Cornelis van Vollenhoven: Pelopor Penemuan Hukum Adat Indonesia

Cornelis van Vollenhoven (1874-1933)

Cornelis van Vollenhoven, seorang ahli sejarah hukum adat Indonesia berkebangsaan Belanda, lahir di Dordrecht pada 8 Mei 1874. Minat kajiannya sangat luas, mencakup hukum adat, hukum tata negara (staatsrecht), hukum bangsa-bangsa (volkenrecht), hukum internasional, kesusasteraan Semit (semitische letteren), dan sejarah (historie).

Pada Mei 1898, dalam usia 24 tahun, ia meraih gelar doktor bidang hukum dan tata negara dari Universitas Leiden dengan disertasi berjudul “Omtrek en Inhoud van het Internationale Recht,” yang diselesaikan dengan predikat cum laude. Setelah itu, ia bekerja sebagai sekretaris pribadi anggota parlemen dan pemilik perkebunan di Hindia Belanda, J. Th. Cremer, selama empat tahun (1898-1901).

Sejak tahun 1901, Van Vollenhoven menjabat sebagai profesor di Universitas Leiden dalam bidang hukum adat serta hukum negara dan administrasi Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao.

Ia memulai profesinya dengan pidato pembuka pada 2 Oktober 1901 berjudul “Exacte Rechtwetenschap,” dan jabatan ini diembannya sampai akhir hayatnya pada 30 April 1933. Ia juga pernah menjadi ketua Generaal Claims Commission United States of America and Mexico (1924-1927) (Soekanto, 1985: 145-148).

Bersama Snouck Hurgronje, ia mendirikan Fakultas Hukum dan Sastra di Universitas Leiden yang secara khusus mengkaji tentang hukum di Hindia Belanda. Mata kuliah yang diajarkannya antara lain adalah hukum Hindia Belanda (1902-1907), Islam (1902-1906, 1927-1931), dan sejarah hukum komparatif (1932-1933).

Van Vollenhoven dua kali mengunjungi Hindia Belanda (tahun 1907 dan 1932). Karya-karyanya yang paling terkenal mengenai hukum adat adalah tiga volume “Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie” (terbit antara 1908-1933), “De Indonesier en zijn grond” (1919), “Miskenningen van het Adatrecht” (1926), dan “De Ontdekking van het Adatrecht” (1928). Karena perhatiannya yang besar terhadap hukum adat, ia dikenal sebagai penemu hukum adat di Indonesia (Djalins dan Rachman, 2020: xxvii-xxviii).

“Barangsiapa pernah mempelajari hukum yang berlaku di negeri Belanda kemudian mempelajari hukum Hindia-Belanda, maka ia masuk ke sebuah dunia baru”, kata Van Vollenhoven (1981: 1) dalam bukunya “Orientatie in het Adatrecht van Nederlandsch-Indie” (Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia).

Pendapat ini mengisyaratkan perbedaan paling jelas dalam hukum yang berlaku di Belanda dan Hindia Belanda, menciptakan “sebuah dunia baru” bagi Hindia Belanda. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, penduduk Nusantara telah mengenal hukum adat berupa kebiasaan hukum setempat.

Hukum adat berbeda dengan hukum formal Eropa yang sudah dikodifikasi sebagai peraturan dan perundang-undangan, yang secara garis besar dibagi menjadi empat yaitu hukum tata negara, hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana. Hukum adat umumnya belum dikodifikasi, namun hidup dan dihidupkan di tengah masyarakat (Van Vollenhoven, 1981a: 41).

Hukum adat bukanlah konsep baru, tetapi karena sifatnya yang kompleks dan tidak dihayati dengan benar oleh ahli-ahli hukum pada dua puluh tahun pertama abad ke-20, lahirlah usaha unifikasi dan persamaan hukum bagi semua bangsa di Indonesia (Van Niel, 1984: 320).

Usaha ini ditentang keras oleh Van Vollenhoven. Dalam bukunya, “Een Adatwetboek voor heel Indie” (1925), ia menyitir nasihat mantan ketua pengadilan negeri H.H. Scheuer pada tahun 1910, bahwa,

“Janganlah, dengan menunjuk secara murah kepada sifat dan keuntungan-keuntungan daripada suatu hukum kebiasaan yang bertumbuh, membiarkan dasar dari perjalanan peradilan sipil untuk orang-orang pribumi dalam keadaan memerlukan pertolongan seperti sudah lama berjalan; tetapi jangan pula mengusahakan kodifikasi-kodifikasi setempat, yang karena hendak mengatur segalanya, akan makan waktu berpuluh-puluh tahun dalam garis-garis besarnya saja sehingga kodifikasi itu dapat berlaku untuk wilayah seluas mungkin…” (Van Vollenhoven, 1972: 13).

