DILAHIRKAN di Nijkerk, Belanda, pada 11 Agustus 1858, Eijkman merupakan putra seorang kepala sekolah. Pada tahun 1875, ia belajar di Sekolah Kedokteran Militer di Universitas Amsterdam, dan meraih gelar doktor melalui tesis Polarisasi Saraf pada tahun 1883. Tahun itu juga ia berangkat ke Hindia Belanda menjadi petugas kesehatan di Semarang, Cilacap, Jawa Tengah, dan Padang Sidempuan di Sumatera Utara.
Siapakah Eijkman?
Sejak kecil Christiaan Eijkman sudah memutuskan mau menjadi dokter. Namun ketika usianya sudah cukup, keluarganya tak mampu membiayainya ke sekolah kedokteran.
Eijkman remaja tak putus asa. Dia menemukan jalan lain untuk memperoleh kesempatan kuliah meraih impiannya.
Saat itu tentara kolonial Belanda butuh banyak dokter, dan ia pun mengambil kesempatan tersebut. Ia berhasil masuk studi kedokteran dibiayai pemerintah, dengan syarat mengabdi selama beberapa tahun di Hindia Belanda.
Eijkman pun memperoleh pelatihan medis dan berangkat ke daerah jajahan tersebut, untuk bekerja sebagai ahli bedah angkatan darat. Baru saja bertugas, ia terserang malaria. Lalu ia pun kembali ke Belanda pada tahun 1885. Sekembalinya ke Eropa, Eijkman pergi ke Berlin, Jerman untuk belajar penelitian medis termutakhir. Di sana ia bertemu Robert Koch, yang baru saja menemukan bakteri tuberculosis tiga tahun sebelumnya –dianggap penemuan revolusioner saat itu, tahun 1882.
Para dokter waktu itu tak mengerti kenapa bisa ada penyakit seperti tuberculosis (TBC) dan malaria, dan tak tahu cara menyembuhkannya. Setelah Koch menemukan bakteri penyebab tuberkulosis, harapan pun muncul untuk menemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit lainnya.
Koch menganggap akan jauh lebih mudah menyembuhkan suatu penyakit kalau tahu apa penyebabnya. Untuk mempelajari bagaimana tuberculosis ditularkan, Koch mengembangkan metode untuk menumbuhkan bakteri dan menyuntikan ke hewan. Eijkman pun ikut bersama Koch selama setahun.
Pada tahun 1880 an, penyakit beri-beri mewabah di daerah jajahan Belanda. 6 tahun kemudian pada 1886, angkatan darat memutuskan mendirikan lembaga penelitian di Batavia.
Eijkman pun lalu di kontak A.C. Pekelharing dan C. Winkler yang menjalankan laboratorium di Batavia (kini Jakarta) untuk menyelidiki kasus beri beri yang mewabah di Hindia Belanda. Sebelum meninggalkan Batavia, mereka meminta Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membuat Rumah Sakit Militer Batavia itu sebagai laboratorium permanen bernama Geneeskundig Laboratorium dan Eijkman sebagai direktur pertama.
Dalam kondisi masih menderita malaria dan baru saja ditinggal mati sang istri, Eijkman memutuskan bergabung dalam penelitian itu. Ia berhasrat untuk menemukan bakteri penyebab beri-beri termasuk obatnya.
Jasa Christiaan Eijkman Bagi Indonesia
Christiaan Eijkman tidak saja meraih Hadiah Nobel bidang kesehatan di tahun 1929 karena berhasil menemukan penyebab penyakit beri-beri yang menjadi momok bagi umat manusia. Keberadaan Eijkman sebagai Direktur Sekolah Dokter Djawa dan dorongannya kepada para dokter muda Indonesia pada gilirannya melahirkan aktivis-aktivis dokter Indonesia modern di awal 1900-1930.
Hans Pols dalam buku Merawat Bangsa yang mencatat tentang aktivis kebangsaan modern di dunia yang lahir dari fakultas kedokteran tahun 1800-1900 mencatat, Christiaan Eijkman memberi dukungan bagi Abdul Rivai, dokter asli Minangkabau lulusan Sekolah Dokter Djawa, agar dapat bersekolah di Eropa. Abdul Rivai pada gilirannya menjadi aktivis parlemen era kolonial, yakni Volksraad.
Hans Pols menguraikan adanya tokoh-tokoh pergerakan yang merupakan mahasiswa kedokteran yang terus aktif menjadi pegiat politik kebangsaan di dunia menjelang dan pada abad ke-20, seperti dokter Jose Rizal di Filipina, dokter Sun Yat Sen di China, Che Guevara di Amerika Latin, Bashar al-Assad di Suriah, dan Mahathir Mohamad di Malaysia.
Di Indonesia yang masih disebut Hindia Belanda, keberadaan Sekolah Dokter Djawa yang semula hanya memberikan pendidikan selama dua tahun bagi orang Jawa, yang kemudian juga diikuti suku bangsa lain, agar dapat menjadi mantri kesehatan ditingkatkan menjadi sekolah dokter. ”Sekolah ini berdiri sebelum STOVIA yang didirikan tahun 1902, yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Sekolah Dokter Djawa semula berada di kompleks rumah sakit militer yang kini menjadi RSPAD Gatot Soebroto,” kata Hans Pols.
Sekolah Dokter Djawa yang berdiri tahun 1851-1901 kemudian dilanjutkan dengan Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA—School Ter Opleiding van Inlandsche Artsen) yang berdiri pada 1902-1913. Kemudian menjadi School Ter Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Dokter Hindia pada kurun 1913-1933. Gedung STOVIA kini menjadi Museum Kebangkitan Nasional sebagai tempat kelahiran organisasi modern pertama, Boedi Oetomo.
Lembaga itu kemudian berlanjut menjadi Geneeskundige Hoogeschool (1927-1942) atau Sekolah Medis Batavia, yang kemudian di zaman pendudukan Jepang menjadi Ika Daigaku (1943-1945). Lembaga tersebut kemudian menjadi Pendidikan Tinggi Kedokteran (1945-1949) dan kini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1950-sekarang).
Laboratorium tempatnya dulu bekerja di Batavia sekarang dijadikan lembaga penelitian biologi molekuler, yaitu Lembaga Biologi Molekul Eijkman.
Christiaan Eijkman meninggal di Utrecht pada 5 November 1930 karena sakit kronis. [S21]