CATATAN-CATATAN kuno Tionghoa menamai kawasan gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara yang terletak antara benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia ini sebagai Nan Hai (Kepulauan Laut Selatan). Pedagang India menyebutnya Dwipantara ( Kepulauan Tanah Seberang). Sedangkan bangsa Arab menamainya sebagai Jaza’ir al Jawi (Kepulauan Jawa).
Pada awalnya bangsa-bangsa Eropa beranggapan bahwa Asia itu hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Pada masa tersebut daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia.
Jazirah Asia Selatan mereka sebut sebagai ‘Hindia Muka’. Daratan Asia Tenggara disebut ‘Hindia Belakang’. Sedangkan kepulauan di selatannya disebut ‘Hindia Timur’ atau ‘Kepulauan Hindia’.
Abad ke-16 adalah masa-masa dimana bangsa Eropa menjelajah wilayah Hindia Timur dengan tujuan untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari tempat asalnya, dan kemudian menjualnya ke pasar Eropa. Pada masa inilah para pengusaha Belanda membentuk Perusahaan Hindia Timur Belanda atau yang kemudian terkenal dengan VOC – Vereenigde Oost-Indische Compagnie, untuk memonopoli perdagangan serta mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Baca juga PNI di Masa Awal Kemerdekaan
Nama “Indonesia” justru pertamakali muncul di tahun 1850, pada sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Majalah ilmiah ini isinya mencakup berbagai topik yang berkaitan dengan Kepulauan Hindia dan Asia Timur, semisal mengenai sejarah, budaya, etnologi dan linguistik.
Adalah dua orang berbangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl, seorang etnolog, dan James Richardson Logan, seorang sarjana hukum, yang menyatakan bahwa sudah saatnya Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu perlu diberi nama tersendiri.
Earl kemudian mengusulkan dua nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf ‘u’ dari nama tersebut menjadi ‘o’. Jadilah: INDONESIA
Nama Indonesia ini kemudian dipopulerkan oleh etnolog Jerman, Adolf Bastian melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels dan Die Volkev des Ostl Asien (1884) atau “Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”, yang memuat hasil penelitian dan membuat semakin popular istilah “Indonesia”.
Seorang antropolog Belanda, Profesor Cornelis van Vollenhoven pada tahun 1917 juga memperkenalkan kata “Indonesisch” sebagai pengganti “Indisch” (Hindia). Sejalan dengan penamaan tersebut, kata “inlader” (yang bermakna pribumi) diganti dengan “Indonesier” (yang bermakna orang Indonesia).
Orang Indonesia pertama yang menggunakan kata Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan biro pers di Belanda, ketika dalam masa pembuangan di sana, dengan nama Indonesische Persbureau. Lalu juga atas usul seorang mahasiswa Indonesia di Rotterdam, Mohammad Hatta, yang kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi, organisasi pelajar mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang didirikan pada tahun 1908, Indische Vereeniging diubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Juga majalah organisasinya dari ”Hindia Poetra” menjadi “Indonesia Merdeka”.
Perubahan terus terjadi, di tanah air, Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924 dan tahun berikutnya dibentuk Nationaal Indonesische Padvinderij (Kepanduan Nasional, 1925).
Baca juga Cara Belanda Melihat Perang Kemerdekaan Indonesia
Akhirnya pada tahun 1928 nama Indonesia diproklamirkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada ‘Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia’ yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober. Dengan diiringi lagu Indonesia Raya yang dimainkan oleh komponisnya langsung, Wage Rudolf Soepratman.
Nama ‘Hindia Belanda’ akhirnya lenyap dengan datangnya tentara Jepang pada 8 maret 1942. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan dengan pernyataan Proklamasi Kemerdekaan lahirlah Republik Indonesia. [Nora E]
*tulisan ini pertama dimuat Agustus 2021