Koran Sulindo – Perjalanan sejarah pers di Indonesia tidak lepas dari sosok-sosok yang berani menyuarakan kebenaran di tengah tekanan kolonialisme. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam membangun dunia jurnalistik di tanah Sumatra adalah Datoek Soetan Maharadja.
Namanya tidak hanya dikenal sebagai jurnalis, tetapi juga sebagai perintis yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan pendidikan, budaya, dan hak-hak rakyat pribumi melalui media.
Berangkat dari minat yang besar terhadap isu-isu sosial, Datoek Soetan Maharadja telah berkontribusi besar bagi kemajuan pers, menjadikannya simbol perjuangan melalui kata dan media.
Datoek Soetan Maharadja adalah tokoh penting dalam sejarah pers nasional Indonesia, terutama di Pulau Sumatra, bahkan oleh beberapa penulis asing, ia disebut sebagai “bapak wartawan Melayu” karena memelopori penerbitan surat kabar berbahasa Melayu.
Sosok yang lahir pada 27 November 1862 di Nagari Sulit Air, Solok, Sumatra Barat, ini memiliki kontribusi besar bagi kemajuan jurnalistik, sosial, dan budaya di wilayah Pantai Barat Sumatra.
Nama asli Datoek Soetan Maharadja adalah Mahyudin, yang kemudian berganti nama seiring dengan gelar kebangsawanan yang ia peroleh dari ayahnya, Datoek Bendaharo.
Sebagai keturunan bangsawan, ia memiliki akses pendidikan yang cukup baik, mengenyam pendidikan dasar hingga sekolah tinggi di Padang. Sejak 1876, ia mulai magang di kantor jaksa di Padang dan dipromosikan pada 1882 sebagai ajudan jaksa di Indrapura.
Setelah bertugas di beberapa wilayah, akhirnya ia diangkat menjadi jaksa di Pariaman pada 1888.
Karier Pers Datoek Soetan Maharadja
Dilansir dari laman kemdikbud, pada tahun 1892, Datoek Soetan Maharadja memilih berhenti sebagai jaksa setelah tidak berhasil naik pangkat. Ia kembali ke Padang dan menekuni dunia pers dengan menjadi pemimpin surat kabar Pelita Kecil, yang merupakan kerjasama antara penduduk asli Minangkabau dan masyarakat Eropa.
Pada 1895, surat kabar ini berganti nama menjadi Warta Berita di bawah kepemimpinannya. Di sini, ia mulai fokus menulis tentang isu sosial dan lingkungan di Sumatra Barat, serta mulai berani mengkritik kebijakan pemerintah Kolonial Belanda.
Memasuki tahun 1900-an, Datoek Soetan Maharadja tak hanya aktif di bidang sosial dan budaya tetapi juga dalam politik. Ia pernah menulis artikel yang mengkritik kebijakan kolonial dalam artikel berjudul “Kesengsaraan dan Perlindungan Rakyat Biasa” serta “Pikiran Orang Aceh”.
Akibat tulisan-tulisan ini, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman satu bulan penjara serta denda 100 gulden. Datoek Soetan Maharadja lantas mengajukan banding ke Mahkamah Agung di Batavia, yang menunjukkan tekadnya untuk memperjuangkan keadilan.
Perjuangan di Bidang Pendidikan
Melalui tulisan-tulisannya, Datoek Soetan Maharadja juga mengangkat isu pendidikan, terutama terkait dengan akses pendidikan bagi anak-anak pribumi. Ia menyoroti minimnya sekolah yang disediakan bagi rakyat Indonesia, dan mengkritik jumlah sekolah dasar maupun pendidikan lanjutan yang dianggap tidak sebanding dengan jumlah penduduk.
Dalam artikel yang ia tulis di Retnodhoemilah edisi 13 Februari 1909, ia mendesak pemerintah kolonial untuk membangun lebih banyak sekolah sebagai bukti ketulusan mereka terhadap rakyat Indonesia.
Pelestarian Adat dan Hak-Hak Perempuan
Selain berperan sebagai jurnalis, Datoek Soetan Maharadja juga aktif dalam memperjuangkan adat dan budaya Minangkabau melalui surat kabar Oetoesan Melajoe. Melalui surat kabar ini, ia berusaha mengingatkan pentingnya melestarikan adat Minangkabau yang sejalan dengan ajaran Islam. Pada 1906, ia memprakarsai gerakan untuk memurnikan adat Minangkabau.
Datoek Soetan Maharadja juga berperan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia sangat mendukung Rohana Kudus, seorang tokoh pendidikan perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.
Karena perjuangan Rohana, Datoek Soetan Maharadja mengangkatnya sebagai dewan redaksi di surat kabar Soenting Melajoe, yang dikenal sebagai surat kabar perempuan reformis yang mendukung kemajuan dan hak-hak perempuan.
Warisan dan Pengaruh
Surat kabar Oetoesan Melajoe, yang terbit di Padang dua kali seminggu, menjadi corong bagi upaya mempertahankan adat dan budaya Minangkabau. Walaupun Datoek Soetan Maharadja sering berselisih pandangan dengan “kaum muda” yang memperjuangkan pembaruan sosial dan budaya, ia tetap teguh mempertahankan nilai-nilai adat Minangkabau.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1921 di Padang, Datoek Soetan Maharadja tetap setia memperjuangkan adat, pendidikan, dan hak-hak rakyat Indonesia melalui dunia jurnalistik.
Kontribusinya bagi pers nasional dan budaya Indonesia menjadikan Datoek Soetan Maharadja sebagai salah satu pionir dan tokoh penting dalam sejarah pers dan perjuangan kemerdekaan bangsa. [UN]