Koran Sulindo – Korban pandemi virus corona terus berjatuhan. Pada 3 April 2020, angka kematian di Spanyol mencapai 10.348 orang, di Italia 13.915 orang dan di Belanda juga meningkat menjadi 1.339 orang. Di Spanyol, pada 2 April, dalam 24 jam, sekitar 950 orang meninggal dan Jumat (3/4) orang meninggal karena virus corona mencapai 932 orang hingga jam 11:30 waktu Eropa, .
Sementara itu, di Tiongkok, gelombang serangan virus kedua telah membuat pemerintah meminta penduduk Wuhan untuk kembali tinggal di rumah dan meningkatkan langkah-langkah untuk melindungi diri dari Covid-19.
Orang bertanya-tanya bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab akan munculnya virus corona yang ganas ini? Amerika Serikat dan Tiongkok saling tuduh dan saling bantah. Beberapa sumber seperti Kit Radio Internacional dari Spanyol mengaku telah membuat penelitian dan menemukan bukti bahwa virus corona diciptakan di laboratorium Komando Medis Angkatan Darat di Fort Detrick, Maryland, Amerika Serikat.
Di situ dikembangkan senjata biologis. Pada Oktober 2019, AS mengirim 300 personel mengikuti Pekan Olahraga Militer Sedunia yang diselenggarakan di Wuhan,Tiongkok. Kesempatan itulah yang digunakan untuk memasukkan virus melalui injeksi kepada salah seorang delegasi militer dengan alasan kontrol medis. Tujuannya untuk menahan laju ekonomi Tiongkok yang sedang menantang hegemoni AS.
Sumber lain menyebutkan virus terlepas secara tak sengaja dari Institut Virologi Wuhan. Ada lagi yang menghubungkan virus itu dengan kecenderungan orang Tiongkok mengkonsumsi makanan “kotor” dan “eksotis”, seperti kelelawar atau ular.
Studi atas urutan genetik yang dilakukan oleh ahli penyakit menular, Kristian G. Andersen dan koleganya dari Institut Penelitian Scripps di La Jolla, California, menyimpulkan, virus corona tidak mungkin dilahirkan di laboratorium. Dengan demikian teori konspirasi dianggap omong kosong.
Sebuah grup komunis di Tiongkok yang menamakan dirinya “Chuang” (salah satu artinya “membebaskan diri”) mengungkapkan bahwa munculnya wabah tak bisa dipisahkan dengan industrialisasi kapitalis. Pandemi yang terjadi di Inggris, pertama dari 1709 hingga 1720, lalu dari 1742 hingga 1760, dan dari 1768 hingga 1786, berhubungan erat dengan perkembangan kapitalisme di mana terjadi penggusuran massal tani dan diterapkannya monokultur ternak. Wabah disebabkan oleh ternak impor dari Eropa yang sudah kena infeksi pandemi pra-kapitalis dan di Inggris, konsentrasi ternak membuat virus lebih ganas lagi. Ketika itu wabah terpusat pada perusahaan-perusahaan susu besar di London yang telah menyediakan lingkungan ideal bagi intenfisikasi virus.
Wabah ternak mencapai Afrika tahun 1890-an, dibawa oleh kampanye militer Italia yang bermaksud mengejar ketinggalannya dalam memperoleh koloni di benua tersebut. Sebagian besar kampanye militer gagal, tapi penyakit menyebar melalui populasi ternak lokal dan sampailah ke Afrika Selatan. Dengan membantai 80% hingga 90% ternak, wabah telah mengakibatkan kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di samping itu, “Chuang” menunjuk kepada kondisi kerja dan kehidupan buruk kaum pekerja yang telah mendorong tersebarnya secara luas wabah-wabah kapitalisme. Misalnya, jumlah kematian sangat tinggi oleh wabah flu Spanyol pada 1918, disebabkan tidak saja oleh keganasan virus influenza H1N1, tapi juga karena makanan tak bergizi, kepadatan tinggi urbanisasi, kondisi hidup tak sehat dari kelas pekerja di negeri-negeri yang terjangkiti.
Covid-19, menurut Chuang, sulit untuk dimengerti tanpa menghubungkannya dengan perkembangan kapitalis Tiongkok selama beberapa dekade terakhir, yang telah menyebabkan degradasi dalam layanan kesehatan. Kemerosotan ini tersembunyi di belakang gemerlapan gedung-gedung pencakar langit, megainfrastuktur dan pabrik-pabrik besar.
