Kampanye Golkar di Jakarta Pusat menjelang Pemilu 1997, pemilu terakhir Orde Baru
Kampanye Golkar di Jakarta Pusat menjelang Pemilu 1997, pemilu terakhir Orde Baru (Sumber: AP/Muchtar Zakaria melalui tirto.id)

Mulai Pemilihan Umum (Pemilu) 1971 nama Golongan Karya (Golkar) mencuat di kancah politik. Begitu pun pada Pemilu-pemilu berikutnya: 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, Golkar selalu memperoleh suara mayoritas dalam berbagai Pemilu. Ketika itu pemilihan presiden masih dilakukan oleh DPR/MPR. Soeharto selalu terpilih dengan aklamasi. Bahkan sebelum Pemilu pun sudah diketahui siapa yang bakal menjadi presiden.

Kalau Pemilu 1971 diikuti banyak partai, Pemilu 1977 diikuti dua partai politik dan satu golongan. Dua partai politik itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Satu peserta lagi Golkar. 

PPP dideklarasikan pada 5 Januari 1973, merupakan gabungan dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). PDI didirikan pada 10 Januari 1973, merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.  

Sekber Golkar

Golkar berawal dari pendirian Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada 20 Oktober 1964 di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Sukarno. Penggeraknya Angkatan Darat di bawah Soeharto dan Suhardiman. Tujuannya untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Langkah pertama adalah menghimpun berbagai organisasi pemuda, wanita, sarjana, butuh, tani, dan nelayan. Semula anggota Sekber Golkar 61 organisasi, setelah berkembang mencapai 291 organisasi. Ke-291 organisasi itu dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam), Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), dan Gerakan Pembangunan.

Jauh sebelum itu, sebenarnya sudah ada gagasan membentuk Golkar. Tiga tokoh yang berperan adalah Sukarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiganya mengajukan gagasan integralistik-kolektivitas sejak 1940. Gagasan mereka terwujud dengan adanya Golongan Fungsional. Nama itu kemudian diubah menjadi Golongan Karya pada 1959. 

Pada masa itu pembentukan Golkar diorientasikan sebagai perwakilan dari golongan-golongan di tengah masyarakat. Perwakilan ini diharapkan bisa merepresentasikan keterwakilan kolektif sebagai bentuk ‘demokrasi’ yang khas Indonesia. Ujud ‘demokrasi’ inilah yang kerap disuarakan Sukarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara. 

Pemilu 1971

Pada 4 Februari 1970 KINO mengeluarkan keputusan bersama untuk ikut Pemilu melalui satu nama dan satu tanda gambar, yaitu Golkar dan pohon beringin dengan dasar kuning. Logo, nama, dan warna tetap dipertahankan sampai sekarang. 

Banyak parpol memandang remeh kehadiran Golkar sebagai kontestan pemilu. Mereka meragukan komunikasi politik Golkar. Beberapa partai sangat yakin keluar sebagai pemenang. Hasilnya ternyata di luar dugaan. Golkar sukses besar dengan memperoleh 62,79% dari total suara, cukup merata dari seluruh provinsi.

Sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971 Sekber Golkar berubah menjadi Golkar. Golkar menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya. 

Selama bertahun-tahun Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Maka jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar. 

Dulu para Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Mereka harus menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa. Para PNS pun bebas memilih aspirasi mereka.

Partai Golkar

Golkar tidak resmi menjadi partai politik sampai 1999. Setelah pemerintahan Soeharto habis dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Ketika itu memang diperlukan sebuah partai untuk kontes pemilihan. Di masa pasca reformasi ini, pencapaian Partai Golkar tidak dominan sebagaimana masa 1971-1999. Ketika itu persentase perolehan kursi di DPR lebih dari 60%. Kini hanya 22,46% (1999), 21,58% (2004), 14,45% (2009), 14,75% (2014), dan 12,31% (2019).

Pada 1971-1999 Golkar terbilang dominan. Selalu memperoleh suara lebih dari 60% dari keseluruhan suara. Meskipun pasca reformasi 1998, Golkar kurang disenangi, namun kiprah Partai Golkar tetap ada. Perolehan suara Partai Golkar termasuk lumayan tinggi. 

Seperti halnya beberapa partai lain, Partai Golkar pun pernah mengalami konflik internal. Pada akhir 2014 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Golkar, yang dipimpin Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan Agung Laksono hasil Munas Jakarta. Masalah dualisme ini beberapa kali sampai ke pengadilan. 

Dualisme kepemimpinan mulai berakhir sejak tercapainya kesepakatan untuk rekonsiliasi yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal 2016. Kedua kubu sepakat menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pada pertengahan 2016. Dualisme kepemimpinan ini resmi berakhir pada 17 Mei 2016 ketika Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dalam penyelenggaraan Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali.

Tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi. Begitulah Partai Golkar di masa pasca reformasi. Pernah menjadi kelompok oposisi, namun kemudian bergabung dengan pemerintahan. Saat ini ada beberapa kader Partai Golkar menjadi menteri. Disayangkan juga masih ada beberapa petinggi Partai Golkar terkena kasus hukum. [DS]