toko ritel dan umkm

Koran Sulindo – Volume penjualan produk-produk ritel menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2017 diperkirakan menurun dibanding tahun lalu. Selain dipicu perubahan pola belanja konsumen yang mengalihkan konsumsinya untuk kesenangan atau leisure seperti wisata kuliner dan jalan-jalan.

Penurunan juga dikarenakan perlambatan pertumbuhan konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka memilih menahan konsumsi dan lebih menyukai menempatkan uang pada simpanan perbankan atau investasi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyebut volume penjualan produk ritel hanya akan naik pada kisaran 10 hingga 15 persen. Angka itu lebih rendah dibanding peningkatan volume penjualan perayaan akhir tahun lalu yang mencapai 20 hingga 25 persen. “Untuk Natal, biasanya produk yang dibeli sirup, biskuit, minuman ringan, dan makanan-makanan ringan siap saji,” kata Roy.

Menurut Roy, sepanjang tahun 2017 volume penjualan ritel diperkirakan tumbuh 7,8 hingga 8 persen atau setara Rp215 triliun sampai Rp220 triliun. Dari jumlah itu lebaran menyumbang kontribusi 40 hingga 45 persen total penjualan tahunan, sedangkan penjualan akhir tahun biasanya berkontribusi 15 sampai 20 persen.

Turunnya volume penjualan ritel akhir tahun mengkonfirmasi sinyalemen sebelumnya yang menyebut turunnya daya beli masyarakat Indonesia. Turunnya daya beli menjadi masalah serius karena langsung memengaruhi perekonomian Indonesia.

Dari data statistik pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang menunjukkan gejala pelambatan, konsumsi rumah tangga adalah indikator utama mengukur daya beli. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2017 hanya 4,95 persen, lebih lambat dibandingkan 5,02 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Pelambatan pertumbuhan konsumsi terjadi hampir pada semua komponen dengan penurunan signifikan pada komponen non makanan dan minuman. Pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman melambat dari 5,26 persen pada triwulan II 2016 menjadi 5,24 persen pada triwulan II 2017, sedangkan komponen non makanan dan minuman turun dari 4,96 persen menjadi 4,77 persen.

Pada struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia konsumsi rumah tangga adalah komponen paling dominan yang porsinya mencapai 55 persen. Artinya, pelambatan konsumsi rumah tangga bakal  menyeret turunnya pertumbuhan ekonomi. Hingga triwulan II 2017 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,01 persen, melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,06 persen.

Menurunnya daya beli tak hanya ditunjukkan pada angka-angka statistik belaka. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan dalam beberapa bulan terakhir, pusat perbelanjaan modern makin sepi pengunjung. Di Pasar Glodok misalnya, banyak kios tutup akibat merosotnya penjualan.

Selain daya beli turun, pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional menjadi online atau e-comerce mempercepat anjloknya penjualan ritel di pusat-pusat perbelanjaan. Peningkatan pola belanja online itu terlihat jelas pada naiknya pengiriman barang melalui kereta api, moda yang banyak dipakai perusahaan jasa kurir mengirim barang.

Data BPS menyebutkan barang yang dikirim menggunakan kereta api pada semester I 2017 mencapai 39,99 juta ton, melonjak 18,32 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.[TGU]