Koran Sulindo – Ekonomi Indonesia dihantui berbagai “jurang infrastruktur”. Banyak tempat hanya memiliki infrastruktur fisik dan digital di bawah standar atau bahkan tidak sama sekali, biasanya karena kurangnya investasi.
Misalnya, banyak rumah sakit dan puskesmas di daerah-daerah tertinggal yang masih belum memiliki pasokan air bersih dan listrik selama 24 jam sehari.
Pertumbuhan, industrialisasi, dan urbanisasi Indonesia yang cepat selama 20 tahun terakhir menyebabkan kebutuhan infrastruktur-infrastruktur tersebut pun meningkat.
Berbagai lapis pemerintahan di Indonesia selama beberapa periode kesulitan membangun infrastruktur sesuai dengan laju tersebut. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan integrasi perdagangan dengan kawasan Indo-Pasifik menjadi tidak maksimal.
Mengestimasi investasi yang diperlukan untuk menutup jurang tersebut bukan hal mudah. Salah satu estimasi yang cukup diterima adalah estimasi dari Bank Dunia yang menyebutkan Indonesia memerlukan investasi sebesar US$500 miliar untuk fasilitas-fasilitas dasar selama lima tahun ke depan untuk mendukung kesinambungan pertumbuhannya.
Rencana pemerintah pusat untuk membangun Ibu Kota baru di Kalimantan Timur menambah sekitar US$33 miliar ke dalam estimasi tersebut.
Mendapatkan anggaran untuk mengurangi jurang infrastruktur tersebut menjadi semakin sukar seiring tekanan ekonomi dan finansial yang dirasakan akibat pandemi COVID-19. Ini jelas akan berdampak pada pembangunan infrastruktur.
Anggaran belanja untuk infrastruktur tahun ini sekitar US$29 miliar. Sebesar 40% dari total anggaran, atau sekitar US$164,8 miliar dari total investasi US$412 miliar untuk proyek-proyek infrastruktur antara tahun 2020 hingga 2024 akan didanai langsung oleh pemerintah. Sisa pendanaan akan berasal dari BUMN (25%) dan swasta (35%).
Pandemi ini akan membuat pemerintah mengalihkan dana tersebut, sementara sumber pendanaan lain akan kehilangan uangnya akibat resesi yang akan menyusul.
Tantangan dalam Pembangunan Infrastruktur
Perth USAsia Centre telah mengembangkan Peta Infrastruktur Indonesia untuk membantu menggambarkan tantangan infrastruktur yang dihadapi Indonesia. Peta tersebut juga mengidentifikasi proyek-proyek utama di Indonesia per sektor. Ada 206 proyek infrastruktur sejauh ini dan akan terus diperbarui seiring dengan perkembangan di lapangan.
Peta tersebut menunjukkan Indonesia memiliki tantangan konektivitas yang unik dan tidak seperti negara lain dengan status ekonomi dan populasi yang serupa. Satu tantangan yang tak terpisahkan dari geografinya sebagai negara kepulauan: 17.000 pulau tidak terhubung dengan baik antara satu sama lain.
Anda dapat melihatnya pada persebaran proyek tersebut dalam peta yang dimaksud di atas. Kebanyakan proyek berada di kawasan padat penduduk di barat – Sumatera dan Jawa. Menurut Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) , Jawa dan Sumatera memiliki 154 proyek sementara wilayah lainnya hanya memiliki total 79 proyek.
Sebagai perbandingan, Indonesia timur tidak begitu dilirik oleh proyek infrastruktur baru. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, nyaris tidak ada proyek baru.
Di pulau-pulau besarnya, bahkan pusat-pusat ekonominya tidak terhubung dengan baik. Misalnya, belum ada jaringan kereta api cepat atau semi cepat (baru ada kereta konvensional dengan waktu tempuh 9 jam) yang menghubungkan dua kota terbesarnya – Jakarta dan Surabaya.
Kurangnya infrastruktur utama bisa juga disebabkan oleh kebijakan seperti subsidi BBM. Kebijakan tersebut memakan sekitar US$9 miliar per tahun dari APBN. Subsidi tersebut juga mengubah pasar, mengakibatkan posisi rupiah menjadi rawan dan mendukung ketergantungan pada kendaraan bermotor.
Rencana Ibu Kota baru dapat dilihat sebagai upaya untuk membangun sebuah pusat ekonomi baru di luar Sumatera dan Jawa. Di sekitar kawasan Ibu Kota baru terdapat pengerjaan beberapa proyek infrastruktur. Jalan tol Balikpapan-Samarinda sudah hampir selesai dan Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa jalan tol tersebut akan terhubung dengan Ibu Kota baru.
Selain tantangan geografis, Indonesia saat ini juga harus berhadapan dengan perlambatan ekonomi dan menurunnya pendapatan negara akibat pandemi COVID-19.
Respons fiskal pemerintah terdiri atas paket sebesar US$2 miliar pada tahap pertama disusul dengan paket rangsangan sebesar US$26 miliar. Hal ini dapat tercapai karena adanya realokasi dana dari proyek-proyek yang seharusnya dikerjakan saat ini, tapi dana tersebut akan semakin langka seiring dengan menyusutnya pendapatan negara akibat pelambatan ekonomi. Pemerintah telah menaikkan batas defisitnya menjadi 5% agar dapat meminjam lebih banyak dana untuk keadaan darurat ini.
Pinjaman asing juga akan menipis. Pertanyaan terkait seberapa berkesinambungankah pinjaman asing sejauh ini, termasuk pinjaman dari Cina, harus dijawab. Krisis pasar kredit mulai menunjukkan batang hidungnya.
Indonesia sangat rawan terhadap meningkatnya biaya pinjaman. Nilai tukar rupiah telah jatuh, menambah beban pembayaran utang dalam mata uang asing.
Pemerintah harus Cermat
Seiring dengan semakin ganasnya krisis ekonomi akibat pandemi menyerang, Indonesia kemungkinan memerlukan uang yang sangat banyak untuk menjalankan paket-paket stimulusnya. Ini akan berdampak pada kemampuan Indonesia untuk membiayai proyek-proyek infrastrukturnya.
Namun Indonesia harus melihat pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari pemulihannya, karena proyek-proyek tersebut mencetak lapangan kerja, membuka pangsa pasar baru, dan meningkatkan efisiensi.
Memanfaatkan jatuhnya harga minyak untuk memangkas subsidi bahan bakar dan mengalihkannya untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan infrastruktur akan menjadi langkah yang tangkas bagi Jokowi.
Indonesia harus lebih memanfaatkan dana dari berbagai inisiatif infrastruktur dan konektivitas (I&C) yang telah diluncurkan oleh berbagai negara di Asia-Pasifik sejak 2010. Ini termasuk Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina, Kemitraan untuk Infrastruktur Berkualitas (PQI) Jepang, dan Bank Investasi Infrastruktur Asia yang baru-baru ini didirikan.
Total dana yang ditawarkan oleh inisiatif-inisiatif tersebut melebihi US$1 triliun. Namun mengikatkan diri pada inisiatif tersebut juga bermakna ikut terlibat dalam isu geopolitik di baliknya.
Pasca-COVID-19, Indonesia harus berhati-hati menimbang peran infrastruktur dalam pemulihan ekonominya. [Kyle Springer, Senior Analyst at the Perth USAsia Centre, University of Western Australia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.