Koran Sulindo – Sudah sejak tahun 1950, Taiwan mengklaim sebagai negara merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri. Mereka memilih presiden dan anggota legislatif sendiri serta memiliki mata uang dan paspor sendiri. Namanya Republik Cina di Taiwan.
Memang, yang membentuk negara itu adalah pemerintah nasionalis Cina yang dikalahkan oleh pasukan komunis di Cina Daratan dan melarikan diri ke Taiwan. Perang saudara terjadi di Cina Daratan dan berakhir pada tahun 1949. Itu sebabnya pula, Republik Rakyat Cina (RRC) sampai sekarang masih menganggap Taiwan adalah bagian dari negaranya.
RRC menganut sistem One China Policy, yang hanya mengakui satu Cina dan menganggap Taiwan adalah salah satu provinsinya—provinsi pemberontak , yang suatu hari akan sepenuhnya dipersatukan kembali dengan Cina Daratan. Untuk urusan diplomasi internasional, RRC dengan tegas menyatakan, negara-negara lain hanya dapat memiliki hubungan diplomatik dengan Cina atau Taiwan, bukan keduanya.
RRC juga telah berhasil meminta banyak negara memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan. Sekutu Taiwan bahkan ada yang kemudian beralih membangun hubungan diplomatik dengan RRC.
Pada 2018 lalu, maskapai penerbangan asing dan hotel-hotel internasional berhasil dipaksa pemerintah RRC untuk mendaftarkan Taiwan sebagai bagian dari RRCdi situs web mereka. Oleh Amerika Serikat, cara RRC itu dinilai sebagai “Omong kosong Orwellian”.
Orwellian mengacu ke penulis drama asal Inggris, George Orwell, yang salah satu dramanya sangat tersohor ke seluruh dunia, Animal Farm. Drama ini telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Nano Riantiarno dan dipentaskan Teater Koma, dengan judul Sandiwara para Binatang.
Pada Rabu ini (2/1/2019), sebagaimana diberitakan AFP, Presiden Cina Xi Jinping mengatakan penyatuan Taiwan dengan RRC adalah hal yang tak dapat dihindari. RRC, katanya, masih membuka diri terhadap opsi kekuatan militer untuk membawa Taiwan kembali ke pangkuannya.
“Kami tidak berjanji menghentikan penggunaan kekuatan militer dan menunda untuk mengambil semua langkah yang diperlukan,” ujar Xi Jinping dalam pidato peringatan 40 tahun mencairnya hubungan RRC dengan Taiwan. Pernyataan itu terutama ditujukan ke apa yang RRC sebut sebagai gerakan separatis Taiwan dan pasukan negara lain yang mengganggu jalannya penyatuan kembali Taiwan dengan RRC.
“Cina harus dan akan dipersatukan, yang merupakan persyaratan tak terhindarkan untuk pembaruan besar dari warga Cina di era baru,” katanya lagi. Penyatuan Cina-Taiwan, lanjutnya, ada di bawah pendekatan satu negara dengan dua sistem, yang akan melindungi kepentingan dan kesejahteraan seluruh warga Taiwan.
Lebih lanjut Xi Jinping menyatakan, orang Taiwan harus memahami bahwa kemerdekaan hanya akan membawa kesulitan dan RRC tidak akan pernah memberi toleransi atas segala bentuk kegiatan yang mempromosikan kemerdekaan Taiwan.
“Penyatuan adalah persyaratan yang tak terhindarkan untuk kebangkitan besar rakyat Cina,” tuturnya.
Selama dua tahun terakhir, sejak terpilihnya Tsai Ingwen sebagai Presiden Taiwan, hubungan RRC dan Taiwan memang menegang. Karena, dalam berbagai kesempatan, Tsai Ingwen menyatakan menolak sikap RRC yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari “Satu Cina”.
Bahkan, pada 1 Januari 2019, sebelum Xi Jinping berpidato itu, Tsai Ingwen kembali menegaskan, rakyat Taiwan tidak akan pernah melepaskan kebebasan yang tidak terlihat di RRC. “Beijing harus menghormati desakan 23 juta orang untuk kebebasan dan demokrasi dan harus menggunakan istilah damai dan setara untuk menangani perbedaan kita,” ujar Tsai.
Setelah Xi Jinping berpidato, Tsai Ingwen pun pada Rabu petang, sebagaimana diberitakan Reuters, merespons dan menegaskan Taiwan tidak akan menerima pengaturan politik “satu negara, dua sistem” dengan RRC. Ia juga menekankan, semua perundingan lintas selat harus dilakukan pemerintah dengan pemerintah.
RRC juga diminta memahami pemikiran dan kebutuhan orang-orang Taiwan. RRC, katanya, harus menggunakan cara damai untuk menyelesaikan perbedaannya dengan Taiwan dan menghormati nilai-nilai demokrasi. [PUR]