Daoed Joesoef dan Normalisasi Kehidupan Kampus

Daoed Joesoef, 1926 - 2018

Daoed Joesoef adalah seorang intelektual yang tak kenal lelah selalu menekankan pentingnya penggunaan nalar ilmiah dalam menganalisa entah gejala sosial atau alam. Dia boleh disebut sebagai manusia Pencerahan dalam pengertian yang dikenal di dalam sejarah modern Eropa: manusia yang memandang akal-budi sebagai fondasi penting dalam proses manusia menuju kepada masyarakat yang beradab.

Kata “nalar” adalah kunci penting untuk memahami gagasan dan keprihatinan Daoed Joesoef sebagai pemikir dan ilmuwan. Nalar di sini lebih tepat dipahami sebagai proses daripada suatu entitas yang statis. Jika Daoed Joesoef menekankan pentingnya menciptakan masyarakat ilmu, maka yang ia maksudkan bukanlah ilmu sebagai data-data ilmiah yang mati, deretan informasi yang sekadar dihafalkan. Masyarakat ilmu ia maksudkan sebagai masyarakat di mana proses bernalar secara ilmiah berlangsung dan dirawat.

Andi Hakim Nasution, seorang ilmuwan terpandang dari IPB (Institut Pertanian Bogor), menggambarkan dengan baik pengertian nalar sebagaimana dipahami oleh Daoed Joesoef. Seorang anak yang mengalami proses pendewasaan intelektual, biasanya melalui dua proses: pertama, menyerap dan mengulangi informasi yang ia terima tanpa melahirkan jenis informasi baru. Ini disebut modus reproduksi. Proses yang kedua adalah menggunakan informasi atau pengetahuan yang ia serap sebelumnya untuk memahami gejala baru, dan kemudian melahirkan informasi atau pengetahuan yang baru pula. Ini disebut modus generasi atau pembangkitan.

Apa yang disebut sebagai nalar sebagaimana dipahami oleh Daoed Joesoef adalah modus pengetahuan jenis kedua, modus generasi: yakni kemampuan melahirkan pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Nalar yang dimaksudkan oleh Daoed Joesoef adalah nalar generatif, bukan nalar reproduktif. Masyarakat ilmiah adalah tempat di mana nalar generatif ini dirawat dan dikembangkan.

Daoed Joesoef memandang bahwa kemajuan bangsa Indonesia bisa diraih, antara lain, manakala nalar generatif ini menjadi bagian dari budaya masyarakat ilmiah di Indonesia. Kata “budaya” di sini memang harus mendapatkan tekanan khusus, karena kemajuan masyarakat Indonesia tidak bisa digerakkan hanya dengan, katakan saja, mendatangkan ilmu dari luar, tanpa menjadikannya bagian dari budaya mereka. Dia pernah membuat metafor: ilmu dan buku harus menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang dihayati dengan mendalam, sama mendalam dan mengakarnya dengan budaya ketoprak atau wayang di kalangan masyarakat Jawa.

Saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru dulu (1978-1983), Daoed Joesoef mendapatkan peluang besar untuk melaksanakan gagasan-gagasannya yang diilhami, antara lain, oleh filsafat pencerahan Eropa itu. Dia ingin mengembalikan universitas di Indonesia kepada khittah dasarnya, yaitu sebagai komunitas ilmiah, masyarakat di mana nalar generatif dikembangkan.

Dia kemudian mengambil langkah-langkah yang saat itu dianggap kontroversial. Antara lain, ia mengenalkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus yang lebih dikenal sebagai NKK/BKK. Kebijakan ini dianggap kontroversial karena dipandang sebagai usaha untuk menetralkan kehidupan kampus dari unsur politik, depolitisasi kehidupan akademik. Di mata pengkritiknya, depolitisasi di sini berarti membersihkan kampus dari anasir-anasir disruptif yang menimbulkan ancaman terhadap status quo kekuasaan, the power that be, saat itu.

Kalau kita letakkan dalam kerangka filsafat pendidikan Daoed Joesoef secara keseluruhan, sebetulnya kebijakan NKK ini sangat masuk akal belaka dan bisa dipahami. Bahkan, in retrospect, gagasan dan kebijakan Daoed Joesoef terbukti penting. Daoed Joesoef tidaklah menghendaki mahasiswa atau masyarakat akademik kita menjadi apolitis. Hanya saja, pengertian “politik” yang dipahami oleh dia dan kalangan mahasiswa saat itu yang tengah asyik dengan “romansa perjuangan” melawan kekuasaan otoriter Orde Baru, beda sama sekali.

