Koran Sulindo – Sarekat Islam yang semula menyatukan semua elemen pergerakan tanpa memandang batas ideologis, langsung terpecah begitu ide disiplin partai diperkenalkan di pertemuan Centraal Sarekat Islam (CSI), 30 Desember 1920 di Yogyakarta.
Menampik keberatan Tjokroaminoto, pertemuan bestuur yang diinisiasi Soerjopranoto dan Agus Salim hanya dihadiri oleh sembilan orang anggota komite sentral CSI. Tjokro tidak bisa hadir karena harus ke Ciamis menghadiri pengadilan Afdeling B sebagai saksi. Semaoen juga tak hadir dan mengirim Darsono sebagai wakilnya. Belakangan, kehadiran Darsono ditolak karena sebagai propagandis CSI, ia bukan anggota penuh. Praktis, Soerjopranoto dan Salim sukses melancarkan kup pada Tjokro dalam pertemuan itu.
Tanpa faksi-faksi yang menentang, pertemuan komite sentral itu mudah saja memutuskan untuk melenyapkan seluruh kekuasaan Tjokro. Hampir semua anak buah Tjokro juga didepak dari komite sentra. Sedangkan sebagai ‘ketua’ Tjokro cuma diserahi “tanggung jawab dan propaganda umum CSI.”
Segera saja setelah pertemuan itu, markas besar CSI diboyong dari Surabaya ke Yogyakarta dan dagelijk bestuur baru dibentuk dengan Soerjopranoto sebagai wakil ketua, Salim sebagai sekretaris dan Fachrodin sebagai bendahara. Selain memutuskan pemindahan markas CSI, pertemuan itu juga diputuskan untuk menggelar kongres CSI pada tanggal 16 Oktober di Surabaya. Agenda utama kongres adalah mengintrodusir gagasan disiplin partai di SI.
Keputusan segera menggelar kongres SI jelas putusan buru-buru karena hanya menyisakan waktu dua minggu setelah pertemuan itu. Namun ketergesaan itu bisa dimengerti mengingat pertemuan agenda pertemuan Soerjopranoto dan Agus Saling dengan gubernur jenderal sudah dijadwalkan jauh-jauh hari pada 20 Oktober. Tentu saja, disiplin partai di tubuh SI bakal menjadi hadiah untuk Van Limburg Stirum.
Disiplin partai merupakan larangan bagi anggota SI memiliki keanggotaan rangkap di organisasi lain. Anggota SI diharuskan memilih antara SI atau organisasi lain dengan agar SI bersih dari unsur-unsur komunis.
Sayangnya, meski terlihat tanpa cela di atas kertas, rencana Soerjopranoto dan Agus Salim tak semulus perkiraan. Tak lama setelah pertemuan itu Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak menulis, Darsono melakukan serangan balik dengan tulisan Kepemimpinan CSI dalam Pengamatan yang diterbitkan di Sinar Hindia tanggal 6, 7 dan 9 Oktober.
Dalam artikel itu Darsono menyerang Tjokro dan Brotosoehardjo, bekas dagelijk bestuur CSI yang didepak dalam pertemuan komite sentral SI. Serangan Darsono itu secara langsung tak ada hubungannya dengan ide disiplin partai, namun ia menyebut ‘pemurnian’ SI harusnya ditujukan untuk ‘kerusakan’ di tubuh SI.
Darsono menyerang Brotosoehardjo karena sudah menggelapkan dan mempertaruhkan uang CSI, sedangkan Tjokro diserang karena pinjaman sebesar 2.000 gulden bagi CSI dengan jaminan mobil CSI yang dibeli Tjokro sebagai bendahara untuk kepentingan Tjokro ketika menjadi ketua. Ia juga diserang atas pengeluaran yang luar biasa termasuk untuk pembelian mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istri keduanya. Intinya Darsono membongkar skandal yang coba ditutup rapat-rapat oleh Tjokro.
Lebih lanjut dalam artikel itu Darsono menunjukkan bagaimana uang bekerja mempengaruhi para pemimpin pergerakan. Betapa godaan uang dan ketamakan telah mengubah mereka yang semula adalah satria menjadi ‘racun’ yang menggerogoti SI. Jadi yang dimaksud ‘pemurnian’ oleh Darsono adalah memurnikan SI dari ‘racun’ yang tersembunyi dalam bentuk uang. Gagasan Darsono itu mendasarkan diri pada bagaimana seharusnya seorang pemimpin pergerakan seharusnya berlaku dan bertingkah.
“Mengapa CSI tidak punya uang sedang Tjokro kelimpahan? Kromo harus dipimpin seorang yang jujur dan unggul dengan keyakinan yang kuat, cita-cita luhur, dan kelakuan tanpa cela!,” tulis Darsono. “Pergerakan bumiputra sekarang mengalami saat-saat sulit untuk melakukan pembersihan diri guna memperbaiki kesalahan-kesalahan kita.”
Segera serangan Darsono itu memorak-porandakan Tjokro dan kepemimpinan SI yang baru. Gambaran Tjokro sebagai seorang satria jelas langsung runtuh dengan noda tak terhapuskan. Dalam khazanah pergerakan saat itu, kata-kata ‘meng-Tjokro’ atau berperilaku seperti Tjokro serta merta berarti ‘menggelapkan’.
