Dana Disalurkan, Mengapa Kemiskinan Masih Menumpuk di Desa?

Ilustrasi penyimpangan dana desa [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Salah satu tujuan diterbitkannya Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa adalah memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Tetapi tampaknya tujuan luhur ini belum tercapai karena faktanya jumlah penduduk miskin di desa masih tinggi.

Uang-uang mulai mengalir deras ke desa-desa di Indonesia sejak 2015. Undang Undang (UU) tentang Desa mengamanatkan adanya anggaran dari APBN dan APBD untuk dialokasikan membangun desa. Pada tahun pertama yaitu 2015, total anggaran yang dialokasikan untuk dana desa mencapai Rp 20,77 triliun. Realisasinya mencapai 100% yaitu Rp 20,77 triliun. Dari tahun ke tahun jumlah alokasi dan realisasi dana desa dari APBN terus meningkat hingga mencapai Rp 63,64 triliun pada 2019. Sementara di 2020 ini, alokasi dana desa di APBN mencapai Rp 72 triliun.

Selama lima tahun (2015-2019), Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate atau CAGR) dana desa dari APBN adalah sebesar 32,3%. Tidak termasuk alokasi dalam APBN 2020 ini yang sebesar Rp 72 triliun.

Tetapi kucuran dana yang mengalir deras ini tak serta merta membuat kesejahteraan masyarakat desa meningkat. Setidaknya dari indikator angka kemiskinan menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa hanya berkurang 2,68 juta antara Maret 2015 hingga Maret 2020. Laju penurunan (CAGR) angka kemiskinan di desa pada periode tersebut hanya 3,18%.

Tingkat kemiskinan di desa per Maret 2020 mencapai 12,82%. Ada disparitas yang tinggi dengan tingkat kemiskinan di kota yang hanya sebesar 7,38%. Tingkat disparitas ini memang menunjukkan tren pengurangan. Pada Maret 2019, misalnya, tingkat kemiskinan di desa mencapai 12,85%, sementara di kota sebesar  6,69%. Tetapi pengurangan disparitas ini lebih disebabkan karena tingkat kemiskinan di perkotaan naik, sementara di desa ada penurunan.

Lantas ke mana mengalirnya dana desa ini? Peraturan Pemerintah (PP) No.43 tahun 2014, Pasal 100 menyebutkan bahwa paling sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Kemudian sisa 30% lagi digunakan untuk sejumlah kepentingan non-publik yaitu (1) penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa (2) operasional Pemerintah Desa (3) tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa dan (4) insentif rukun tetangga dan rukun warga.

Desa Miskin
Dari komposisi penggunaannya terlihat memang sebagian besar dana desa ini digunakan untuk belanja kepentingan masyarakat seperti untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Artinya mestinya tak ada lagi masyarakat desa yang miskin dengan adanya kucuran dana desa ini.

Mengutip laporan di situs Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal pada kurun 2015-2018, berbagai proyek infrastrukur baik yang menunjang aktivitas ekonomi masyarakat maupun infrastruktur untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa telah dibangun dari dana desa. Disebutkan bahwa jalan desa yang sudah dibangun sepanjang 191.600 kilometer (km); jembatan sepanjang 1,14 juta km; pasar desa sebanyak 8.983 unit; embung sebanyak 4.175 unit; irigasi sebanyak 58.931 unit; sarana air bersih sebanyak 959.569 unit, dan sebagainya.

Hanya saja seperti di level pemerintah pusat dan daerah, belanja publik ini justru merupakan pintu masuk untuk praktik-praktik tercela seperti mark up anggaran hingga belanja fiktif. Kasus-kasus korupsi pun kini sudah merajalela di tingkat desa. Menurut Indonesia Coruption Watch atau ICW, dari 271 kasus korupsi yang ditangani polisi, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2019, kasus korupsi dana desa mendominasi yaitu mencapai 46 kasus. Dari 46 kasus tersebut, jumlah kerugian negaranya mencapai Rp 32,2 miliar.

Pola yang sama sebenarnya terjadi saat pemerintah menggulirkan otonomi daerah pasca-reformasi 1998. Dengan otonomi tinggi yang diberikan kepada daerah untuk mengelola keuangan mereka sendiri, tingkat korupsi pun meningkat di daerah. Banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Sejak 2004 hingga tahun 2019, terdapat 124 kepala daerah mulai dari bupati, wali kota hingga gubernur yang tersangkut kasus korupsi.

Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi membuat otonomi daerah yang bertujuan untuk mendesentralisasikan kekuasaan pemerintahan diplesetkan sebagai desentralisasi korupsi. Kalau selama rezim Soeharto, korupsi tersentralisasi di Jakarta, kini sudah tersebar ke daerah-daerah.

Nah, UU Desa yang memberikan kewenangan kepada pemerintah desa untuk mengelola keuangannya sendiri pun terancam akan jatuh ke lubang yang sama. Korupsi akan menyebar dari level kekuasaan paling tinggi di Jakarta hingga level perangkat desa di kampung-kampung.

Tentu, UU Desa tidaklah salah. Perangkat regulasi tersebut pada dasarnya bertujuan mulia untuk mempercepat distribusi keadilan dan kesejahteraan ke masyarakat. Hanya ekses negatif seperti korupsi itu yang perlu dicarikan penangkalnya. Tak hanya dengan tindakan koersif berupa penegakan hukum, tetapi juga preventif dengan menyiapkan perangkat regulasi tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.

Selain itu, untuk penggunaan dana desa ke depan mestinya tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur fisik. Karena bukan rahasia lagi, banyak material untuk pembangunan fisik tersebut justru diambil dari kota, seperti semen misalnya. Akibatnya, uang yang mengalir ke desa kembali lagi ke kota.

Untuk mengimbanginya, pemanfaatan dana desa harus lebih berorietasi pada kegiatan ekonomi produktif, misalnya bantuan ternak untuk warga desa. Hal yang tak kalah penting juga adalah penggunaan dana desa untuk pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk pertanian atau lainnya yang ada di desa. Semoga.[Julian A]