Di zaman sosialisme, layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Kaum revisionis menamakan sosialisme itu “meratakan kemiskinan”. Anehnya, “kemiskinan yang merata” itu telah meningkatkan harapan hidup rakyatnya, dari 45 tahun menjadi 68 tahun dalam jangka waktu kurang dari 30 tahun. Data PBB menunjukkan persentase peningkatan tertinggi harapan hidup justru terjadi pada tahun 60-an. Seiring dengan semakin berdominasinya cara produksi kapitalis, persentasenya terus menurun. Tahun 2020, harapan hidup di Tiongkok, 76,96 tahun, sama dengan Aljazair, 76,95 dan lebih rendah dari Kuba, 78,89 tahun.
David Leonhardt mengungkapkan, dari 1990 hingga 2008, harapan hidup di Tiongkok naik 5,1 tahun, hampir sama dengan Brazil, Mesir, Ethiopia, India dan Indonesia. Padahal pertumbuhan ekonomi dan pembangunan megainfrastruktur Tiongkok telah membuat orang ternganga dengan kagum dan selalu dibanggakan oleh kaum revisionis. Namun kenyataan membuktikan pertumbuhan ekonomi sama sekali tidak menjamin dan memberi kehidupan dan kesehatan yang lebih baik kepada semua orang.
Dewasa ini, menurut WHO, pengeluaran publik untuk kesehatan di Tiongkok, US$ 323 per kapita, sekitar setengah dari yang dikeluarkan Brazil, Belarus dan Bulgaria. Yang paling menderita adalah ratusan juta buruh migran yang kehilangan seluruh layanan kesehatan pokok, begitu mereka meninggalkan desanya.
Kualitas produk untuk pasar dalam negeri sering sekali sangat buruk dan membahayakan kesehatan. Jangan dibandingkan dengan produk industri untuk ekspor! Orang tak lupa akan skandal susu pada 2008, yang telah mematikan puluhan ribu anak-anak; tahun 2011, terbongkar kasus “minyak selokan”(gutter oil) yang digunakan di restoran-restoran, kasus vaksin yang membunuh beberapa anak, kasus pengusaha yang menjual babi yang mati karena sebab-sebab yang misterius, dan lain sebagainya.
Industri Pertanian
Rob Wallace, ahli biologi evolusi Amerika telah meneliti pandemi selama 25 tahun dan menulis Big Farms Make Big Flu. Industri pertanian, khususnya produksi ternak dan pengejaran laba korporasi multinasional berkaitan erat dengan peningkatan kemunculan virus.
Modal negara-negara imperialis masuk ke negeri-negeri Dunia Ketiga, merampas dan menyusutkan tanah pertanian dan menggunduli hutan-hutan tropikal. Akibatnya, deforestasi, yang melenyapkan keragaman fungsional dan kompleksitas melalui disatukannya bidang-bidang tanah luas sehingga patogen yang sebelumnya tertutup, menyebar ke ternak lokal dan komunitas manusia.
Sebagian besar dari bumi kita dewasa ini, dari segi bio-massa dan penggunaan lahan, sudah merupakan pabrik pertanian industri besar. Agribisnis bertujuan memonopoli pasar pangan. Proyek neoliberal dirancang untuk membantu korporasi multinasional mencuri tanah dan sumber daya negeri-negeri Dunia Ketiga. Akibatnya, banyak dari patogen baru ini, yang sebelumnya terikat dengan ekosistem hutan yang telah berkembang dalam jangka waktu sangat panjang, sekarang lepas dan menyebar ke seluruh dunia. Ebola, Zika, berbagai virus corona, flu burung, demam kuning yang muncul kembali, dan demam babi Afrika adalah patogen yang meninggalkan daerah terpencil di pedalaman dan menyebar ke pinggiran kota, kemudian ibu kota dan jaringan perjalanan global.
Monokultur genetik ternak yang terus meluas menghilangkan segala hambatan imun yang mungkin tersedia untuk memperlambat atau menahan penularan. Kondisi hidup hewan yang berdesakan menekan respons kekebalannya. Kapasitas produksi tinggi dari hewan ternak, yang merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari produksi industri, memberi pasokan inang hewan baru terus menerus kepada virus itu. Dan itu meningkatkan keganasannya.
