Perempuan Presiden Pertama Republik Indonesia dan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri

Sulindomedia – Ada upaya menyudutkan partai politik (parpol) belakangan ini, seolah partai politik adalah organisasi para penjahat yang harus dijauhi atau bahkan dibasmi. Padahal, seperti kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, lewat akun Twitter-nya pada Senin lalu (7/3/2016), dirinya belum pernah melihat sistem negara demokratis modern yang tidak ditopang partai dan civil society yang sehat. “Tanpa keduanya tak ada demokrasi,” kata Budiman.

Tambahan pula, sistem dengan partai politik di negara ini sudah berjalan sejak Indonesia merdeka dan dijamin pula oleh UUD 1945. Karena itu, adalah sangat wajar dan menjadi keharusan pula bila Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ingin partainya melawan de-parpolisasi, yakni usaha menjauhkan politik pemerintahan dari fungsi partai politik.

Seperti dikatakan Sekretaris DPD PDI Perjuangan DKI Prasetio Edi Marsudi pada Selasa kemarin (8/3/2016), Megawati mengungkapkan hal itu setelah menggelar Rapat koordinasi bidang internal di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta Selatan. “Secara tata negara, de-parpol-isasi adalah pelemahan. PDI Perjuangan melawan de-parpol-isasi,” ujar Prasetio di Ruang Pers Balai Kota-DPRD DKI Jakarta.

De-parpol-isasi, tambahnya, merugikan partai politik. Bukan hanya PDI Perjuangan yang akan terkena imbasnya, namun semua parpol juga bisa tergerus.

Prasetio berpandangan, pencalonan kepala daerah lewat jalur independen adalah bentuk de-parpol-isasi.  “Independen itu kan liberal. Maksud dan tujuannya sah, tapi tidak ada payung hukum dan undang-undangnya,” katanya.

Jalur independen, menurut Prasetio, merupakan perwujudan paham liberal. Padahal, untuk konteks Indonesia, peran parpol juga sebagai wadah pertanggungjawaban kepala daerah yang diusung. “Kalau dia [kepala daerah[]bekerja jelek, partainya yang kena, bukan perseorangannya. [Jika kepala daerah dari jalur independen] Masak kita menyalahkan masyarakat ? Kan, tidak,” tutur Prasetio.

Terlebih, kerja sama antara pihak eksekutif dan legislatif perlu ada. Di tingkat daerah, legislatif diisi orang-orang dari parpol. Ketiadaan usungan dari parpol berpotensi membuka konflik tak berujung antara legislatif dan eksekutif. “Lima tahun ke depan bisa bekerja sama enggak? Pemerintahan daerah itu ada eksekutif dan legislatif,” tutur Prasetio.

Di masyarakat sendiri ada yang berpandangan, adanya jalur independen pada pemilihan kepala daerah merupakan suatu usaha sistematis dari kelompok Barat dengan menggunakan anak-anak muda yang kurang pengalaman, kurang kompetensi, dan kurang pengetahuan sejarah untuk mengurus negara. Mereka punya agenda kepentingan untuk menguasai kekayaan negeri ini, yang jalannya lebih berbelit dan dijalankan dan dihidupkan oleh orang banyak. “Mereka memang mengingankan parpol menjadi lemah dan kemudian bubar. Kalau semua parpol bubar, negara ini pun bubar. Itulah memang tujuan mereka,” kata politisi senior yang enggan disebutkan namanya. Karena itu, tambah dia, harus ada upaya keras dari kader semua parpol untuk melawan de-parpolisasi.

:”Memang, parpol di negara ini masih banyak kekurangannya, perlu dibenahi, termasuk kualitas dan integritas kader-kadernya. Tapi, itu bukan berarti parpol mejadi tidak penting dan kemudian akan disingkirkan. Semua kader parpol dari mana pun harus melawan upaya de-parpol-isasi ini. De-parpol-isasi membahayakan negara ini,” ujarnya. [CHA/PUR]