Ir H Djuanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya 14 Januari 1911 dan wafat di Jakarta 7 November 1963. Ia merupakan Perdana Menteri (PM) Indonesia yang ke-11 dan satu-satunya yang bukan berasal dari partai politik. Ia menjabat sebagai PM pada masa Kabinet Karya (Kabinet Djuanda) yang ia pimpin sendiri selama sekitar dua tahun sejak 9 April 1957 sampai 9 Juli 1959.
Djuanda lulusan Institut Teknologi Bandung tahun 1933 yang bersahabat erat dengan Soekarno. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Muda Perhubungan dalam Kabinet Sutan Sjahrir II (Maret 1946-Juni 1946) dan Menteri Perhubungan dalam Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946-Juni 1947), Kabinet Amir Sjarifuddin I (Juni 1947-November 1947), serta Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948).
Djuanda dipercaya kembali menjadi Menteri Perhubungan/Menteri Pekerjaan Umum Ad Interim dalam Kabinet Muhammad Hatta I (1948-1949), Menteri Negara dalam Kabinet Muhammad Hatta II (1949), dan juga sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat pimpinan PM Muhammad Hatta (1950).
Dalam era Demokrasi Parlementer 1950-1959 Djuanda ditunjuk lagi sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Muhammad Natsir (1950-1951), Kabinet Sukiman Wirjosandjojo (1951-1952), dan Kabinet Wilopo (1952-1953). Kemudian ia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Perencanaan dalam Kabinet Ali Sastroamijojo II (1956-1957).
Latar belakangnya sebagai teknokrat itulah yang menjadi pertimbangan bagi Presiden Soekarno untuk memercayai Djuanda sebagai PM yang memimpin Kabinet Karya. Kabinet ini dibentuk bulan April 1957 di tengah keadaan darurat perang yang diumumkan oleh Presiden Soekarno. Situasi republik ketika itu mengalami krisis karena pengunduran diri Muhammmad Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1 Desember 1956, terjadinya pergolakan di berbagai daerah yang menentang berbagai kebijaksanaan politik dan ekonomi pemerintah pusat, serta perilaku politik partai-partai yang oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai “sumber penyakit.”
Presiden Soekarno memberikan nama Panca Karya sebagai program Kabinet Karya. Lima tujuan yang berorientasi ingin memajukan bangsa dan negara itu adalah pertama, membentuk Dewan Nasional; kedua, normalisasi keadaan republik; ketiga, melanjutkan pelaksanaan pembatalan Konferensi Meja Bundar; keempat, perjuangan Irian Barat; dan kelima, mempergiat pembangunan.
Akan tetapi, usia Kabinet Karya tidak lama karena Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959. Setelah berakhirnya masa kerja Kabinet Karya, Presiden Soekarno mengambil alih posisi sebagai PM Kabinet Kerja I (1959-1960) dan menjadikan Djuanda sebagai “orang nomor dua” di pemerintah dengan jabatan sebagai Menteri Pertama. Djuanda tetap menjabat sebagai Menteri Pertama pada era Kabinet Kerja II (1960-1962) serta Kabinet Kerja III (1962-1963).
Salah satu sumbangan terbesar Djuanda selama menjadi PM adalah menerbitkan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi ini secara geopolitis dan geoekonomi memiliki arti sangat penting karena ia secara resmi mengumumkan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia bukan lagi seperti diatur dalam Ordonansi Laut Teritorial dan
Lingkungan Maritim 1939, tetapi mencakup juga laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.
Deklarasi Djuanda tak langsung diterima sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi pemerintah Deklarasi Djuanda yang berisikan konsepsi Indonesia sebagai “negara kepulauan” (archipelagic state) akhirnya diterima masyarakat dunia sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS = United Nation Convention On Law of the Sea) 1982.
Melalui deklarasi ini wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km persegi yang merupakan tiga perempat dari keseluruhan wilayah negeri ini. Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Patut juga dicamkan bahwa Deklarasi Djuanda juga merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan “kesatuan dan persatuan” negara dan bangsa Indonesia. Dua pilar lainnya adalah “kesatuan kejiwaan persatuan” yang dinyatakan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan “kesatuan kenegaraan” yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
Sekalipun negara kepulauan, UNCLOS mensyaratkan Indonesia harus membuka sebagian wilayah lautnya (high seas) untuk jalur kapal-kapal laut internasional. Sekitar 40 persen dari angkutan dunia saat ini melewati empat selat jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Timor.
Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau, namun sekitar 6.700 pulau hingga kini belum dinamai. Dikhawatirkan pulau-pulau yang belum dinamai ini dapat hilang atau, untuk pulau terluar, bisa diakui sebagai milik negara lain. Oleh sebab itu pemerintah harus segera menamai dan menandai pulau-pulau tersebut. Saat ini tercatat lebih dari 60 pulau berpotensi menjadi bahan sengketa atau pertikaian dengan negara-negara lain.
Indonesia masih memperebutkan beberapa wilayah laut, termasuk pulau, dengan beberapa negara lain. Indonesia masih belum menyelesaikan sengketa Batas Landas Kontinen (BLK) dengan Vietnam di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Daratan Asia Tenggara, sengketa di perairan dengan Filipina di sekitar Miangas, Pulau Ambalat dengan Malaysia, atau Pulau Pasir dengan Australia.
Berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet awal menimbulkan ketidakstabilan politik keamanan di Asia-Pasifik yang berakibat terhadap munculnya sengketa-sengketa wilayah perairan di antara sejumlah negara. Vietnam, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam terlibat sengketa di Kepulauan Spratly. Sengketa bilateral memperebutkan pulau juga melibatkan Vietnam dengan Malaysia, Taiwan dengan China, Korea Selatan dengan Jepang, China dengan Jepang, Rusia dengan Jepang, dan Malaysia dengan Singapura.
Sengketa atas wilayah di perairan Laut Cina Selatan akan semakin sengit karena potensi sumber-sumber alam yang terkandung di dasar laut maupun di pulau-pulau yang dipertikaikan itu. Indonesia juga dihadang masalah serupa dan pertanyaan pokoknya adalah: seberapa jauh kesiapan kita?