Dave McRae

Koran Sulindo – Selepas runtuhnya rezim otoritarianisme Orde Baru pada tahun 1998, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, merupakan satu dari sekian daerah yang mengalami konflik. Bahkan, konflik di Poso disebut sebagai daerah konflik terlama di Indonesia pasca-reformasi, yakni mulai 1998 hingga 2007. Penyebabnya antara lain karena masuknya orang luar dan terlibat dalam konflik.

Seorang Indonesianis dari Universitas Melbourne-Australia, Dave McRae, merekam semua itu ketika meneliti konflik tersebut selama 10 tahun. Ia pernah berkarir di International Crisis Group (ICG) Cabang Jakarta sepanjang 2004 hingga 2006. Ia juga pernah menjadi anggota utama dari The World Bank’s Conflict and Development Team in Indonesia pada 2008 dan 2010. Penelitian selama satu dekade yang awalnya untuk disertasi doktoralnya itu kemudian dibukukan berjudul: Poso. Ia menyimpulkan konflik Poso sebagai konflik komunal.

Alasannya, kelompok-kelompok yang terlibat mendefinisikan identitas mereka, antara lain dengan identitas agama dan etnis. Lepas dari itu, menurut Dave McRae, konflik Poso sangat mudah terlihat sebagai konflik komunal. Benarkah?

Berikut petikan wawancara wartawan Koran Suluh Indonesia, Kristian Ginting, dengan Dave McRae ketika ditemui di Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu (15/12)

Apakah konflik komunal sebuah tradisi di Indonesia?

Konflik komunal ada sesuatu yang muncul setelah rezim otoritarianisme, pada tahun-tahun pertama demokratisasi. Jadi, saya kira, itu tidak bisa diasumsikan sebagai sesuatu yang melekat pada masyarakat Indonesia. Namun, situasi ketidakpastian mengenai persaingan politik pada waktu itu dan juga berkaitan dengan kelompok yang ingin menguasai sumber daya negara itu terjadi peristiwa-peristiwa konflik dan kemudian berkembang menjadi besar di beberapa wilayah itu.

Tapi, jika berbicara kuantitatif atas kekerasan yang terjadi, kita bisa melihat peningkatan yang sangat tajam pada tahun-tahun pertama pasca-otoriter. Tingkat kekerasannya jauh lebih rendah setelah tahun 2005.

Jika konflik komunal bukan sebuah tradisi di Indonesia, mengapa konflik Poso disebut sebagai konflik komunal?

Mungkin seperti yang saya jelaskan tadi, kalau kita mengangkat konflik komunal antar-etnis, antar-agama, dilihat dari sejumlah hal, baik siapa yang menjadi target, motivasi sebagaimana dijelaskan oleh pelakunya, bagaimana kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik mendefinisikan identitas mereka, apakah juga identitas agama, etnis, berpengaruh terhadap perilaku kombatannya, itu semua menjadi indikator apakah ini konflik komunal atau tidak. Kalaupun tidak ada indikator demikian, saya kira kita bisa menyimpulkan peristiwa yang terjadi di Poso adalah konflik komunal.

Bagaimana melihat peran negara atau kelompok (pengusaha) yang disokong negara dalam konflik itu?

Mungkin kalau saya katakan, bukan hanya konflik Poso, tapi juga konflik yang lain, sebagian pelakunya awalnya selalu punya tujuan politik. Jadi, persaingan politik lokal itu tercermin dalam peristiwa konflik yang terjadi. Tapi, itu bukan menjadi satu-satunya motivasi. Dengan berkembangnya konflik justru tujuan dari politik semakin mengecil. Itu bisa dilihat dari pengalaman hidup dalam situasi konflik, kerugian yang dialami, kemarahan atas peristiwa-peristiwa konflik sebelumnya dengan jalannya konflik juga menjadi motivasi yang sama pentingnya atau mungkin yang paling penting dalam eskalasi konflik yang terjadi.

Peran negara sebetulnya di mana dalam meningkatnya konflik?

