Ilustrasi perang dagang AS vs Tiongkok [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berdampak serius kepada harga-harga komoditas di AS. Harga kedelai, misalnya, mengalami penurunan secara nyata di pasar Chicago Board Of Trade (CBOT).

Penurunan harga kedelai itu mencapai 1,26% atau 11,50 poin atau setara UU$ 904,75 sen per bushel. Di hari yang sama harganya bahkan sempat menyentuh US$ 886 sen per bushel, dan sempat menguat 1,6% pada Jumat kemarin. Seperti kedelai, harga biji-bijian yang lain juga mengalami pelemahan harga.

Akan tetapi, dampak perang dagang ini belum terasa di Indonesia. Buktinya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia tetap tumbuh secara positif ke negara-negara yang menadi target AS untuk perang dagang seperti Tiongkok, Uni Eropa dan lain-lain.

Nilai ekspor Indonesia ke AS, menurut Kepala BPS Suhariyanto, tumbuh 10,03% menjadi US$ 1,57 miliar pada Mei 2018. Pertumbuhan itu antara lain karena didorong produk hasil rajutan, kayu dan timah. Sedangkan, ekspor ke Tiongkok mencapai US$ 2,09 miliar atau naik 15,37%. Peningkatan ekspor karena bahan bakar mineral, besi dan baja.

“Ke Eropa juga begitu, ekspor naik 25,68% menjadi US$ 1,74 miliar. Justru barang yang dikenakan tarif oleh AS, eskpornya masih bagus ke Tiongkok,” tutur Suharyanto seperti dikutip CNN Indonesia pada Senin (25/6).

Dikatakan Suharyanto, dampak perang dagang itu kemungkinan baru akan terlihat beberapa bulan setelah tarif perang diberlakukan di tiap-tiap negara. Ia akan tetapi tidak mau memberikan proyeksi yang lebih jauh. Namun, harapannya perang dagang itu akan segera berakhir karena bisa merugikan perusahaan-perusahaan yang ada.

Di masa mendatang, kecenderungan defisit neraca perdagangan kemungkinan akan terjadi karena nilai impor yang lebih tinggi. Juga ditambah harga komoditas di pasar dunia penuh ketidakpastian. Itu sebabnya, kata Suharyanto, pemerintah perlu memperbaiki sektor ekspor sehingga neraca perdagangan tidak terus menerus merugi.

Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah, menurut Suharyanto, adalah dengan memberi insentif kepada industri yang berorientasi ekspor. Semisal, menyederhanakan perizinan, biaya transportasi dan lain sebagainya. Catatan BPS, neraca perdagangan mengalami defisit pada Mei 2018. Jumlahnya mencapai US$ 1,52 miliar.

Pasalnya, nilai impor Indonesia mencapai US$ 17,64 miliar. Sedangkan ekspor hanya US$ 16,12 miliar. [KRG]