Mulai 1990-an, terjadi industrialisasi dalam sistem produksi pangan Tiongkok. Menurut antropolog Lyle Fearnley dan Christos Lynteris, akibatnya adalah petani plasma dipangkas dan didorong keluar dari industri peternakan. Beberapa dari mereka beralih menjadi pemelihara spesies “liar”. Makanan liar ini lambat laun menjadi sektor produk makanan “eksotis” dan mewah. Tetapi petani skala kecil ini tidak hanya didorong keluar secara ekonomi. Karena industri pertanian mengambil semakin banyak lahan, petani skala kecil ini semakin terdesak secara geografis, lebih dekat ke zona tepi hutan. Hal ini meningkatkan interaksi dengan patogen baru, termasuk Covid-19.
Dengan kata lain, populasi manusia yang meluas dan mendesak ekosistem yang sebelumnya tidak terganggu, telah menyebabkan peningkatan, dalam beberapa dekade terakhir, jumlah zoonosis, yaitu infeksi manusia yang berasal dari hewan. Namun di samping itu, terdapat satu sebab lagi, yaitu cara pangan diproduksi. Model agribisnis modern berkontribusi terhadap munculnya zoonosis.
Ahli epidemiologi spasial Marius Gilbert dari “Université Libre de Bruxelles” Belgia, mengungkapkan hubungan antara munculnya virus flu burung yang sangat patogen dengan sistem produksi unggas yang intensif. Flu yang memiliki potensi pandemi tinggi itu telah menyebabkan 15 pandemi dalam 500 tahun terakhir.
Virus dengan potensi pandemi tinggi ini tidak hanya terdapat di peternakan unggas. Marius Gilbert menyatakan, itu terjadi juga pada peternakan babi. Sindrom Reproduksi dan Pernapasan Babi, penyakit babi yang pertama kali berkembang di AS pada akhir 1980-an, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, ketika terdeteksi baru-baru ini di Tiongkok, virus itu telah lebih ganas daripada virus awal yang di Amerika.
Sebuah studi tahun 2015, yang dilakukan oleh Martha Nelson dan rekan-rekannya dari Institut Kesehatan Nasional AS, memetakan urutan genetik virus flu babi dan menemukan bahwa Eropa dan AS adalah pengekspor babi global terbesar, juga pengekspor terbesar flu babi.
Untuk mengurangi munculnya wabah virus baru, produksi pangan harus diubah secara radikal. Otonomi petani dan sektor publik yang kuat dapat mengurangi efek rantai transmisi dan infeksi yang tidak terkendali. Ini termasuk promosi keanekaragaman hayati ternak dan tanaman, dan reboisasi strategis, baik di setiap bidang pertanian maupun di seluruh wilayah. Hewan untuk konsumsi manusia harus direproduksi secara lokal supaya tersebar mekanisme kekebalan. Artinya produksi yang adil bergandengan tangan dengan sirkulasi barang yang adil. Pertanian organik harus dikembangkan dan disubsidi supaya harga jualnya terjangkau oleh konsumen. Proyek-proyek ini harus dilindungi dari peraturan dan pembatasan yang diberlakukan oleh politik dan ekonomi neoliberal.
Agribisnis sebagai bentuk reproduksi sosial harus dihapuskan, kalau kita memang ingin melindungi kesehatan rakyat dan mencegah timbulnya virus yang lebih ganas lagi.
Oleh karena itu, jalan keluar bagi negeri-negeri di mana mayoritas tani tidak memiliki tanah adalah reform agraria sejati guna membagi dan mengembalikan tanah kepada penggarapnya dan masyarakat adat.
Terlepas dari setuju atau tidak dengan analisa dan pendapat yang telah diuraikan itu , yang jelas corona virus terus menyerang dan mematikan manusia lebih banyak lagi. Tindakan dan langkah-langkah fundamental dan strategis yang diperlukan untuk mencegah timbulnya virus tidak dapat diharapkan dari sebuah pemerintahan yang kepentingannya justru melindungi modal asing dan swasta dalam perampasan tanah, penggundulan hutan dan pengerukan sumber daya alam demi mengisi pundi-pundinya sendiri.
Hanya rakyat dari seluruh sektor ekonomi yang sadar dan terorganisasi dapat melahirkan perubahan-perubahan mendasar yang menjamin partisipasi rakyat dalam menentukan nasib dan hari depan anak dan cucunya. [Tatiana Lukman]