Koran Sulindo – Drama pengambilalihan Partai Demokrat berlanjut dengan gelaran Kongres Luar Biasa (KLB) di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang, Sumut, Jumat (5/3), yang menahbiskan Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal Moeldoko sebagai ketum partai berlambang mercy itu.
Pihak pro-KLB menyatakan KLB merupakan langkah demokratis yang ditempuh untuk menyelamatkan partai. Sementara kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan KLB sepihak itu ilegal dan inkonstitusional karena menyalahi AD/ART partai.
Dalam perjalanan bangsa ini, bukan kali ini saja terjadi dualisme kepengurusan partai. Partai besar maupun yang kecil pernah mengalaminya. Partai Berkarya sekarang ini masih bersengketa di pengadilan. PPP sudah mengalami. Golkar, PKB dan PDI juga pernah melalui sengkarut dualisme.
Dari serangkaian kasus dualisme, nampaknya baru Demokrat yang mempertontonkan gaya vulgar dalam berdemokrasi. Saling meruntuhkan dengan pernyataan yang sejatinya tidak perlu diungkapkan.
Ambil sebagai contoh pernyataan Jhoni Allen Marbun di media yang membeberkan betapa Partai Demokrat kepemimpinan AHY menetapkan mahar tinggi untuk calon kepala daerah, dan diberlakukannya tarif besar kepada kepala daerah yang berminat menjadi Ketua DPD Demokrat.
Ada pula pengakuan peserta kongres dari DPC Demokrat yang dijanjikan uang sebesar Rp100 juta untuk hadir dalam KLB. Belakangan mereka yang hadir rupanya hanya diberikan Rp5 juta saja. Sontak mereka kecewa dan membeberkan masalah ini kepada media. Rupanya kualitas demokrasi kita masih diukur dari angka.
Lepas dari itu, Jhoni Allen kali ini menjadi pentolan Demokrat versi KLB. Tak lama dipecat sebagai kader Demokrat dan terancam menjadi pejabat antar waktu (PAW) dari DPR, Jhoni malah tampil menjadi sekjen partai versi KLB. Jhoni pula yang kerap tampil belakangan ini menyerang SBY yang disebutnya bukan pendiri dan tidak berkeringat untuk partai.
“Demi Tuhan saya bersaksi, bahwa SBY tidak berkeringat sama sekali apalagi berdarah-darah sebagaimana pernyataannya di berbagai kesempatan,” kata Jhoni.
Malahan, lanjut Jhoni, SBY-lah sosok yang paling bertanggung jawab terkait melorotnya suara Demokrat.
“Sewaktu SBY menjadi ketua umum pada KLB 2013, dia menunjuk Ibas sebagai sekretaris jenderal. Ini baru pertama kali di Indonesia bahkan di dunia, untuk pertama kali partai politik bapaknya SBY ketum anaknya sekjen,” beber Jhoni lagi.
Kubu pendukung KLB berkeyakinan Demokrat harus diselamatkan. Sudah banyak argumen yang disampaikan untuk menunjukkan bahwa AHY harus dievaluasi. Melalui KLB. Yang pelaksanaannya haruslah dilakukan DPP atas persetujuan SBY selaku Ketua Majelis Tinggi, menurut AD/ART partai tahun 2020.
Tidak Demokratis
Menurut pihak pro-KLB, aturan dalam AD/ART yang telah disahkan menkumham itu tidaklah demokratis. Bagaimana mungkin menggelar KLB mengganti ketum yang sejatinya anak kandung dari Ketua Majelis Tinggi. Artinya langkah korektif tidak bisa dilakukan secara objektif dan KLB sepihak bisa dibenarkan untuk menyelamatkan partai.
KLB yang dipaksa digelar pun mengikuti AD/ART Demokrat hasil KLB 2005, yang dilaksanakan tanpa harus melibatkan Ketua Majelis Tinggi. Hal ini diklaim sesuai dengan ketentuan dalam UU Parpol, tidak seperti AD/ART tahun 2020 yang telah diakui pemerintah.
