RUMAH TUA PONDOK CINA yang terdapat di Kecamatan Beji, Depok, dulu terletak tepat di pinggir jalan Raya Margonda, yang sekarang berada di halaman Mall Margo City ini dibangun pada tahun 1841. Didirikan dan dimiliki seorang arsitek Belanda, tapi pada pertengahan abad ke-19 dibeli oleh saudagar Tionghoa, Lauw Tek Lok dan kemudian diwariskan kepada putranya bernama Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang.
Bangunan tua ini menjadi saksi bisu sejarah Pondok Cina yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Depok sejak masa Hindia Timur.
Sejarawan Adolf Heuken menyatakan bahwa dalam peta abad 17 nama Pondok Cina sudah ada. Menurut Heuken nama Pondok Tjina dipakai untuk menyebut rumah tua Pondok Cina. Dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Heuken menyebut, “Sebuah rumah sudah disebut dengan nama Pondok Tjina pada tahun 1690, waktu dimiliki oleh seorang Tionghoa.”
Hendaru Tri Hanggoro dalam Jejak Tionghoa di Pondok Cina menjelaskan bahwa Pondok Cina mulai berkembang sebagai tempat singgah sementara orang Tionghoa sejak paruh pertama abad ke 18.
Tidak lama setelahnya Chastelein mulai membangun Depok melalui budak-budaknya. Chastelein bersama budak-budaknya membutuhkan persediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari, sedangkan Batavia terlalu jauh, kemudian ia mulai mengundang para pedagang Batavia untuk datang ke Depok, sehingga kelak mereka mulai berdagang di Pasar Depok.
Orang yang ingin berdagang di Depok harus menaati aturan main Chastelein. Sebagai tuan tanah, dirinya mendapat hak istimewa seperti membuat hukum perdagangan. Salah satunya adalah pelarangan orang Tionghoa bermukim di Depok.
Pelarangan ini dijelaskan Lilie Suratminto dalam Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial , menyebutkan bahwa Chastelein dalam suratnya wasiatnya melarang orang Tionghoa tinggal di Depok karena kebiasaan mereka yang tidak baik.
Orang Tionghoa tersebut dilarang tinggal di Depok karena dianggap sebagai sumber kerusuhan, suka madat, judi, rentenir dan main perempuan. Sehingga mereka hanya diizinkan tinggal dan berdagang sampai siang hari. Apabila matahari telah terbenam, mereka berbondong-bondong diharuskan meninggalkan kawasan Depok.
Orang Tionghoa tak mungkin pulang ke Glodok, tempat asal mereka. Glodok saat itu terlalu jauh untuk ditempuh pulang-pergi. Sehingga mereka tinggal di Pondok Cina yang ketika itu bukan bagian dari Depok.
Orang-orang Tionghoa tidak berkeberatan tinggal di sana, apalagi posisinya yang sangat strategis, terletak di jalur utama -kini Jalan Margonda- menuju ke tiga pasar yaitu Pasar Cimanggis, Pasar Cisalak, Pasar Lama.
Nama Rumah ‘Pondok Cina’ Yang Menjadi Nama Wilayah
Sementara menurut Rian Timadar dalam skripsi arkeologi berjudul Persebaran Data Arkeologi di Permukiman Depok Abad 17-19 M: sebagai Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Permukiman Depok (2008), nama Pondok Cina sudah muncul dalam laporan perjalanan Abraham van Riebeeck sejak tahun 1703. Dahulu, daerah Pondok Cina bernama Kampung Bojong. Kawasan ini merupakan perkebunan karet, sawah, dan semak-semak.
Di daerah tersebut tinggal seorang tuan tanah keturunan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Bogor untuk berdagang dipersilakan untuk menginap dan mendirikan pondok-pondok sederhana di tanah milik tuan tanah tersebut. Masih menurut Timadar, daerah Pondok Cina merupakan wilayah partikelir yang dimiliki oleh seorang tuan tanah. Kampung Bojong tersebut berubah nama sejak tahun 1918 karena masyarakat sekitar menandai daerah itu dengan nama Pondok Cina karena adanya Rumah Tua Pondok Tjina. Lama-kelamaan, sebutan ini pun melekat dan menjadi nama daerah yang dikenal dengan Pondok Cina hingga saat ini.
Menengok ke Belakang – Sejarah Orang Cina di Batavia
Menurut sejarawan Onghokham dalam Anti Cina, Kapitalisme dan Gerakan Cina, Orang Cina di Batavia merupakan mitra dagang kongsi dagang Belanda (VOC). Jauh sebelum orang Belanda menemukan jalanke Hindia TImur, orang Tionghoa sudah mengenalnya dan bermukim di sana. Mereka menyebut wilayah itu Nan Yang (Laut Selatan). Kebanyakan mereka bermukim di Jawa sejak sebelum pertengahan abad ke-15.
Di kota Batavia inilah terbentuknya masyarakat Tionghoa-Jawa paling tua di bawah pemerintahan VOC. Mereka juga mempunya perkampungan sendiri yang disebut Pecinan di sekitar Pasar Ikan.
Keberhasilan mereka dalam perdagangan mendorong lebih banyak kedatangan imigran Tionghoa di sekitaran abad 17 itu. Sebagian dari mereka memilih berdagang di wilayah sekitaran Batavia (ommelanden) seperti di Tangerang (sebelah barat Batavia) dan Depok (sebelah selatan). Karena letak Depok yang cukup jauh pada masa itu maka jika mengendarai kereta kuda akan melewati wilayah yang disebut Pondok Tjina.
Abad 19 – Abad 20
Memasuki abad ke 19, perkembangan Depok menjadi lebih pesat seiring perpindahan Rumah Gubernur Jenderal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Sebuah stasiun baru juga didirikan di Depok.
Distribusi barang-barang kebutuhan pokok antara Batavia-Depok-Buitenzorg pun menjadi lebih mudah. Permukiman baru juga bermunculan. Masyarakat yang ingin menuju Buitenzorg dan sebaliknya seringkali singgah dulu di Depok.
Di ruang terbuka, orang Tionghoa ini berinteraksi dengan orang Depok Asal (orang Betawi beragama Islam), orang Depok Asli (keturunan budak Chastelein), dan para pendatang dari Ambon dan Manado.
Tetapi memasuki abad ke 20, orang-orang Tionghoa di daerah itu mulai berkurang, sebagian pindah ke Pasar Cisalak, sebagian tidak diketahui jejaknya. Hingga kini keturunan para pedagang Tionghoa di Pondok Cina sulit ditemukan. [S21]