Chairil Gibran Ramadhan (CGR) seorang sastrawan sekaligus peneliti sejarah dan kebudayaan Betawi, pada Rabu, 11 Desember 2024 mengadakan peluncuran buku ”MESIGIT” dalam buku ini CGR menjelaskan mengenai akulturasi etnis Betawi yang sudah terjadi sejak lama, baik dari bangsa Arab, Tionghoa dan primbumi juga sejarah tentang Mesjid pada era Batavia.
Peluncuran buku ini diadakan di Aula PDS HB. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat.
Dengan adanya buku ini CGR ingin agar masyarakat Betawi lebih memperhatikan lagi dengan budaya Betawi karena pengaruh globalisasi sekarang ini sedikit demi sedikit mengikis kebudayaan asli yang sudah terbentuk sejak lama.
”Saya ingin bahwa orang Betawi lebih konsern lah dengan etnisnya, saya selalu bilang bahwa orang Betawi juga seperti etnis lain yang kaya akan budaya, sejarah,” kata CGR.
Pendokumentasian mengenai Betawi, Batavia, hingga menjadi Jakarta menurut CGR masih sangat kurang padahal sebenarnya banyak sekali yang bisa digali dari sejarah, budaya yang terjadi di Jakarta itu sendiri. Dari masa kolonial sampai masa kemerdekaan sangat banyak peristiwa yang menarik dan hal ini bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah salah satunya bangunan Masjid.
Selama ini Masjid di identikan dengan etnis Arab, padahal menurut CGR akulturasi budaya yang terjadi di Betawi tidak hanya etnis Arab dan Pribumi, tetapi ada etnis Tionghoa dan CGR menjalaskan dalam bukunya bahwa masih ada peninggalan masjid yang dibangun dengan perpaduan beberapa etnis yaitu etnis Arab, Tionghoa dan Betawi atau pribumi itu sendiri.
”Jadi Masjid-masjid di Betawi itu tidak hanya dibangun oleh kalangan bangsa Arab tetapi juga oleh kalangan Tionghoa, India, Pribumi dan etnis yang lain.”
”Kita tidak bisa terpaku dengan (ungkapan) orang Betawi identik dengan Arab, buktinya ada sekitar tiga Masjid dalam buku ini yang dibangun oleh bangsa Tionghoa,” ucap CGR.
Menanggapi terkait kepindahan Ibu Kota yang semula di Jakarta berpindah ke IKN juyga perubahan nama dari DKI ke DKJ, dirinya menganggap hal ini tidak akan berpengaruh terhadap etnis Betawi.
”Orang Betawi tidak peduli kok, mau pindah atau tidak. Toh mereka tetap hidup, tetap mau mengurus Gambang Kromong, tetep mau ngurusin Lenongnya,” tegas CGR
CGR juga menaruh perhatian terhadap masyarakat betawi khususnya anak muda yang saat ini lebih meminati budaya asing dibanding budaya Betawi itu sendiri. CGR menganggap seharusnya hal ini menjadi perhatian serius pemerintah.
CGR menilai pengenalan tentang kebudayaan lokal sangat minim, seharusnya disetiap angkutan umum di Jakarta yang setiap hari digunakan masyarakat diisi dengan iklan kebudayaan, tidak harus budaya Betawi tetapi budaya-budaya lain di Indonesia juga bisa.
”Emang budaya kita kurang? Sampai harus memperkenalkan budaya dari negara lain, kenapa tidak (misalnya) hari ini tentang, Sunda, besoknya tentang Padang atu Betawi, jangan malah mengajak ayuk, Koreaan dulu yuk,” tegasnya. [IQT]