Langkah pihak yang kontra-KLB tak kalah menggelikan. Rupanya upaya “kudeta” yang diharapkan terhenti setelah “diledakkan” ke media malah beneran terjadi. Upaya Partai Demokrat kubu AHY yang mengaitkan upaya kudeta dengan menyudutkan pemerintah kempis di tengah jalan. Gagal bergelinding seperti bola salju.
Kubu AHY belakangan ini malah menunjukkan kepanikan. Gelisah. Berkirim surat ke Menko Polhukam, Kapolri, karena tak mampu mencegah kader yang “mbalelo” membelah partai. Moeldoko sendiri tampil di kongres dan terlihat bangga diangkat menjadi ketum.
Merespons kejadian itu, Jenderal SBY secara terbuka mengaku menyesal pernah mengangkat Moeldoko menjadi Panglima TNI. Terlihat jelas Demokrat versi AHY tidak memiliki langkah-langkah strategis dalam konsolidasi internal yang seharusnya digencarkan sejak awal.
Hanya menekankan bahwa KLB ilegal di Deli Serdang turut disebabkan oleh Moeldoko yang disebut sebagai faktor eksternal. Apakah mungkin hanya seorang Moeldoko ditambah militansi segelintir kader senior bisa menjadi dominan hingga KLB bisa digelar.
Dagelan yang dipertontonkan Demokrat menandakan bahwa partai, kendati pernah menjadi “the ruling party” tampaknya harus mengalami tragedi yang sejatinya bisa dihindari. Sebab sejarah telah menunjukkan betapa dualisme merugikan partai itu sendiri. Tak pelak lagi AHY tengah merasakan sulitnya menjadi seorang Demokrat.
Maka dapat dimaklumi pula asumsi yang menyebut, figur SBY tak lagi kuat. AHY belum mumpuni memimpin partai hingga kader senior memilih untuk mencari sosok lain yang mau dijadikan maskot untuk menggelar KLB.
Pemerintah sejak awal berkukuh bahwa sengkarut di Demokrat merupakan konflik internal dan pemerintah memilih menjaga jarak dalam hal itu. Tidak mau melarang apalagi membubarkan KLB.
“Pak SBY enggak membubarkan KLB-nya PKB, ada dua, dan berkali-kali forum. Bu Mega juga enggak membubarkan KLB-nya (PKB),” terang Menko Polhukam Mahfud MD.
Pernyataan Mahfud ini mematahkan desakan Demokrat kubu AHY yang meminta pemerintah untuk mengambil tindakan. Namun desakan dari pihak AHY bisa dimengerti mengingat status Moeldoko selalu KSP yang ditunjuk sebagai Ketum Demokrat versi KLB.
Sejauh ini pemerintah tidak mengambil tindakan terhadap Moeldoko, yang disebut kubu AHY merebut Demokrat untuk kontestasi Pilpres 2024. Padahal pada 2020 lalu sempat disinggung agar menteri tidak “ngebet nyapres”. Fokus pada kabinet dan tidak memiliki agenda di luar itu.
Ketegasan pemerintah seharusnya ditunjukkan pula dalam kasus Moeldoko. Bukan tidak mungkin dari peristiwa ini nantinya malah membuka tudingan pemerintah memiliki agenda tersembunyi dari dualisme yang membelit Demokrat.
Patut pula kita berharap Jenderal Moeldoko bersikap kesatria, mundur dari jabatannya dan fokus merebut legitimasi Demokrat. Sebab pemerintah sekarang ini masih mengakui Demokrat kepemimpinan AHY yang sah secara hukum.
Moeldoko sejak diangkat menjadi ketum belum membeberkan langkah-langkah ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat Demokrat hasil KLB dadakan. Desakan publik agar yang bersangkutan mundur atau dicopot dari jabatannya tampaknya hanya sebatas suara figuran dalam dagelan Demokrat. [Erwin C. Sihombing]