Serangan itu juga membuat kacau agenda yang sudah disusun CSI untuk kongres tanggal 16 Oktober mendatang. Agenda segera diubah dari isu pemberlakuan disiplin partai menjadi manajemen Tojkro atas uang CSI.
Ketika Darsono mengakhiri artikelnya pada tanggal 9 Oktober dengan delegasi-delegasi SI lokal sudah hadir di Surabaya, Soerjopranoto, Salim, Fachrodin, dan Hasan Djajadiningrat berunding di Yogyakarta sekaligus memerintahkan Brorosoehardjo untuk menunda kongres CSI.
Dengan penundaan kongres, maka rencana Soerjopranoto dan Agus Salim mengintrodusir isu disiplin partai sekaligus mempersembahkan hadiah bagi gubernur jenderal itu gagal total. Pada tanggal 18 Oktober mereka berangkat ke Bogor dengan tangan kosong dan sebaliknya pulang dengan tangan hampa tanpa memperoleh sesuatu yang berarti dari Van Limburg Stirum.
Harus diakui serangan Darsono merupakan taktik cemerlang untuk mencegah hoofdbestuur CSI mengadopsi gagasan disiplin partai di SI.
Namun di sisi lain, serangan itu segera memperlebar jurang memperparah perpecahan di tubuh SI. Meski serangan itu dilakukan Darsono tanpa berkonsultasi dengan Semaoen, Piet Bergsma dan pemimpin SI di Semarang, serangan itu dianggap sebagai serangan komunis terhadap pemimpin SI. Pertikaian itu membawa ke tingkat yang lebih sengit antara Semaoen, Bersgma, SI Semarang, Vereeninging voor Spoor en Tramwegpersoneel atau VSTP, sayap kiri Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh atau PPKB dengan Soerjopranoto, Salim, dan Fachrodin yang menguasai kepemimpinan CSI, SI Yogyakarta, Personeel Fabriek Bond atau PFB, Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputra atau PPPB, dan faksi-faksi non komunis di PPKB.
Menanggapi serangan Darsono itu, Soerjopranoto menuduh PKI ‘mencoba membubarkan CSI’ dan segera memerintahkan untuk mengakhiri hubungan PFB dengan faksi komunis di PPKB. PPKB segera mengikuti jejak PFB setelah itu.
Tak cuma Soerjopranoto, Fachrodin juga segera menyerang komunisme sebagai gagasan yang bertentangan dengan Islam dengan mengaitkan serangan Darsono kepada Tjokro dengan tesis Lenin tentang gerakan Pan-Islamisme dan Pan-Asia yang terbit di Het Wrije Woord,organ PKI berbahasa Belanda pada tanggal 20 November.
Dalam artikelnya yang bertajuk Awas, Fachrodin menginterprestasikan pan-Islamisme sebagai ‘pergerakan persatuan Islam’ dan menyerang komunis sebagai musuh sajeroning cangklakan dan weri sajeroning wangon yang bermakna tunggal sebagai musuh dalam selimut.
Lebih jauh Fachrodin menuding Darsono berniat “merobohkan agama kita Islam dan bermaksud memecah SI dengan sengaja menaburi mata segenap lid SI supaya jangan sampai percaya lagi pada Tjokro.”
Diserang secara membabi-buta, Semaoen, Bergsma segera memukul balik. Mereka membalas kepada Soerjopranoto dengan mengatakan bahwa pemimpin pergerakan seharusnya menjadi ‘budak’ dan bukan ‘raja’nya rakyat sembari mengingatkan julukan si ‘raja mogok’ yang disandang Soerjopranoto. Di saat yang sama Arjo Troenodjojo mencap Fachrodin sebagai ‘tukang fitnah’ dan ‘munafik’.
Seluruh pertikaian itu sebenarnya sedikit kaitannya dengan perbedaan ideologis antara kepemimpinan PKI dan CSI. Dalam perselisihan itu kedua belah pihak saling lempar kata-kata celaan seperti racun, jahat, penjual bangsa, pembantu kapitalis, pengecut, tukang fitnah, munafik, penyakit, tukang cuci tangan, dan banyak lagi. Seperti yang disesalkan Semaoen, “pemimpin-pemimpin SI, besar dan kecil, berdarah panas dan tipis telinga.”
Dengan makin banyak celaan dan cacian dilemparkan, makin marah dan panaslah para pemimpin-pemimpin SI itu, banyak anggota-anggota biasa justru menjadi terasing dengan SI. Banyak dari mereka menyadari, serangan yang dimulai oleh Darsono dan berlarut-larut itu menggerogoti keperkasaan SI. Kedua belah pihak ingin segera mengakhiri perselisihan itu.
Tapi satu hal, meski banyak pihak mencela cara Darsono menyerang Tjokro, terutama karena waktunya yang tidak tepat. Tjokro sedang dalam kesulitan karena urusan Afdeling B. Tapi mereka juga menuntut penyelidikan penuh atas manajemen Tjokro atas uang CSI. Yang jika dibiarkan, SI tak bakalan keluar dari kecemaran namanya.
Agar segala masalah segera tuntas dan tak berlarut-larut, CSI segera menggelar kongres pada 17 Januari 1921 di Yogyakarta, khusus untuk menyelesaikan masalah itu. Dari faksi Yogyakarta hadir Soerjopranoto, Salim, Facrodin, Marco, Reksodipoetro, Tedjomartojo dan Soemodirhardjo. Sedangkan dari faksi Semarang hadir Semaoen, Darsono, dan Bergsma.[TGU]