Suasana reuni kecil itu penuh gelak tawa. Di sebuah kafe sederhana, Izedrik Emir Moeis kembali berkumpul dengan teman-teman seangkatannya dari Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Mesin dan Industri angkatan 1969. Mereka sudah tidak muda lagi. Usia rata-rata 75 tahun tetapi semangat persahabatan seakan tak pernah menua.
Obrolan mereka awalnya tak jauh dari perkembangan industri di Indonesia, seperti membahas mengenai mobil listrik yang seharusnya dengan sumberdaya alam yang melimpah dan mampu menghasilkan komponen yang sangat diperlukan oleh mobil listrik, yakni baterai. Namun hingga saat ini belum ada produksi mobil listrik buatan dalam negeri. Dari obrolan tersebut merembet ke obrolan mengenai ideologi dan perjuangan bangsa.
Dari 70 Mahasiswa yang dulu berjuang menempuh pendidikan yang sama, 19 diantaranya mendapat gelar PhD dan 19 orang mengemban gelar Profesor.
Sebagian besar kawan Emir adalah orang-orang hebat di bidangnya. Tidak hanya menempuh pendidikan hingga bergelar PhD, tetapi ada pula yang memimpin proyek besar, termasuk salah satunya menjadi ketua tim dalam pembuatan pesawat terbang nasional pertama, N250.
Mereka rata-rata menikmati masa tuanya dengan layak: bisa jalan-jalan, bercanda, tertawa, dan makan enak meski tak lagi sebanyak dulu. Yang paling penting, mereka tidak bergantung pada anak atau cucu.

Namun di tengah kisah sukses para insinyur teknik itu, Emir justru hadir dengan cerita berbeda. Alih-alih berbicara soal mesin atau riset, ia memperkenalkan buah tangannya: sebuah buku sejarah berjudul “Marhaenisme, Visi Sosialisme Indonesia”.
“Awalnya teman-teman saya terkejut. Mereka tidak menyangka, lulusan teknik mesin tiba-tiba menulis tentang sejarah dan ideologi,” ujar Emir sembari tersenyum mengenang reaksi sahabat-sahabat lamanya.
Bagi banyak orang, jalur yang ditempuh Emir memang tak lazim. Dunia teknik yang penuh logika dan hitung-hitungan tampak berseberangan dengan sejarah yang kaya tafsir dan narasi. Tetapi bagi Emir, keduanya bisa berpadu. “Saya melihat Marhaenisme bukan hanya sejarah, tetapi juga visi sosial yang relevan untuk membangun bangsa. Dan itu bisa saya rumuskan dengan pendekatan analitis, sebagaimana saya terbiasa di teknik,” tuturnya.
Teman-teman Emir, yang dulu bersama-sama berkeringat di bengkel mesin, kini menyaksikan transformasi sahabatnya. “Bayangkan, dulu kita sama-sama kuliah di mesin. Sekarang Emir malah menulis sejarah. Itu sungguh tidak saya sangka,” celetuk salah seorang rekan.

Mereka pun larut dalam nostalgia. Ingatan kembali pada tahun 1969, ketika untuk pertama kali melangkahkan kaki ke kampus Ganesha. Tepat di depan gerbang masuk ITB, terpampang tulisan besar: “Selamat datang putra dan putri terbaik Indonesia.” Tulisan itu membekas hingga kini, membangun kebanggaan mendalam sebagai mahasiswa ITB.
“Semoga sampai hari ini kita tetap bisa membanggakan ITB, meski sekarang sudah jadi kakek-kakek jurusan mesin tahun 1969,” ujar Emir, yang disambut tawa hangat kawan-kawannya.
Buku “Marhaenisme, Visi Sosialisme Indonesia” bagi Emir adalah wujud panggilan hati. Ia ingin gagasan Marhaenisme yang berakar dari pemikiran Bung Karno tetap relevan untuk generasi muda. Bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan mencari arah untuk masa depan.
Reuni itu pun ditutup dengan canda dan cerita. Buku Emir berpindah tangan, ditandatangani langsung oleh penulisnya. Di antara para profesor, insinyur, dan PhD, Emir menorehkan jalannya sendiri: dari bengkel mesin ke lembar sejarah.
“Kadang hidup memberi kita kejutan,” katanya ringan. “Dan kejutan saya adalah menulis sejarah.” [KS09]




