Koran Sulindo – Masa yang sulit. Demikian kondisi ekonomi global yang digambarkan setelah wabah virus corona menyebar ke seluruh dunia. Krisis yang tak pernah dibayangkan seperti sebelumnya. Dan penyebabnya: virus corona jenis baru.
Krisis sebelumnya seperti Depresi Besar pada 1929-an dipicu gelembung properti karena kemudahan kredit dan rendahnya suku bunga. Gelembung properti ini kemudian diikuti gelembung pasar saham yang puncaknya meledak pada 1929. Depresi tersebut berlangsung hingga pecahnya Perang Dunia II pada 1939.
Pun demikian dengan krisis moneter yang menghantam dunia pada 1997/1998. Penyebab utamanya, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersumber dari neraca pembayaran. Terutama di negara-negara Asia karena nilai tukarnya tidak fleksibel.
Sementara krisis keuangan pada 2008 yang menghantam pasar keuangan Amerika Serikat bermula dari kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitur tanpa kehati-hatian. Karena itu, pemberian kredit tersebut sesungguhnya berisiko tinggi.
Sekilas alasan demikian tampaknya benar. Tiap-tiap krisis berbeda penyebab. Seperti halnya hari ini, virus corona dinilai sebagai penyebab utama krisis ekonomi global. Dampaknya merusak perekonomian dunia dan membuat rakyat miskin menderita. Benarkah?
Tapi tidak demikian dalam pandangan Jose Maria Sison, intelektual dari Filipina sekaligus Ketua Emeritus Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS). Krisis ini sebenarnya terjadi karena kelebihan produksi. Kebijakan ekonomi neoliberal telah meliberalisasi perdagangan dan investasi, memberi potongan pajak, insentif dan dana talangan kepada perusahaan-perusahaan kapitalisme global, menekan upah, swastanisasi aset publik dan lain sebagainya.
Karena kebijakan itu, krisis kelebihan produksi akan lebih sering terjadi. Dan akan lebih buruk dari waktu ke waktu. Kendati kebijakan itu menyebabkan penderitaan dan menindas rakyat, kapitalisme global tetap berkeras melanjutkan sistem yang serakah dan tidak bisa dikontrol itu.
Pandemi corona karena itu sesungguhnya membongkar kedok sistem kapitalisme global yang bobrok. Pandemi hanya memperburuk krisis kapitalisme global yang sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Dan terus semakin mendalam. Dengan kata lain, krisis keuangan yang terjadi pada 2008 belum juga selesai, krisis yang lain dan lebih serius telah datang untuk memperpanjang dan memperdalam perlambatan serta depresi ekonomi global.
Situasi ini pun sudah pernah diingatkan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam laporannya berjudul A Decade after the Global Financial Crisis: Are We Safer? pada 2018 yang memperingatkan ekonomi global dibayangi tantangan besar akan potensi terjadinya Depresi Besar Kedua.
Laporan ini mendapat tanggapan serius dari para ekonom dunia. Sebab, IMF teramat jarang mengeluarkan laporan dengan judul yang begitu jujur. Bahwa Depresi Besar Kedua bisa saja terjadi karena utang global melonjak tajam sebagai dampak krisis keuangan 2008.
Karena itu, krisis yang terjadi dari waktu ke waktu saling bertaut dan mempengaruhi. Dan keliru jika menyebut wabah virus corona menjadi penyebab utama krisis ekonomi global hari ini. Justru kita harus curiga wabah corona hanya dalih kapitalisme global untuk mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Buktinya pemerintah AS membuat kebijakan yang memungkinkan negara memberi dana talangan bagi perusahaan-perusahaan besar.
Sementara di Tiongkok, pemerintahnya melonggarkan kebijakan lingkungan hidup untuk mendorong perekonomian mereka selepas Covid-19. Kebijakan demikian rasanya tidak asing, sebab pemerintah Indonesia juga demikian bukan? [Kristian Ginting]