Suasana setelah bom meledak di Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya pada 13 Mei lalu [Foto: Channel News Asia]

Koran Sulindo – Ada cerita miris mengenai peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei lalu. Berdasarkan keterangan kepolisian bom bunuh diri itu dilakukan oleh satu keluarga yang percaya ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Benarkah?

Keterangan kepolisian tampaknya tidak sepenuhnya benar. Cerita miris itu berasal dari salah satu pelaku yang merupakan anak dari Dita Oepriarto, 47 tahun. Firman Halim, 16 tahun, demikian nama remaja pria itu. Menurut laporan yang dituliskan Channel News Asia pada 18 Mei lalu, Firman baru saja usai menunaikan salat subuh di sebuah masjid yang tak jauh dari rumahnya di kawasan Perumahan Wonorejo Asri, Surabaya.

Seperti diungkapkan Hery, 46 tahun, salah satu penjaga kompleks perumahan itu, Firman adalah anak yang cerdas dan ceria. Hery pun akrab dengan Firman sehingga sudah menganggapnya sebagai adiknya. Tetapi, pada 13 Mei hari Minggu itu, Hery merasa ada yang lain dari Firman. Keceriaan dari wajahnya hilang. Tak ada senyum. Sebaliknya, remaja pria itu malah menangis.

Kendati ayahnya, Dita yang diduga Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAS) Surabaya mengelus kepala dan menepuk pundaknya, Firman tetap menangis. Seperti Dita dan Firman, Hery juga menunaikan salat subuh di masjid yang sama dan duduk dekat mereka.

Karena suasana subuh itu masih sepi, Hery mendengar bisikan Dita kepada Firman, “Bersabar, tuluslah.” Justru bisikan itu pula yang membuat Firman terus menangis dan suaranya pun mengeras. Tentu saja itu mengganggu Hery.

“Saya ingin bertanya kepada ayahnya apa masalahnya, tetapi saya tidak berani, karena takut dianggap ikut campur tangan dalam urusan keluarga orang lain,” tutur Hery seperti dikutip Channel News Asia pada 18 Mei lalu.

Ketika Dita dan kedua anaknya yaitu Yusof Fadhil, 18 tahun dan Firman selesai menunaikan salat subuh, mereka bergegas kembali ke rumah. Dan ketika berselisih dan melihat Hery, Firman sama sekali tidak tersenyum. Juga tak menyapa. Hery merasa itu kali pertama Firman tidak tersenyum dan tak menyapa.

Setelah itu, Firman lalu menaiki sepeda motor yang dikendarai kakaknya, Yusof menuju Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Surabaya. Di pintu masuk, mereka sempat dicegah seorang jemaat gereja Aloysius Bayu. Namun, bom yang mereka bawa meledak sekitar 7.30 pagi.

Firman dan Yusof ikut tewas dalam peristiwa bom bunuh diri itu. Hanya berselang lima menit, Dita yang mengendarai mobil dengan membawa bom ke Gereja Pantekosta Pusat Surabaya juga meledak. Pun istrinya, Puji Kuswati, 42 dan dua putrinya, Fadhila Sari, 12 tahun dan Famela Rizqita, sembilan tahun meledakkan bom di Gereja Kristen Indonesia Diponegoro.

Di kompleks dimana Firman tinggal, Hery mendengar berita itu. Ia kaget bukan main. Ia tercengang. Ia segera berpikir mengapa Firman menangis ketika sedang salat subuh bersama ayahnya pada Minggu itu. Firman tak ingin mati.

“Saya merasa begitu, Firman tidak ingin melakukannya. Ini tidak benar, menyeret anak-anak ke soal ini,” kata Hery menahan emosi.

“Saya merasa kehilangan, mengerikan.”

Setelah aksi teror yang membuat Hery merasa kehilangan itu, tak terasa malam pun sudah tiba. Kisah hari Minggu kelam itu akan segera berakhir, tapi tidak dengan teror. Masih terus berlanjut dan tampaknya tidak akan pernah berakhir? [KRG]