GM lahir di Batang, Jawa Tengah, sebuah kota yang mungkin tak masuk peta kesusastraan dunia. Namun, dari sana ia melesat menjadi salah satu pemikir paling berpengaruh di Indonesia. Selain melalui tulisan yang renyah dan sarat renungan, ia menuangkan pemikirannya lewat puisi dan lukisan.

Seperti Don Quixote yang terobsesi dengan roman ksatria, GM menghidupi narasi kebebasan dan kebenaran sejak muda. Ia mendirikan Tempo, menyaksikannya dilarang oleh rezim, dibredel agar semangat perjuangannya mati, lalu membangunnya kembali. Sebuah siklus Quixotic yang terus berulang.

Bukan berarti perjalanannya tanpa kritik. Ada yang menuduhnya terlalu elitis, terlalu sastrawi dalam politik, dan terlalu politis dalam sastra. Namun, bukankah itu juga yang dituduhkan pada Don Quixote? Bahwa ia terlalu idealis, terlalu tenggelam dalam dunia kata-kata, hingga lupa bahwa kenyataan sering kali lebih absurd daripada fiksi?

Yang menarik dari Den Kisot bukan hanya pementasan wayang boneka yang menawan, tetapi bagaimana GM berhasil menjembatani dua dunia: Spanyol dan Nusantara, klasik dan modern, idealisme dan pragmatisme. Sebagai penerjemah dan kritikus, GM telah memperkenalkan sastra Spanyol kepada pembaca Indonesia.

Sisi humanis GM dan kemampuannya untuk terhubung dengan perjuangan sehari-hari sejalan dengan karya-karya pemikir sastra dan filsafat Spanyol: dari refleksi eksistensial Miguel de Unamuno hingga kritik sosial Federico García Lorca.

Ia membawa semangat Don Quixote ke dalam konteks Indonesia —negara yang, seperti Spanyol di era Cervantes, masih terus berjuang menghadapi paradoks antara harapan dan realitas. Meski, kadang harapan GM terbentur pada kenyataan yang kemudian disesalinya.

Karya-karyanya adalah perwujudan semangat Don Quixote: pengejaran cita-cita tanpa henti, perlawanan terhadap penindasan, dan keyakinan akan kekuatan kata-kata yang transformatif. Tulisannya mengingatkan kita bahwa sastra dan jurnalisme bukan sekadar instrumen pencatatan, tetapi kekuatan yang mampu membentuk masyarakat dan menginspirasi perubahan.

Maka, penghargaan dari Raja Spanyol untuk GM ini bukan sekadar medali yang bisa digantung di dinding. Ini adalah pengakuan bahwa idealisme yang tampak “gila” pun masih dihargai di dunia yang semakin sinis.

Jika Don Quixote hidup di zaman ini dan menerima penghargaan dari Raja Spanyol, ia mungkin akan bersyukur… lalu segera menantang sang raja dalam duel gagasan.

Demikian pula GM. Penghargaan ini mungkin membanggakan, tetapi ia tak akan berhenti di sini. Seorang Quixotic sejati tidak pernah puas hanya dengan seremoni. Ia akan terus menulis, mengkritik, dan —tentu saja— melawan raksasa-raksasa baru yang bermunculan.

Sebab, dalam dunia yang semakin pragmatis, kita masih butuh para Don Quixote yang percaya bahwa kata-kata bisa mengubah dunia. Dan Goenawan Mohamad adalah salah satunya.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis