Koran Sulindo – Menjalankan demokrasi itu memang berat. Ibarat Milea yang menahan rindu kepada Dilan, berat memang. Itu sebabnya, Dilan mengatakan, biar ia saja yang menanggungnya. Pun demikian dengan demokrasi. Bagi yang memahami makna demokrasi sejati, maka hanya rakyatlah yang bisa menjalankannya.
Demokrasi sejati, kata Profesor Emeritus Ellen Meiksins Wood dari Universitas York, Toronto dalam Demokrasi Kontra Kapitalisme, tidak lebih tidak kurang berarti rakyat yang berkuasa, bahkan juga berarti kekuasaan dari orang biasa atau rakyat jelata. Lebih jauh lagi, sejarawan lain bahkan menyebutkan makna asli demokrasi sejati bisa disamakan dengan apa yang disebut sebagai diktatur proletariat.
Karena beratnya menjalankan demokrasi sejati itu, maka Freedom House, lembaga nirlaba berbasis Washington menyimpulkan demokrasi dan pluralisme dewasa ini sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia.
Lembaga ini menyebut indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis memburuk. Pemimpin di seluruh dunia telah jatuh dan kini berpura-pura menjalankan aturan yang demokratis. Mereka – para pemimpin itu menyerang secara terbuka lembaga demokrasi dan menyingkirkan apapun yang menghambat keinginan mereka.
Ini terjadi membentang dari Eropa Tengah hingga Asia Tengah. Pergeseran situasi ini sangat berbahaya karena mengancam masyarakat sipil dan media massa, memanipulasi pemilihan umum dan membiarkan parlemen tak lagi menjadi pengawas pemerintahan serta sebagai tempat perdebatan politik.
Adapun negara-negara demokratis yang mengalami penurunan indeks kebebasan antara lain Jerman, Prancis, Italia dan Australia. Lalu, bagaimana dengan posisi Indonesia? Menurut laporan Freedom House di banyak negara termasuk Indonesia orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Massa menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis.
Terbaru riset Freedom House menyoroti tentang kebebasan penggunaan internet. Dalam hal ini, Indonesia masuk sebagai negara bebas sebagian. Freedom House mengkategorikan Indonesia demikian karena mendapat skor 49 dari 100 untuk kebebasan berinternet. Skor ini turun dari tahun sebelumnya yakni 51 dari 100.
Lalu apa yang membuat skor Indonesia turun dalam hal kebebasan menggunakan internet? Freedom House mengevaluasi dan mengukur tiga hal yaitu hambatan akses internet, pembatasan konten dan pelanggaran terhadap pengguna internet. Untuk skor hambatan akses internet Indonesia mendapat 14 dari 25; sedangkan skor pembatasan konten, Indonesia mendapat 18 dari 35; dan terakhir pelanggaran terhadap internet, Indonesia mendapat 17 dari 40.
Total skor Indonesia 49 dari 100. Penurunan skor ini juga disebabkan maraknya serangan terhadap aktivis dan pemblokiran internet serta peretasan terhadap pers. Hasil ini menyimpulkan, Indonesia mengarah ke otoritarianisme digital. Hasil ini sejalan dengan penilaian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut kinerja pemerintahan Joko Widodo di periode kedua belum mampu menjamin kebebasan berekspresi. Menurut Komnas HAM itu terbukti dari cara penanganan aksi unjuk rasa belakangan ini terutama aksi penolakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Pembatasan berpendapat dan berekspresi tidak saja dialami invidu atau kelompok, tapi juga terjadi di ruang-ruang akademik. Mengutip hasil survei, Komnas HAM juga menyinggung 36% masyarakat masih ketakutan menyampaikan pendapat dan ekspresi melalui internet. Ini terjadi karena masih terhambatnya kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Karena itu, tantangannya, negara harus menjamin hal tersebut di masa depan. Sebab, kita tidak ingin dikenal sebagai negeri otoritarian, bukan? [Kristian Ginting]