan, kedaulatan rakyat menjadi yang utama dalam demokrasi. Dan tidak sekadar dalam pengertian politik, demokrasi juga harus dipraktikkan dalam lapangan ekonomi. sebab, tujuannya adalah keadilan sosial untuk rakyat.

Dari pengertian-pengertian itu dan dihubungkan dengan situasi konkret kita hari ini, pertanyaannya: benarkah kita negara demokrasi? [Kristian Ginting]