Deklarasi Djuanda: Penegasan Kedaulatan Maritim NKRI

Pengakuan wilayah maritim Indonesia setelah deklarasi Djuanda. (Foto: Iqyanut Taufik)

Jakarta – Nama Djuanda atau Juanda banyak diabadikan menjadi nama jalan, ada juga nama Bandara seperti yang ada di Sidoarjo Jawa Timur. Pernahkan anda terpikir siapa sebenarnya ’Djuanda’?

Djuanda atau seorang yang bernama lengkap Ir. H. Djuanda Kartawidjaja merupakan pahlawan Nasional yang berperan penting dalam pengakuan kedaulatan laut di Indonesia. Gagasan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja dalam pengakuan wilayah maritim Indonesia ini di perjuangkan melalui ’Deklarasi Djuanda’. Sosok Djuanda sendiri sebenarnya tidak asing karena potretnya diabadikan dalam uang rupiah pecahan Rp. 50.000,00

Ir. H. Djuanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat dan merupakan pencetus ’Deklarasi Djuanda’.

Deklarasi Djuanda sendiri merupakan deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa peraian laut di wilayah Indonesia itu meliputi laut disekitarnya diantara dan di dalam kepulauan Indonesia tergabung dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Deklarasi ini dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indoneia.

Wilayah Indonesia sebelum adanya perjanjian Djuanda itu mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda tahun 1939 yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam peraturan Hindia Belanda ini pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia dipisahkan oleh laut disekelilingnya dan wilayah lautnya dibatasi hanya sejauh 3 mil dari garis pantai dan hal ini menjadikan kapal-kapal asing bisa bebas melewati wilayah Indonesia selama melebihi jarak 3 mil dari garis pantai atau dengan kata lain wilayah laut diatas 3 mil merupakan wilayah bebas.

Dalam Deklarasi Djunda dinyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip negara kepulauan (Archipelagic State). Waktu itu deklarasi ini mendapat banyak tentangan dari beberapa negara. Namun pada ahirnya Deklarasi Djuanda di sah-kan menjadi Undang-Undang yaitu UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.

Dengan di sah-kannya UU ini menjadikan wilayah Indonesia menjadi 2,5 kali lipat lebih luas, dari yang semula 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² namun tidak termasuk wilayah Irian Jaya, sebab saat itu wilayah Irian Jaya belum diakui secara Internasional.

Dari perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar (kecuali Irian Jaya), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Meskipun sudah di deklarasikan namun deklarasi ini belum diterima dan di tetapkan dalam konvensi hukum laut PBB. Baru pada tahun 1982 setelah melaui perjuangan panjang dalam konvesi hukum laut PBB yang ke-III (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982) deklarasi ini resmi ditetapkan.

Deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri

2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan

3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.

Salah satu isi dalam Deklarasi Djuanda juga menyatakan:

Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. [IQT]