Ada tiga pengertian politik yang dipahami oleh Daoed Joesoef: politik sebagai arena atau gelanggang, yaitu partai dan segala turunannya; politik sebagai kebijakan; dan, terakhir, politik sebagai konsep dan ide. Dia tidak menghendaki masyarakat kampus terlibat dalam politik dalam pengertian pertama, tetapi dia setuju “politisasi” kampus dalam pengertian kedua dan ketiga. Sekali lagi, dia mengaitkan politik di sini dengan gagasannya yang lebih luas tentang nalar generatif, dengan falsafahnya tentang masyarakat ilmiah. Politik pada akhirnya, selain berhubungan dengan proses pelembagaan, juga menyangkut budaya dan praxis. Karena itu, politik yang membawa kemajuan bangsa adalah politik yang diselenggarakan sebagai bagian dari upaya membangun nalar bangsa secara keseluruhan. Dengan kata lain, politik yang berbasis nalar generatif adalah bagian dari proses pencerahan masyarakat.

Gagasan Daoed Joesoef ini sangat tepat kita hidupkan dalam konteks “perayaan demokrasi” pasca-reformasi sekarang ini, di mana sejumlah pihak mulai mengeluh dan kecewa terhadap demokrasi karena yang terakhir itu membawa ekses-ekses yang mengecewakan, seperti politik uang, kartelisasi, patrimonialisme, sektarianisme, dan sebagainya. Dengan kata lain, proses-proses politik kita saat ini mengarah kepada distopia, keadaan yang membuat kecewa, persis karena tidak membawa unsur pencerahan, melainkan penggelapan dalam dua pengertiannya sekaligus, harafiah dan metaforis.

Elemen penting dalam nalar generatif adalah sikap yang terbuka pada pengetahuan baru, informasi baru, data baru. Daoed Joesoef, sebagaimana kaum pencerahan di Eropa, menghayati pentingnya ide kemajuan, idea of progress. Salah satu ciri pokok nalar generatif sebagaimana dipahami oleh Daoed Joesoef adalah kemampuan menggunakan pengetahuan yang ada untuk melahirkan pengetahuan yang baru. Oleh karena itu, perubahan yang mengarah kepada kemajuan menjadi unsur penting di sana. Kita bisa menyebut Daoed Joesoef sebagai manusia progresif, bukan manusia tradisional, tentu jika kita pahami ‘tradisional’ di sini sebagai sikap kaku memegang pengetahuan yang sudah ada, tidak membuka diri pada data dan informasi baru.

Di tengah gejolak konservatisme budaya yang meruap ke permukaan sekarang, antara lain sebagai akibat dari situasi terbuka pasca-reformasi, etos nalar dan pencerahan yang tanpa lelah dikumandangkan oleh Daoed Joesoef sejak dulu layak terus disuarakan kembali, bahkan diamplifikasi. Jika gagasan-gagasan Daoed Joesoef bisa dipandang sebagai proyek, maka kita bisa menyebutnya sebagai proyek yang belum selesai, bahkan tertunda beberapa saat. Proyek ini layak diteruskan kembali.

Sejumlah karya tulis

Daoed Joesoef lahir pada 8 Agustus 1926 di Medan. Setelah tamat HIS (Hollandsche-Inlandsche School, setingkat SD), dilanjutkan dengan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP), dia, karena situasi revolusi kemerderkaan yang bergejolak saat itu, kemudian mengikuti pendidikan militer formal di Brastagi. Pada 1945 ia bertugas sebagai Letnan Muda dalam Divisi IV, Sumatra Timur, hingga September 1946, saat dia berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti pendidikan di MA (Militaire Akademie).

Meraih gelar doctorandus di FEUI pada 1959. Setelah beberapa saat mengajar di almamater-nya, ia kemudian meneruskan pendidikan ke Paris pada 1965 dan meraih gelar Docteur de l’Université dalam bidang hukum dari Faculté de Droit et des Sciences Economique, Université de Paris, pada 1967. Pada 1973, dia meraih gelar kedua, Docteur d’Etat, dalam ilmu ekonomi dari Université de Paris I Pantheon-Sorbonne. Pada 1971, ia ikut mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di Jakarta.

Pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 1978-1983, anggota MPR, 1983-1988, anggota DPA, 1983-1988. Menerima penghargaan Mahaputra Adipradana dari pemerintah Indonesia pada 1982, dan Commandeur dans l’Ordre des Arts er des Lettres dari pemerintah Perancis pada 1983.

Menulis sejumlah buku, antara lain, Emak (Aksara Karunia: 2003), Borobudur (Penerbit Buku Kompas: 2004), Dia dan Aku (Penerbit Buku Kompas: 2006), Plato, Pengetahuan, Ilmu Penge­tahuan, Gnosis, Kawruh (Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan, Lembaga Javanologi Surabaya: 1987), Javanologi, Kebudayaan Indonesia, Pendidikan Nasional dan Ilmu Pengetahuan (Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan, Lembaga Javanologi Surabaya: 1984).

Daoed Joesoef meninggal pada Selasa, 23 Januari 2018 setelah mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, karena penyakit jantung. [KS]