Ia mengingatkan betapa pentingnya hukum adat bagi masyarakat Indonesia dan mencatat tidak kurang dari 19 lingkaran adat dengan ciri-ciri pokok yang dapat diatur secara bersamaan, terutama yang terkait dengan hukum kekeluargaan, hukum waris, hukum tanah, utang-piutang, dan pelanggaran atau delik (Van Vollenhoven, 1972: 19).

Lingkaran adat tersebut meliputi Aceh, Tanah Gayo, Alas, dan Batak, Daerah Minangkabau dan Mentawai, Sumatera Selatan dan Enggano, Daerah Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Daerah Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulauan Ternate, Maluku Ambon, Irian, Kepulauan Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, Solo dan Yogyakarta, serta Jawa Barat (Soekanto dan Soekanto, 1978: 55-57).

Dalam buku “De Ontdekking van het Adatrecht” (Penemuan Hukum Adat, 1928), Van Vollenhoven memaparkan sejarah penemuan hukum adat. Beberapa tokoh yang berjasa antara lain adalah William Marsden (1754-1836), Muntinghe (1773-1827), Thomas Stamford Raffles (1781-1826), John Crauwfurd (1783-1868), dan Jean Chretien Baud (1789-1859).

Pada paruh kedua abad ke-19, terjadi perkembangan penemuan hukum yang dipicu oleh minat dari empat kalangan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (Staten Generaal), pemerintahan dalam negeri (pangreh praja), badan-badan penyebar agama Kristen, dan para ahli hukum.

Pemerintah berminat pada organisasi rakyat dan hukum ketatanegaraan adat, para penyebar agama tertarik pada hukum keluarga dan warisan, ahli hukum mencurahkan perhatian kepada transaksi (hukum kekayaan) dan hukum pidana, serta Dewan Perwakilan Rakyat memproduksi berbagai peraturan mengenai tanah pertanian, perkebunan, dan agraria (Van Vollenhoven, 1981b: 74-81).

Istilah adatrecht (hukum adat) pertama kali digunakan oleh Snouck Hurgronje (1857-1936) di Universitas Leiden untuk menunjukkan aturan-aturan adat yang berbeda dari kelaziman dan pendapat umum dalam bidang hukum (Van Vollenhoven, 1981b: 100).

Salah satu gagasan penting Van Vollenhoven adalah tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dijelaskan dalam buku “De Indonesier en zijn ground” (Orang Indonesia dan Tanahnya, 1923).

Menurutnya, ada enam sifat hak ulayat: pertama, masyarakat hukum itu sendiri beserta anggota-anggotanya berhak menggunakan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan dalam wilayah kekuasaannya; kedua, orang-orang asing hanya boleh menggunakan tanah-tanah itu dengan izin dari masyarakat hukum bersangkutan; ketiga, orang-orang asing harus membayar recognitie (pemberian uang, bahan atau barang kepada orang atau badan hukum sebagai pengakuan atas hak-hak orang/badan hukum tersebut); keempat, masyarakat hukum itu bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal dalam lingkungan wilayahnya; kelima, mereka tidak dapat mengasingkan hak ulayat tersebut; dan keenam, hak ulayat masyarakat hukum itu berlaku juga untuk tanah-tanah yang telah diusahakan dengan baik dan yang ada di dalam lingkungan wilayahnya (Van Vollenhoven, 2020: 8-9).

Van Vollenhoven mendukung pengakuan dan penghormatan atas hak-hak penduduk oleh pegawai pemerintah, selama belum ada suatu peraturan penghalang (Van Vollenhoven, 2020: 131).

Ia setuju dengan otonomi yang seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia. Tradisi dan pola yang masih hidup disokong dan dibiarkan agar berkembang ke arah lapisan atas masyarakat Indonesia yang sebagian besar telah dipengaruhi Barat. Hukum adat berlaku di tingkat desa. Di balik kritiknya terhadap hukum dan prakteknya oleh pemerintah kolonial, Van Vollenhoven berupaya mempertahankan orang Indonesia agar tetap berada di dalam posisi rendah, kata Van Niel (1984: 321). [UN]