Koran Sulindo – Andi Zulkarnaen Mallarangeng (Choel) akhirnya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana Pusat Pendidikan dan Sekolah Olah Raga (P3SON) di Hambalang, Bogor, tahun anggaran 2010-2012, setahun lalu.”Dalam pengembangan penyidikan dugaan korupsi proyek Hambalang, penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan AZM, sebagai tersangka,” kata Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Senin (21/12/2015).
Choel diduga secara bersama-sama dengan Andi Alifian Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga, telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam proyek yang kini mangkrak itu.
Choel adalah adik Andi Mallarangeng. Sang kakak menjadi terdakwa dalam kasus sama pada 2012 , dan divonis pidana penjara 4 tahun dan denda Rp200 juta. Dalam persidangan, jaksa KPK menyebut Andi menerima suap sebesar Rp4 miliar dan US$550.000 yang diberikan secara bertahap lewat Choel.
Choel ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur. Ia disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Audit BPK
Laporan pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Proyek Hambalang itu menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 243,66 miliar. Temuan investigatif ini mengonfirmasi sebuah kejahatan korupsi yang dilakukan terstruktur dan sistematis.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, puluhan nama itu diduga ikut bertanggung jawab atas kasus korupsi proyek itu: pejabat setingkat menteri, bupati, birokrasi, hingga pihak swasta atau perusahaan.
Dilacak ke belakang, dugaan korupsi dalam proyek Hambalang adalah efek domino dari pengungkapan korupsi dalam proyek Wisma Atlet. Kedua kasus ini setidaknya memiliki kemiripan karena berada dalam ranah korupsi di sektor pengadaan infrastruktur.
Dalam struktur korupsi pengadaan, kelompok bisnis atau korporasi menjadi alat bagi elite politik untuk menjarah uang rakyat. Motif ekonomi dengan memanfaatkan ruang politik tampaknya menjadi strategi jitu para koruptor.
Hambalang menjadi contoh konkret pola korupsi yang sangat rapi. Indikasi suap dalam memuluskan pengalokasian anggaran untuk proyek ini begitu terbuka lebar. Aliran uang yang diduga kepada beberapa pejabat dan politikus adalah bentuk dari upaya memperkaya diri atau kelompok secara tidak sah.
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kejahatan ini bagi perekonomian Indonesia setidaknya berkisar pada dua hal: aspek kerugian keuangan negara dan buruknya infrastruktur publik yang dihasilkan. Kedua dampak ini harus diterjemahkan sebagai kerugian bagi publik karena uang yang dikorupsi adalah hasil pajak publik.
Korupsi Berjamaah
Sebagai kejahatan yang struktural, korupsi di pengadaan sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Tahapan korupsi dilakukan sejak di penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan.
Walaupun audit investigasi BPK hanya dilakukan terhadap proyek yang telah berjalan, pola dan tahapan korupsinya mengindikasikan bahwa proyek ini bermasalah sejak di proses penganggaran.
Korupsi proyek Hambalang adalah korupsi ”berjemaah”: semua pihak yang disebutkan di dalam audit menjalankan perannya masing-masing. Dimulai dari penyiapan lahan untuk pembangunan, termasuk perizinan, persetujuan teknis pengadaan (lelang dan kontrak tahun jamak), pencairan anggaran, hingga penetapan pemenang lelang yang dilakukan di luar prosedur baku.
Korupsi secara bersama-sama dalam proyek Hambalang menunjukkan tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi dan replikasi atas kejahatan korupsi pada Orde Baru.
Di era pasca-Reformasi, kejahatan tetap dilakukan penguasa dan kelompok bisnisnya. Dengan pola yang agak berbeda, mereka berupaya menyamarkan hubungan antara penguasa dan kelompok bisnis dengan berbagai cara. Namun, ini akan tetap terbukti sebagai sebuah ”persekongkolan” manakala bukti-bukti dalam proses hukum menerjemahkan bahwa kelompok penguasa dan bisnis saling berkolaborasi.
Penuntasan korupsi berjamaah adalah semua pelaku yang diduga ikut bertanggung jawab patut dimintai tanggung jawab hukumnya, bahkan pejabat setingkat menteri (aktif).