Jadi, peran utama negara harusnya untuk intervensi dalam peristiwa-peristiwa konflik untuk mencegah terjadinya konflik. Apa yang terlihat dalam berbagai konflik di awal-awal transisi demokratisasi: negara selalu terlambat dalam mengidentifikasi peristiwa konflik. Kalau kita lihat di Poso, ketika negara itu turun tangan, negara bisa melumpuhkan perlawanan dari kelompok-kelompok yang bertikai dalam waktu yang singkat. Cuma, pada awal eskalasi konflik, kesempatan-kesempatan untuk mencegah meningkatnya eskalasi konflik tidak dimanfaatkan negara pada waktu itu.

Negara terlambat atau memelihara konflik?

Banyak pihak punya penilaian masing-masing. Saya mengatakan terlambat. Mungkin, yang bisa saya sampaikan, ketika itu Poso adalah daerah yang terpencil, tidak ada ongkos politik yang dibayar oleh politik nasional jika mereka menghentikan kekerasan di Poso. Selama sekian tahun konflik Poso terlihat pola, jika terjadi peristiwa yang cukup berat untuk menimbulkan perasaan krisis, Poso akan mendapatkan perhatian untuk sementara. Namun, setelah perasaan krisis itu lewat, perhatian negara atau pemerintah pusat cenderung mereda. Hanya pada saat tahap akhir konflik, sekitar 2007, mulai ada keterlibatan personal perwira polisi senior.

Apakah dengan keterlibatan mereka bisa dikatakan siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan yang masih terjadi ketika itu dan rentetan peristiwanya terpotong? Kemudian, apakah ada yang ambil untung dari peristiwa itu, misalnya, apakah penanganannya ada yang berat sebelah? Saya kira selalu ada yang mengambil keuntungan. Saya belum melihat bukti bahwa dinamika itu yang dapat menjelaskan penanganan negara atas konflik Poso.

Apakah dalam penelitian Anda itu juga menemukan bahwa Poso kaya dengan sumber daya alam? Apa saja sumber daya alam di sana?

Memang ada sumber daya alam di Poso, tapi saya tidak melihat, misalnya, konflik Poso bisa dijelaskan semata-mata karena perebutan sumber daya alam. Justru konflik-konflik Indonesia timur cenderung terjadi di wilayah ketika negara menguasai sumber ekonomi penting, terutama di perkotaan.

Kenyataannya, negara menambil untung dari konflik Poso. Misalnya menguasai lahan. Rakyat menjadi tersisih. Bagaimana menjelaskan ini dengan konflik yang terjadi?

Saya tidak akan menjawab pertanyaan itu. Karena, itu di luar dari apa yang ada di buku.

Hubungan terorisme yang saat ini ramai dengan konflik Poso di masa lalu bagaimana?

Memang terlihat setelah konflik ketiga di Poso pada 2000, ketika banyak masyarakat muslim dimobilisasi, jaringan jihadis masuk ke Poso. Kemudian, kota ini menjadi ajang operasi yang penting. Tidak hanya di Poso, juga di Maluku, banyak anggota jaringan yang berbeda berkenalan di wilayah konflik ini. Kemudian, hubungan yang dibangun di sana menjadi sumber daya bagi mereka untuk kegiatan mereka di wilayah lain Indonesia. Konflik Poso juga menjadi berkepanjangan dengan masuknya jaringan-jaringan dari luar.

Jadi, bisa dikatakan Poso menjadi pintu masuknya jaringan terorisme di Indonesia?

Saya tidak mengatakan demikian.

Anda mengatakan konflik Poso sudah berakhir. Bagimana kita bisa memahami sebuah konflik itu benar-benar berakhir?

Kalau saya mengatakan konflik Poso berakhir sesuai dengan buku saya ketika ada penggerebekan pada 2007. Setelah lima tahun, setelah peristiwa penggerebekan itu, hanya ada satu serangan mematikan yang berhubungan langsung dengan konflik Poso. Karena ada jeda yang lama itu, saya mengatakan konflik berakhir. Meskipun dalam perkembangannya, kita melihat ada peristiwa-peristiwa sporadis yang terjadi, apalagi setelah jaringan-jaringan jihadis ternyata bisa masuk kembali, terutama setelah terbongkarnya kamp pelatihan di Aceh.

Apakah Anda akan melanjutkan penelitian soal Poso?

Selalu ada niat untuk melanjutkan, tapi banyak topik juga yang perlu diteliti. Saya berharap buku ini menjadi sumbangan pemikiran saya untuk Indonesia. []