Presiden Soekarno pada KTT Pertama Gerakan Non-Blok di Beograd, Yugoslavia, 2 September 1961. Foto: Keystone-France (Gamma-Keystone via Getty Images)

Koran Sulindo – Awal tahun 1960-an. Situasi Perang Dingin semakin mencekam.  Di dalam negeri Indonesia , tensi politik luar negeri juga meningkat karena Belanda tidak kunjung mengembalikan Irian Barat. Belanda mendapatkan dukungan dari sejumlah negara yang bergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), seperti Belgia dan bahkan Australia.

Di Asia dan Afrika, sejumlah negara baru yang disebut Bung Karno sebagai New Emerging Forces (Nefos) bergolak. Ivana Ancic dalam artikelnya bertajuk “The 1961 Non Alligned Confrence”, dimuat di jurnal Global South South Studies Universitas Virginia, 17 Agustus 2017, mengungkapkan, sejumlah negara baru di Afrika umumnya terbelah menjadi dua faksi yang bertentangan. Kelompok pertama: kelompok konservatif, anti-radikal,  lebih kompromi dengan negara penjajahnya.  Kelompok kedua: kelompok nasionalis radikal.

Pertentangan kedua faksi itu tampak mencolok di Kongo.Puncaknya adalah terbunuhnya tokoh yang berjasa untuk meraih kemerdekaan republik di wilayah Afrika Tengah itu, yakni terbunuhnya Patrice Lumumba.

Koran Pikiran Rakjat dalam pemberitaannya pada edisi  14 dan 18 Februari 1961 menulis, Lumumba tewas oleh kapten polisi dari Belgia bernama Tshombe. Harian itu juga mengutip pernyataan pemerintah Kongo:  Lumumba dibunuh oleh penduduk desa di Katanga. Anehnya, pemerintah Kongo  menyatakan tidak akan melakukan pengusutan atau memperkarakan kasus pembunuhan tersebut.

Sejumlah referensi lain menyebutkan, kematian Lumumba justru dilakukan oleh regu tembak Pasukan Kongo sendiri. Para analis politik menuding kematian Lumumba didalangi oleh Belgia, bahkan Amerika Serikat, karena Lumumba diduga meminta bantuan Uni Soviet.  Sejumlah pemilik modal berkebangsaan Belgia punya kepentingan atas sumber alam di negeri itu, antara lain pertambangan. Perang Saudara pun kemudian pecah di Kongo.

Di Indonesia, terbunuhnya Lumumba mendapatkan reaksi keras. Bukan saja dari tokoh politik, tetapi juga dari arus bawah, yang nyaris melakukan tindakan anarkis, menyerbu perkebunan milik pengusaha Belgia, misalnya di Jawa Barat. Tindakan cepat dari Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie akhirnya dapat mencegah aksi kekerasan itu.

Pada 5 Juli 1961, Pemerintah Tunisia—yang baru mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada 1956—mengklaim pangkalan laut Prancis di Bizerte, peninggalan kolonial yang masih tersisa, sebagai milik mereka. Sebuah blokade dilakukan pada 17 Juli dan mengakibatkan pertempuran pada  19 Juli hingga 22 Juli 1961.

Dalam pertempuran itu, sebanyak 630 tentara dan milisi Tunisa tewas dan 1.555 luka-luka. Di pihak Prancis, 24 orang tewas dan sekitar 100 orang luka-luka.

Pertengahan Agustus 1961, pemerintahan komunis di Jerman Timur membangun tembok tinggi untuk pertama kalinya, sebagai upaya mencegah semakin banyaknya warga Berlin Timur melarikan diri ke barat, yang kemudian dikenal sebagai Tembok Berlin.

Awalnya, semua pintu masuk ditutup dengan pagar kawat berduri dan didirikan pos penjagaan yang ketat. Hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet pun menjadi memburuk. Tembok Berlin menjadi simbol utama Perang Dingin.