Presiden Joko Widodo mengunjungi reruntuhan Hambalang pada Jumat, 18 Maret 2016 lalu. Hasilnya, pemerintah mempertimbangkan kemungkinan melanjutkan proyek di atas tanah seluas 32 hektar yang telah menghabiskan uang negara sebesar Rp 2,7 triliun.
Kronologi Kasus
Berdasar data BPK dan KPK berikut kronologi kasus Hambalang:
2003-2004
Saat itu, Kemenpora masih berbentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga di bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Olahraga mengusulkan untuk membuat pusat pendidikan dan pelatihan olahraga yang bertaraf internasional sebagai tambahan dari fasilitas olahraga di Ragunan, Jakarta Selatan. Selain Hambalang, dua wilayah lainnya yang sempat diwacanakan adalah Karang Pawitan dan Cariuk. Pemerintah akhirnya memilih Hambalang.
2004-2005
Di awal masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004, proyek Ditjen Olahraga tersebut dipindahkan ke Kemenpora. Adhyaksa Dault selaku Menpora pada saat itu melakukan pengurusan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun karena belum kunjung selesai hingga akhir 2005, pembangunan belum bisa dimulai.
Pada tahun 2005, didatangkan peneliti geologi oleh perusahaan konsultan yang akan mengerjakan proyek Hambalang, namun mereka menolak melanjutkan proyek karena struktur tanah Hambalang yang rapuh.
2006-2009
Pada 2006, mulai dianggarkan pembuatan masterplan perencanaan, karena ada perubahan rencana dari yang awalnya pusat pendidikan dan pelatihan menjadi pusat pelatihan atlet nasional.
Nama proyek juga diubah dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional menjadi Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional.
Pada tahun terakhir jabatannya, Adhyaksa Dault mengajukan anggaran pembangunan sebesar 125 miliar. Namun anggaran tersebut tak kunjung cair karena surat izin penggunaan tanah Hambalang belum juga selesai.
2009
Setelah dilantik menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangeng melakukan pertemuan dengan jajaran pejabat di Kemenpora, kemudian meminta Ses-Kemenpora, Wafid Muharram, memaparkan rencana proyek pembangunan sarana olahraga di Hambalang. Menurut penjelasan Wafid, diketahui bahwa sertifikat tanah belum selesai diurus dan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) juga masih disusun.
Andi meminta Wafid untuk merevisi RAB yang semula berjumlah Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun.
Wafid membentuk Tim Asistensi yang bertugas mengoordinasikan penyusunan desain masterplan dan perhitungan RAB dengan bantuan PT Metaphora Solusi Global dan PT Galeri Ide. Akhirnya tim tersebut berhasil menyusun anggaran senilai Rp 2,5 triliun, dengan rincian anggaran fisik bangunan, biaya konsultan, perencana, manajemen konstruksi dan pengelola teknis sebesar Rp 1,18 triliun dan Rp 1,4 triliun untuk biaya peralatan.
2010
Anggaran sebesar Rp 2,5 triliun tersebut diajukan ke DPR RI untuk dimasukkan ke dalam APBN-P 2010. Karena nilainya terlalu besar, akhirnya anggaran dibuat menjadi multiyears selama 3 tahun anggaran, 2010 hingga 2012.
Pada 6 Januari 2010, akhirnya BPN mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1/HP/BPN RI/2010 tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Kemepora atas tanah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menyusul Surat Keputusan tersebut, terbit sertifikat hak pakai nomor 60 atas nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 meter persegi. Sedangkan sertifikat pendirian bangunan baru keluar pada 30 Desember 2010.
2011
Desember 2011 terjadi longsor yang menimpa sebagian bangunan proyek P3SON Hambalang.
2012
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam proyek hambalang. Kerugian negara yang tercatat dari penyelewengan tersebut diperkirakan mencapai Rp 243,66 miliar.
Pada 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan vonis untuk Menpora Andi Malarangeng, Ses-Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan beberapa pihak lainnya, sebagai pelaku yang sengaja mengambil keuntungan dengan melakukan penyimpanan dalam proyek tersebut. Pembangunan proyek Hambalang dihentikan. [kpk.go.id/ ti.or.id/DAS]